Jelutung, Keraguan dan Kepedulian Lingkungan (Bagian 1)
Sebanyak 1000 bibit Jelutung yang sudah ditanam sejak tiga bulan lalu terlihat mulai tumbuh subur.

Laporan wartawan Tribunsumsel.com, Andi Agus Triyono
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Petani pembudidaya tanaman Jelutung masih ragu dan belum tahu tentang vegetasi lokal tersebut. Akankah tanaman itu mampu menghasilkan secara ekonomi atau tidak. Namun disisi lain, mereka ingin melestarikan lahan hutan gambut miliknya yang tahun lalu terbakar.
Diterik matahari, Rabu (31/8/2016), Tribunsumsel.com dan aktivis lingkungan mengunjungi empat hektare lahan gambut milik beberapa warga di dusun Damarsari Desa Menangraya Kecamatan Pedamaran Kabupaten Ogan Komering Ilir. Sebanyak 1000 bibit Jelutung yang sudah ditanam sejak tiga bulan lalu terlihat mulai tumbuh subur.
Didi, salah satu petani Jelutung sekaligus kepala dusun Damarsari, memiliki 1,5 hektare lahan gambut di tempat itu. Dilahan dengan ketebalan gambut sekitar 50 sentimeter itu bibit Jelutung ditanamnya sebanyak 350 batang.
Bibit Jelutung merupakan pemberian dari aktivis lingkungan diantaranya Sarekat Hijau Indonesia (SHI), Hutan Kita Institute (HaKI), Yayasan Perspektif Baru dan Kemitraan. Sedikitnya 1000 bibit Jelutung ditanam di lahan gambut untuk percontohan restorasi gambut.
Diakui Didi, dusunnya merupakan penduduk transmigrasi dari Jawa tahun 1976 lalu. Mereka mendapat jatah lahan seluas 1,5 hektare. Sejak awal transmigrasi hingga sekarang, jatah lahan miliknya dan warga lain tidak bisa digarap atau dikelola. Selama ini mereka hanya memanfaatkan tanpa bisa dikelola, diantaranya mengambil ikan dan sebagainya.
Kata Didi, lahan itu ketika musim hujan akan tergenang lebih dari pinggang orang dewasa, ketika musim kering akan kering kerontang. Dan tahun lalu, lahan gambut itu terbakar habis sehingga gambut banyak yang rusak.
Alhasil ia dan warga lainnya menaburkan biji padi dengan tanam sonor. Dari luasan lahan itu pria yang memiliki satu anak ini hanya mendapat padi sebanyak 50 karung.
Mengingat lahan itu tidak bisa dikelola dan ingin menjaga lingkungan, ia pun setuju menanami lahan gambut miliknya dengan menanam Jelutung.
Melihat pertumbuhan pohon itu, Ia pribadi kaget dengan perkembangan Jelutung yang dianggap sangat cepat pertumbuhannya. Tanaman itu sudah tumbuh lebih dari 10 sentimeter lebih sejak tiga bulan lalu.
"Kaget sekali. Padahal kemarin bibitnya itu masih kecil-kecil sekarang sudah besar seperti ini," ujarnya.
Ia berharap Jelutung yang ditanam akan bermanfaat bagi alam lingkungan, bisa menjaga gambut dari kerusakan. Meskipun ia sendiri masih ragu apakah nantinya Jelutung menghasilkan secara ekonomi.
Sebab kata dia, menurut penjelasan pendonasi bibit, Jelutung bisa diambil getahnya laiknya getah karet. Dalam waktu 6-8 tahun, bibit Jelutung yang ditanam sudah bisa disadap getahnya. Getah yang dihasilkan cukup menjanjikan, meskipun Didi belum begitu jelas mengenai hal itu.
"Itu yang kami masih ragukan. Sebab kami belum dapat contoh, daerah mana yang sudah menanam Jelutung dan getahnya bisa dijual. Tapi kami juga ingin menjaga alam sekitar kami," tambah dia.
Mayoritas warga disana, kata Didi adalah petani padi pasang surut dan petani sayur-sayuran. Mereka menanam padi dan sayur-sayuran di lahan lain, bukan di lahan tersebut. Itulah usaha yang menjadi tulang punggung memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Pemikiran Didi khususnya, jika mengandalkan Jelutung nantinya yang belum pasti maka tidak akan bisa diandalkan untuk kebutuhan sehari-hari, namun setidaknya dia dan warga lain mau menjaga alam sekitar dari kerusakan lingkungan.
Ketua Sarekat Hijau Indonesia (SHI) Sumatera Selatan, Sudarto Marel juga mengungkapkan keraguan petani yang menanam Jelutung itu adalah sebuah hal kewajaran. Sebab petani belum yakin dengan pohon Jelutung itu saat ini.
Namun pihaknya berusaha untuk meyakinkan kepada petani bahwa Jelutung jelas merupakan komoditas yang bagus, juga mampu menjaga alam lingkungan khususnya lahan gambut.
"Jelutung itu hanya salah satu jenis kayu yang bisa dimanfaatkan selain bernilai secara ekonomis juga bisa menjaga gambut dari kerusakan. Karena Jelutung tempatnya di alam yang mengandung air. Hal itu jelas beda dengan pohon karet misalnya, yang ditanam di lahan yang kering," katanya.
Peneliti Madya Bidang Silvikultur dari Balai Penelitian dan Pengembangan Lingkungan Hidup dan Kehutanan Palembang, Ir Bastoni mengungkapkan Jelutung merupakan vegetasi lokal. Tanaman yang cocok sebagai tanaman restorasi lahan gambut yang rusak.
Jelutung memenuhi syaat sebagai tanaman yang ekologis dan ekonomis. Jelutung memiliki karakter dapat tumbuh digenangan air. Jelutung menghasilkan biomassa, getah, serta memiliki produktivitas tinggi sehingga memiliki nilai ekonomi bagi masyarakat.
"Masih banyak tanaman lokal yang bisa sebagai tanaman retorasi gambut, diantaranya sagu, ramin, medang, gelam dan sebagainya," ujarnya.
Suplai ikan asin terbesar
Ogan Komering Ilir (OKI) memiliki hutan gambut yang sangat luas. Kata tokoh pemuda Pedamaran sekaligus pegiat lingkungan, Saripudin Gusar luas lahan Pedamaran sebesar 150 ribu hektare. 120 ribu hektare merupakan lahan gambut, dan 30 ribu hektare merupakan daratan.
Dari 120 ribu hektare lahan gambut, sekitar 89 ribu hektare dikuasai delapan perusahaan konsesi bergerak dalam izin konsesi sawit. Sementara dari luasan lahan gambut di tempat itu, yang dimiliki warga hanya satu persen saja.
Selama ini, lahan gambut hanya dimanfaatkan saja oleh warga diantaranya sebagai tempat mencari ikan, hingga sebagai bahan kerajinan. Pedamaran terkenal dengan kerajinan tikar dari purun.
"Tahun 1982 dulu, warga Pedamaran itu sangat terkenal dengan penghasil ikan asin terbesar di Indonesia. Ikan diambil dari hutan gambut yang sangat luas. Kemudian pemanfaatan lebak Purun, sebagai bahan utama pembuat kerajinan tikar dan sebagainya. Pedamaran terkenal dengan hasil kerajinan tikar. Itu salah satu contoh manfaat hutan gambut bagi warga sini," kata dia.
Kini, pihaknya akan menjaga kelestarian alam sekitar jangan sampai pemerintah mengeluarkan izin konsesi di lahan gambut lagi. Selain itu mereka akan mengajukan ke pemerintah untuk mengelola lahan gambut sebagai cetak sawah baru.
"Dari pada perusahaan yang mengelola, lebih baik masyarakat yang megelola lahan gambut. Kami akan ajukan cetak sawah baru," kata dia.