'Ngamuk' Hari Pertama Menjabat, Ada Apa dengan Pasha?
Betapa tidak, ulah vokalis Band Ungu ini yang mengejutkan publik adalah ketika marah-marah saat memimpin upacara di Balai Kota Palu, Sulawesi Tengah,
TRIBUNSUMSEL.COM - Belum sehari menjabat, Wakil Wali Kota Palu, Sigit Purnomo Syamsuddin Said atau yang beken disapa Pasha, sudah menjadi sorotan publik.
Betapa tidak, ulah vokalis Band Ungu ini yang mengejutkan publik adalah ketika marah-marah saat memimpin upacara di Balai Kota Palu, Sulawesi Tengah, Kamis silam.
Ada apa dengan Pasha ya?
Peristiwa itu berawal saat suami Adelia itu dipersilakan membacakan sambutan tertulis Menteri Tenaga Kerja, Hanif Dhakiri.
Pasha yang mengenakan kemeja Korpri lengan panjang dipadu celana hitam dan kopiah hitam itu memulai sambutannya dengan mengingatkan pegawai pemerintah.
Dia menyatakan masih melihat peserta apel kesadaran 'yang belum sadar' karena banyak pegawai di depan, samping, dan belakangnya tertawa saat dia memasuki mimbar upacara.
"Apa motif saudara-saudara tertawa terbahak-bahak," kata Pasha di hadapan 1.500 pegawai pemerintah dari tingkat kota sampai kelurahan.
"Saya malu karena ada yang tertawa terbahak-bahak saat saya masuk. Next (selanjutnya), saya tidak mau ini terulang lagi. Polisi Pamong Praja harus mengecek yang tertawa itu. Jelas? Jelas? Jelas?" ujarnya dengan nada sangat tinggi karena emosi.
Ia minta agar semua pegawai bisa menghargai orang dan bisa menghargai jabatan.
"Attitude harus ada, bagaimana membawa diri dengan baik dan benar. Anda semua memakai baju Korpri. Percuma sumpah Korpri tadi dibacakan kalau begini attitude pegawai," ujarnya.
Sikap Pasha disambut dingin oleh para PNS.
"Beliau seharusnya menyadari bahwa status beliau sebagai figur publik masih terus melekat, dan ini adalah kesempatan pertama beliau berhadapan dengan pegawai di Pemkot. Nah, banyak sekali pegawai di sini yang baru pertama kali melihat wajahnya secara langsung sehingga spontan menyambut dengan tawa karena gembira saat beliau pertama kali naik podium," kata seorang pegawai senior.
Menolak wawancara
Di hari yang sama, Pasha juga 'berulah'. Dia menolah diwawancarai oleh dua wartawan, bahkan sikapnya cenderung melecehkan.
Penolakan Pasha itu mendapat perhatian dari Komisi Informasi Pusat (KIP).
Menurut KPI, kepala daerah tidak boleh menolak untuk diwawancarai oleh wartawan.
Apalagi jika penolakan itu dilakukan secara kasar, hal ini melecehkan profesi wartawan sebagai insan yang memiliki tugas mencari dan menyampaikan informasi kepada publik.
Hal itu dikatakan Ketua KIP Abdulhamid Dipopramono.
Menurutnya, cara yang dilakukan Pasha Ungu ini menunjukkan sikap yang melecehkan.
Padahal dua wartawan yang ingin wawancara tersebut berasal dari grup media nasional resmi yang cukup dikenal.
"Sebagai pejabat publik, termasuk kepala daerah, wajib untuk tidak menutup diri kepada publik, apalagi wartawan. Sebab menolak memberi informasi selain termasuk menghalang-halangi kerja jurnalistik sesuai UU Nomor 40/1999 tentang Pers juga melanggar prinsip keterbukaan informasi seperti diatur dalam UU Nomor 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP)," kata Abdulhamid melalui pesan singkat, Minggu (21/2/2016).
Ia menuturkan tujuan keterbukaan informasi publik agar masyarakat mengetahui perencanaan kebijakan publik, pelaksanaan, dan pengawasannya. Juga ditujukan untuk meningkatkan partisipasi publik dalam pembangunan.
Tujuan lainnya adalah untuk menciptakan tatakelola pemerintahan yang baik, menjadikan layanan informasi yang berkualitas, dan mencerdaskan kehidupan bangsa.
Jika pejabat publik dan institusinya tertutup, sudah bisa dipastikan bahwa tujuan tersebut tidak akan tercapai.
"Partisipasi masyarakat akan rendah, masyarakat tidak tahu tentang pembuatan dan pelaksanaan kebijakan, tatakelola pemerintahan buruk, layanan informasi publik tak berkualitas, dan masyarakat tidak cerdas," katanya.
Musibah bagi masyarakat Palu
Abdulhamid memandang bahwa penolakan wawancara oleh Pasha “Ungu” merupakan musibah bagi masyarakat Palu.
Menurutnya, pimpinan baru yang dipilih langsung oleh rakyat ternyata tidak membawa berkah tapi musibah.
"Jangankan wartawan, menurut ketentuan UU KIP masyarakat biasa saja bebas bertanya serta minta informasi dan dokumentasi kepada badan publik, dalam hal ini pemerintah, baik lewat pimpinannya maupun Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID)," tuturnya.
Abdulhamid yakin sanksi sosial pasti akan diberikan oleh publik kepada pejabat yang tertutup, baik lewat media massa formal maupun media soasial. Ketertutupan ini pada gilirannya akan menurunkan kepercayaan publik terhadap kepemimpinan Pasha “Ungu” sendiri.
Abdulhamid mengimbau Mendagri Tjahjo Kumolo untuk turun tangan kasus Palu ini agar tingkat kepercayaan publik kepada Pasha “Ungu” sebagai wakil walikota tidak merosot.
Sebab jika merosot bisa dipastikan program pembangunan sulit berjalan.
"Jika tidak ada tindakan dari Mendagri atau permintaan maaf dari Pasha “Ungu” maka bully akan terus dilancarkan oleh publik maupun media massa dan akan menjadi bola salju, makin lama makin besar," katanya.
Abdulhamid mengatakan UU Nomor 23/2014 tentang Pemda memberi kewenangan pemerintah pusat untuk memberikan hukuman kepada kepala daerah. Dalam Pasal 67 (b) disebutkan bahwa kepala daerah harus menjalankan peraturan perundangan, dalam hal ini UU Pers dan UU KIP.
"Jika kepala daerah tidak melaksanakannya, maka pemerintah pusat bisa memberhentikannya, seperti tercantum dalam Pasal 78 (d) UU Pemda, yang menyatakan bahwa kepala daerah diberhentikan jika tidak melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 67 (b)," ungkapnya.