Sulit Membuktikan Santet tapi Kini Pasalnya Digodok dan Akan Dikembalikan Menjadi Undang-undang
Regulasi yang mengatur tentang kekuatan supranatural itu terdapat dalam Pasal 295 draf RUU yang disusun pemerintah.
Setidaknya, 48,6 persen responden dari 798 orang berusia minimal 17 tahun di 12 kota besar di Indonesia menyatakan percaya adanya santet. Yang tidak percaya jumlahnya lebih sedikit, yakni 44,1 persen.
Pengakuan mengenai keberadaan santet di era modern ini dikemukakan responden dari segala lapisan jenjang pendidikan.
Dari kalangan yang berpendidikan sekolah menengah atas hingga perguruan tinggi, sebanyak 52,3 persen, masih memercayai santet.
Sementara di antara mereka yang berlatar belakang sekolah menengah pertama ke bawah sekitar 32 persen yang percaya santet.
Pembuktian
Dalam rapat Panja R-KUHP, Kamis lalu, pemerintah beralasan, pasal santet kembali dimunculkan untuk mencegah adanya aksi main hakim sendiri dan untuk menjaga keharmonisan dalam beragama.
Yang dipidanakan, ujar Ketua Tim Perumus R-KUHP Muladi, bukan santetnya, tetapi tindakan menawarkan untuk melakukan tindak pidana dan mencederai orang lain dengan klaim kekuatan gaib.
Oleh karena itu, pasal santet memang dimasukkan dalam bab khusus mengenai Penawaran untuk Melakukan Tindak Pidana.
"Dengan demikian, bukan santetnya yang harus dibuktikan oleh penyidik karena hal itu pasti sulit. Namun, tindakan menawarkannya itu. Untuk itu, pasti penyidik punya cara sendiri," katanya.
Ketua Panja R-KUHP Benny K Harman menegaskan, dalam Pasal 295 atau "pasal santet" itu, seseorang yang baru menyatakan dan berkoar-koar memiliki kekuatan untuk melukai atau mematikan seseorang dapat masuk dalam tindak pidana.
"Membuat pernyataan saja bisa kena pidana, apalagi melakukannya. Misalnya, ada yang datang ke dukun dan meminta dukun tersebut untuk menyakiti seseorang, lalu si dukun menyatakan sanggup, itu pidana. Mengumumkan bahwa dirinya tokoh yang punya kekuatan gaib untuk hal negatif pun sudah masuk pidana," kata Benny.
Adapun kriminolog Universitas Indonesia (UI), Thomas Sunaryo, mengatakan, fenomena sosial masyarakat Indonesia yang masih memercayai keberadaan ilmu gaib dan dukun membuat pengaturan hukum santet diperlukan.
Sebab, dukun atau ilmu santet cenderung digunakan untuk memberikan kerugian kepada orang lain.
"Masyarakat kita masih meyakini itu dan digunakan untuk mencelakai orang lain. Jadi, pemberlakuan pidana diperlukan pula untuk melindungi masyarakat," ujar Thomas.
Andai sudah ditetapkan sebagai hukum positif, Thomas berharap pemerintah menyosialisasikannya dengan baik, terutama kepada aparat penegak hukum yang akan menangani permasalahan itu.
Masyarakat pun perlu diberi tahu agar tidak lagi memercayai santet yang bisa merugikan diri sendiri dan orang lain.
(AGNES THEODORA/MUHAMMAD IKHSAN MAHAR)