Tiga Kelemahan Ahok Jika Mencalonkan Tidak Lewat Partai

"Jika melanjutkan jalur independen dan terpilih, Ahok kembali mewarisi pemerintahan yang terbelah (divided government). Yaitu pemerintahan eksekutif

TRIBUNNEWS.COM/TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN
Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) berikan kuliah umum kepada para pelajar Sekolah Menengah Atas (SMA) Taruna Nusantara (Tarnus), Banyuredjo, Mertoyudan, Jawa Tengah di Balai Kota DKI Jakarta, Jl. Medan Merdeka Selatan, Jakarta Pusat, Selasa (5/4/2016). TRIBUNNEWS.COM/LENDY RAMADHAN 

TRIBUNSUMSEL.COM, JAKARTA - Pengamat politik yang juga pendiri Lingkaran Survei Indonesia (LSI), Denny JA menilai Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok harus berpikir ulang soal jalur independen sebagai jalan menjadi calon Gubernur DKI Jakarta 2017-2022.

Apalagi jika sebenarnya tersedia koalisi partai yang cukup untuk menominasikannya kembali.

"Jika melanjutkan jalur independen dan terpilih, Ahok kembali mewarisi pemerintahan yang terbelah (divided government). Yaitu pemerintahan eksekutif yang mendapatkan pelawanan mayoritas legislatif (DPRD). Ini akan merugikan dan menyulitkan Ahok sendiri ketika ia terpilih sebagai gubernur," kata Denny JA dalam keterangan tertulisnya, Jumat (27/5/2016).

‎Menurut Denny JA, ada tiga kelemahan yang kembali diwarisi Ahok jika ia kembali terpilih sebagai gubernur melalui jalur independen dan mendapatkan pelawanan mayoritas DPRD yang hostile (bermusuhan).

Pertama, Ahok kembali akan kesulitan dalam anggaran belanja untuk program pemerintah.

DPRD sangat berperan dalam menentukan anggaran bagi jalannya pemda. Tak ada pembangunan tanpa anggaran.

Dan sistem anggaran sudah dibangun dengan menyertakan DPRD sebagai Check and Ballance.

DKI punya kemewahan dengan anggaran (APBD) 2015 yang termasuk tertinggi sebesar Rp 69,28 triliun.

Kemewahan itu tak bisa maksimal diterjemahkan untuk publik Jakarta jika hanya digunakan (mampu diserap) sebagian saja.
Kepmendagri misalnya di bulan oktober 2015 mencatat, penyerapan anggaran DKI tergolong terendah dan terburuk di seluruh Indonesia, yang hanya 19,39 persen.

DKI lebih buruk bahkan dibandingkan Papua, apalagi dibandingkan Gorontalo yang pada saat yang sama mampu menyerap APBD sebesar 63,1 persen," paparnya.

"Dengan serapan rendah itu, puluhan triliun dana yang tersedia belum digunakan. Padahal penggunaan dana yang sudah tersedia itu sangat membantu publik Jakarta. Dana Podomoro yang membantu DKI ratusan miliar itupun tak sebanding dengan dana puluhan triliun yang sah, yang belum terserap," katanya lagi.

Kelemahan kedua jika Ahok tetap maju independen adalah, mantan Bupati Belitung Timur itu akan kesulitan melahirkan Perda sebagai payung hukum kebijakannya. DPRD sangat berperan dalam legislasi membuat perda.

Aneka kebijakan apalagi yang baru dan inovatif yang berimplikasi luas ke masyarakat memerlukan payung hukum perda. DPRD juga sudah diset oleh sistem demokrasi sebagai wakil rakyat yang menentukan isi dan bulat lonjong perda itu.

Ahok sebagaimana pemda inovatif lain sudah cukup banyak melaksanakan apa yang disebut PPP (Public Private Partnership) dalam membangun Jakarta. Melalui program itu, pihak swasta dilibatkan untuk ikut membiayai program dan proyek yang diinisiasi oleh pemda.

Namun agar segala hal tertib, adil, transparan, dan fair, kebijakan itu juga memerlukan payung hukum perda atau persetujuan DPRD.

Sumber: Tribunnews
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved