Demo Tangkap Ahok
Wiranto Membantah Ada Unsur Politik dalam Kasus Ahok
Wiranto mengatakan, dalam kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Ahok, polisi telah bekerja secara tegas, transparan dan adil.
TRIBUNSUMSEL.COM-Menteri Koordinator bidang Politik, Hukum dan Keamanan Wiranto membantah penetapan status tersangka terhadap Gubernur nonaktif DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok, bersifat politis.
Wiranto mengatakan, dalam kasus dugaan penistaan agama yang menyeret Ahok, polisi telah bekerja secara tegas, transparan dan adil.
"Tidak ada politisasi. Tidak ada intervensi," ujar Wiranto di kantor Kemenko Polhukam, Jakarta Pusat, Jumat (18/11/2016).
Wiranto pun mengatakan, Presiden Joko Widodo tidak campur tangan selama proses penyidikan berjalan.
Di sisi lain, kepolisian berupaya agar penyelidikan berjalan transparan. Termasuk melakukan gelar perkara terbuka terbatas.
Lebih jauh, Wiranto mengimbau agar seluruh pihak bersabar menunggu proses hukum yang sedang berjalan.
"Dari situ (penyidikan) sudah dapat dibuktikan bahwa ternyata keputusan hukum sinkron dengan harapan publik. Maka saya katakan bahwa pemerintah tidak campur tangan, presiden tidak intervensi," kata Wiranto.
Sebelumnya Ketua Setara Institute, Hendardi, berpendapat bahwa penetapan status tersangka atas Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok dalam kasus dugaan penodaan agama tidak sepenuhnya dijalankan dengan mematuhi prinsip due process of law.
Menurut Hendardi, penggunaan Pasal 156a KUHP jo Pasal 28 (1) UU 11 tahun 2008 tentang ITE, di tengah kontestasi politik Pilkada DKI, menegaskan bahwa Ahok terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain oleh kelompok-kelompok tertentu.
"Hal itu menegaskan Ahok terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain oleh kelompok-kelompok tertentu," ujar Hendardi melalui keterangan tertulisnya, Rabu (16/11/2016).
Sementara, Senior Advisor Human Rights Working Group (HRWG) Choirul Anam menuturkan, pasca-reformasi pasal 156 a cenderung sering digunakan karena perumusannya yang longgar.
Namun, tujuannya bergeser keluar dari konteks agama dan penegakan hukum, melainkan politik.
Di sisi lain, dari banyak kasus penistaan agama, seperti yang pernah dialami oleh Arswendo Atmowiloto, HB Jassin dan Tajul Muluk, tidak pernah ada yang lolos dari pasal 156 a.
"Tidak pernah ada yang lolos dari tuntutan penistaan agama menggunakan pasal 156 a. Ada yang pernah lolos, namun dikenakan pasal 157. Pasal ini selalu berkelindan dengan kepentingan politik atau di luar persoalan agama dan hukum," ucapnya.