Tiga Kelemahan Ahok Jika Mencalonkan Tidak Lewat Partai
"Jika melanjutkan jalur independen dan terpilih, Ahok kembali mewarisi pemerintahan yang terbelah (divided government). Yaitu pemerintahan eksekutif
TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Pengamat politik yang juga pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA menilai Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus berpikir ulang soal jalur independen sebagai jalan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.
Apalagi jika sebenarnya tersedia koalisi partai yang cukup untuk menominasikannya kembali.
"Jika melanjutkan jalur independen dan terpilih, Ahok kembali mewarisi pemerintahan yang terbelah (divided government). Yaitu pemerintahan eksekutif yang mendapatkan pelawanan mayoritas legislatif (DPRD). Ini akan merugikan dan menyulitkan Ahok sendiri ketika ia terpilih sebagai gubernur," kata Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5/2016).
Menurut Denny JA, ada tiga kelemahan yang kembali diwarisi Ahok jika ia kembali terpilih sebagai gubernur melalui jalur independen dan mendapatkan pelawanan mayoritas DPRD yang hostile (bermusuhan).
Pertama, Ahok kembali akan kesulitan dalam anggaran belanja untuk program pemerintah.
DPRD sangat berperan dalam menentukan anggaran bagi jalannya pemda. Tak ada pembangunan tanpa anggaran.
Dan sistem anggaran sudah dibangun dengan menyertakan DPRD sebagai Check and Ballance.
DKI punya kemewahan dengan anggaran (APBD) 2015 yang termasuk tertinggi sebesar Rp 69,28 triliun.
Kemewahan itu tak bisa maksimal diterjemahkan untuk publik Jakarta jika hanya digunakan (mampu diserap) sebagian saja.
Kepmendagri misalnya di bulan oktober 2015 mencatat, penyerapan anggaran DKI tergolong terendah dan terburuk di seluruh Indonesia, yang hanya 19,39 persen.
DKI lebih buruk bahkan dibandingkan Papua, apalagi dibandingkan Gorontalo yang pada saat yang sama mampu menyerap APBD sebesar 63,1 persen," paparnya.
"Dengan serapan rendah itu, puluhan triliun dana yang tersedia belum digunakan. Padahal penggunaan dana yang sudah tersedia itu sangat membantu publik Jakarta. Dana Podomoro yang membantu DKI ratusan miliar itupun tak sebanding dengan dana puluhan triliun yang sah, yang belum terserap," katanya lagi.
Kelemahan kedua jika Ahok tetap maju independen adalah, mantan Bupati Belitung Timur itu akan kesulitan melahirkan Perda sebagai payung hukum kebijakannya. DPRD sangat berperan dalam legislasi membuat perda.
Aneka kebijakan apalagi yang baru dan inovatif yang berimplikasi luas ke masyarakat memerlukan payung hukum perda. DPRD juga sudah diset oleh sistem demokrasi sebagai wakil rakyat yang menentukan isi dan bulat lonjong perda itu.
Ahok sebagaimana pemda inovatif lain sudah cukup banyak melaksanakan apa yang disebut PPP (Public Private Partnership) dalam membangun Jakarta. Melalui program itu, pihak swasta dilibatkan untuk ikut membiayai program dan proyek yang diinisiasi oleh pemda.
Namun agar segala hal tertib, adil, transparan, dan fair, kebijakan itu juga memerlukan payung hukum perda atau persetujuan DPRD.
Apalagi untuk kebijakan yang memobilisasi dana swasta berjumlah miliaran rupiah, dan memerlukan kompensasi tertentu bagi pihak swasta itu.
"Hal ini pula yang membuat kasus Ahok dan Podomoro berlarut. Bahkan ketua KPK dan kepmendagri menyatakan 'kerjasama pemda dan Podomoro' mengenai 13 proyek yang melibatkan dana di atas Rp 300 miliar itu tidak tuntas dari sisi payung hukumnya.
Seandainya antara pihak gubernur dan DPRD terbina hubungan yang lebih ramah, tidak bermusuhan, hal di atas bisa terhindari.
"Ahok bisa saja dibuktikan tak bersalah dalam kasus 13 proyek yang dikerjakan Podomoro itu. Atau ia hanya dianggap melakukan maladministrasi. Namun saling silang kasus ini melahirkan kegaduhan yang tak perlu. Kegaduhan karena kesulitan bersepakat melahirkan perda bersama DPRD akan terulang kembali," ujarnya.
Ketiga, lanjut Denny, Ahok akan terganggu dengan aneka pengawasan DPRD yang overdosis. DPRD berperan dalam pengawasan pemda.
Jika DPRD semangatnya menginginkan gubernur tidak sukses, DPRD bisa membuat banyak manuver menyulitkan sang gubernur.
DPRD misalnya sudah membuat Pansus RS Sumber Waras. Atau rencana di bulan Mei 2016 ini DPRD akan membuat Pansus Podomoro. Ahok dan aneka pejabat DKI akan dibuat bulak- balik ke DPRD.
Tentu saja semua kewenangan DPRD itu positif jika dilaksanakan demi terbentuknya sistem pemerintahan yang sesuai dengan prinsip check and ballance.
Namun dalam jenis pemerintahan yang terbelah, divided government, dosis peran DPRD itu dapat dimainkan sampai ke level yang mengganggu kinerja gubernur.
Denny JA mengidealkan Ahok menggalang dan memcalonkan diri melalui koalisi partai yang dominan di DPRD.
Total kursi DPRD hasil pemilu 2014-2015 : 106 kursi.
Nasdem dan Hanura yang sudah mempublikasi dukungannya sudah menyumbang 5 kursi + 10 kursi = 15 kursi.
Ditambah Golkar di bawah Setya Novanto jika mendukung Ahok, total menjadi 15 kursi + 9 kursi = 24 kursi.
"Untuk sah menjadi calon hanya dibutuhkan 20 persen kursi, equivalen dengan 22 kursi saja. Koalisi Golkar, Nasdem dan Hanura sudah melampaui syarat minimal itu," katanya.
Untuk menguasai mayoritas DPRD, kata Denny, Ahok membutuhkan minimal 50 persen + 1, equivalen dengan 53 kursi.
Jika PDIP (28 kursi) ditambah satu partai berbasis Islam, mayoritas DPRD sudah bisa diraih.
PKB memiliki 6 kursi, PAN mendapatkan 2 kursi. Koalisi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan PKB menguasai mayoritas 58 kursi.
Atau koalisi PDIP, Golkar, Nasdem, Hanura dan PAN menguasai mayoritas 54 kursi.
Sebagai pemimpin dan politisi yang ingin berhasil, Ahok harus punya keinginan membentuk pemerintahan yang kuat, yang didukung oleh mayoritas DPRD.
"Masih tersedia cukup waktu bagi Ahok untuk memilih membentuk pemerintahan yang kuat, dimulai dengan maju melalui koalisi partai politik," tandasnya.