Berita OKI

Tercatat, Ada 9 Pelaku Kejahatan di OKI Tak Jadi Dipenjara Selama 2025, Pencurian Hingga KDRT

Dikatakan salah satu kasus yang menjadi perhatian publik, perkara KDRT melibatkan tersangka Q dan korban R, yang notabene pasangan suami istri.

Penulis: Winando Davinchi | Editor: Slamet Teguh
Kejari OKI
RESTORATIF JUSTICE - Salah satu kasus yang menjadi perhatian publik, perkara KDRT yang melibatkan pasangan suami istri tersangka Q dan korban R saat perkara diselesaikan lewat mekanisme restoratif justice atau RJ. 

TRIBUNSUMSEL.COM, KAYUAGUNG – Sembilan pelaku kejahatan di Kabupaten Ogan Komering Ilir, Sumsel dapat bernapas lega dikarenakan tidak jadi masuk penjara selama periode tahun 2025.

Kejaksaan Negeri (Kejari) OKI menghentikan penuntutan kasus, mulai dari KDRT dan pencurian ringan melalui mekanisme restoratif justice (RJ).

Kepala Seksi Pidana Umum Kejari OKI, Indah Kumala Dewi mengatakan ini merupakan komitmen jajarannya dalam menerapkan keadilan yang mengedepankan kemanusiaan.

"Sejak program RJ diberlakukan, setiap target yang ditetapkan selalu bisa kami capai, bahkan melebihi," ujar Indah saat dikonfirmasi Rabu (12/11/2025) siang.

Dijelaskan Indah, perkara yang telah diselesaikan beragam mulai dari kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), penganiayaan ringan dan pencurian nilai kerugian kecil.

Menurutnya, syarat mutlak yang harus dipenuhi agar perkara bisa dihentikan yaitu melalui RJ.

"Semua kasus memiliki kesamaan, tersangka bukan residivis. Serta terdapat kesepakatan damai antara pelaku dan korban," jelasnya.

Baca juga: Korupsi APBD Rugikan Negara Rp 1,1 M, 4 Eks Pejabat Dispora OKI Divonis 1 Tahun 10 Bulan Penjara

Baca juga: Masuk Penjara di Usia Muda Tak Buat Tobat, Pemuda di Muara Enim Berulang Kali Mencuri

Dikatakan salah satu kasus yang menjadi perhatian publik, perkara KDRT melibatkan tersangka Q dan korban R, yang notabene pasangan suami istri.

Tersangka sempat dijerat pasal 44 ayat (1) Undang-Undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan KDRT.

"Setelah melalui proses mediasi dan evaluasi mendalam, perkara akhirnya diselesaikan secara damai," imbuhnya.

Proses penghentian penuntutan ini pun, tidak dilakukan sembarangan dan harus mendapat persetujuan resmi dari jaksa agung muda tindak pidana umum (JAM Pidum) Kejaksaan Agung RI.

"Hal ini menunjukkan Kejaksaan tak hanya menegakkan hukum secara kaku, tetapi menimbang asas kemanfaatan dan kemanusiaan, sebagaimana diatur dalam Peraturan Kejaksaan RI Nomor 15 Tahun 2020," terangnya.

Dalam kasus KDRT tersebut, kedua belah pihak sepakat untuk berdamai dan berkomitmen untuk memperbaiki hubungan rumah tangga mereka.

"Kami berharap tidak ada lagi kejadian serupa di kemudian hari. Tujuan utama RJ tak sekadar menyelesaikan perkara, tetapi memulihkan hubungan sosial dan berikan manfaat nyata bagi masyarakat," tandasnya.

 

 

 

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com

 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved