Kisah Makam Tanpa Nama, Ada yang Berbeda dari Liang Lahat Lainnya
“Biasanya kan jenazah dari panti sosial, atau rumah sakit semisal RS Cipto Mangunkusumo. Kalau dari rumah sakit biasanya ditunggu dulu beberapa hari a
Sebagian papan bertuliskan nama, yang bukan nama lengkap. Mungkin juga bukan nama yang diberikan oleh orang tua mereka saat lahir.
Hanya panggilan akrab yang biasa disebut untuk memanggil semasa hidup. Ada juga makam yang hanya ditandai dengan sebatang bambu atau potongan kayu sembarang.
Berbaring di bawah gundukkan tanah tersebut, mereka yang bisa jadi adalah korban tragedi yang membuat fisiknya tidak lagi dikenali, tunawisma yang tidak punya sanak keluarga, penghuni panti sosial, napi atau residivis.
Bisa jadi juga jenazah yang ditemukan polisi di jalan dan tidak ada sanak keluarga yang mengakuinya.
Andi menjelaskan TPU Pondok Ranggon menyediakan lahan seluas 2 hektare lebih untuk pemakaman tunawan.
Mereka dimakamkan dengan layak. Dimandikan, dikafani, dan diberi peti. Kemudian dimakamkan dengan prosesi yang benar.
Namun sayang, seusai dimakamkan perawatan makam mereka sangat minim.
“Untuk perawatan sangat minim. Nyaris tidak ada sepertinya anggaran khusus untuk itu. Tidak tahu kesalahannya di mana. Makanya kasihan,” ujar pria yang sudah bertugas di TPU Pondok Ranggon sejak tahun 2012 tersebut.
Liang satu meter dan nisan seadanya
Untuk berjaga-jaga, para PHL penggali kubur di TPU Pondok Ranggon biasanya menyediakan sepuluh liang lahat untuk memakamkan para tunawan.
Ketika ada jenazah datang, liang sudah siap. Namun, ada yang berbeda dari liat kubur para tunawan ini.
“Hanya satu meter dalamnya. Kalau makam umum kan 1, 80 meter. Terus juga tidak ada rumput yang ditanam di atas makam. Jadi kalau hujan tanahnya longsor, karena tidak ada akar rumput yang menahan. Kalau air masuk suka bau jenazah di dalamnya. Harus kita rapihin lagi,” kata Imang Maulana yang sudah berprofesi sebagai penggali kubur di TPU Pondok Ranggon sejak 1999.
Nisan juga dibuat ala kadarnya. Ada yang memanfaatkan sisa kayu dari peti mati mereka, tongkat kayu yang ditemukan sembarang, atau bahkan sebongkah batu.
Tulisan ditorehkan dengan menggunakan spidol. Diterpa hujan, panas, dan angin, lama kelamaan identitas makam mereka pun pudar. Potongan kayu yang jadi nisan, juga hancur.
“Sebab seringkali jenazah datang tidak disertai dengan papan nama (nisan). Kebanyakan malah yang dari panti sosial. Sederhana saja, supaya bisa dipasang. Kami di sini hanya bisa buat nisan seadanya. Kadang dari kayu sisa peti. Peti mereka juga nggak bagus-bagus amat kayunya. Namanya peti jatah,” kata Andi.
Akibatnya ketika ternyata ada keluarga yang mencari jenazah, sesampainya di area pemakaman tunawan, sulit untuk diketahui yang mana makam anggota keluarga mereka tersebut.
Nomor registrasi dan nama tunawan yang dimakamkan tercatat tetapi ketika mencari makamnya, tulisan pada nisan yang dapat menjadi petunjuk sudah pudar.
KOMPAS.com/Sheila Respati