Hari Pahlawan

Sosok Marsinah, Gus Dur, Soeharto dan 7 Tokoh yang Resmi Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional

Profil 10 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2025, ditetapkan melalui Keppres No. 116/TK Tahun 2025, Berjasa dari berbagai babak sejarah Indonesia

|
Penulis: Aggi Suzatri | Editor: Weni Wahyuny
KOMPAS.com/FIKA NURUL ULYA
PAHLAWAN NASIONAL- Presiden Prabowo Subianto menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada 10 tokoh di Istana Negara, Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Senin (10/11/2025). Mereka berjasa dari berbagai babak sejarah Indonesia 
Ringkasan Berita:
  • Prabowo tetapkan 10 nama pahlawan di peringatan hari Pahlawan, pada Senin (10/11/2025).
  • Mereka di antaranya memiliki jasa-jasa  dari berbagai babak sejarah Indonesia dari pemimpin nasional hingga aktivis buruh.
  • Beberapa nama yang dikenal luas Presiden Soeharto, Gus Dur, hingga Marsinah

TRIBUNSUMSEL.COM - Presiden RI Prabowo Subianto resmi menetapkan 10 nama pahlawan Nasional di peringatan hari Pahlawan, pada Senin (10/11/2025).

10 nama penerima ini yang diberikan tahun ini berasal dari tokoh-tokoh dari berbagai babak sejarah Indonesia dari pemimpin nasional hingga aktivis buruh.

Dua nama yang paling mencuri perhatian publik adalah Presiden ke-2 RI Soeharto dan Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid (Gus Dur). 

Baca juga: DAFTAR 10 Tokoh Resmi Ditetapkan jadi Pahlawan Nasional: Ada Marsinah, Gus Dur hingga Soeharto

PAHLAWNA NASIONAL - Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025).
PAHLAWNA NASIONAL - Upacara penganugerahan gelar pahlawan nasional oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Negara, Jakarta, Senin (10/11/2025). (Sekretariat Presiden)

Selain mereka, nama Marsinah, buruh pabrik asal Jawa Timur yang tewas karena perjuangannya menegakkan keadilan bagi pekerja, juga masuk dalam daftar penerima gelar tahun ini. 

Berikut profil dari 10 Tokoh Penerima Gelar Pahlawan Nasional 2025, yang ditetapkan melalui Keppres No. 116/TK Tahun 2025:

1.Soeharto 

Soeharto lahir di Kemusuk, Argomulyo, Godean, Yogyakarta pada 8 Juni 1921.

Ia lahir dari keluarga kurang mampu. Ayahnya yang bernama Kertosudiro bekerja sebagai petani dan pembantu lurah untuk mengairi sawah desa.

Ketika beranjak dewasa, ia mulai bekerja menjadi pembantu klerk di Volks Bonk atau bank desa yang terletak di Wuryantoro.

Karier Soeharto di PETA mulai menanjak ketika ia dipromosikan menjadi chudanco atau komandan kompi.

Perjalanan kariernya terus melesak, ia ditunjuk oleh MPRS menjadi Pejabat Presiden pada 12 Maret 1967.

Ia dilantik menjadi Presiden pada 27 Maret 1968. Dari sinilah, rezim Orde Baru dimulai.

Rezim Orde Baru berakhir setelah Soeharto menyatakan berhenti menjadi presiden pada 21 Mei 1998. 

Mundurnya Soeharto bertepatan dengan unjuk rasa besar-besaran yang melibatkan mahasiswa dan elemen lainnya di sejumlah wilayah, seperti Jakarta dan Solo.

Selama memangku jabatan sebagai presiden, sosok Soeharto tidak bisa dilepaskan dari berbagai kontroversi, terutama kasus pelanggaran HAM berat.

Baca juga: Tangis Adik Marsinah Pecah saat sang Kakak Dapat Gelar Pahlawan Nasional: Terima Kasih 

2. K.H. Abdurrahman Wahid atau Gus Dur (Jawa Timur)

Gus Dur disebutkan sebagai pahlawan dengan perjuangan politik dan pendidikan Islam.

Semasa hidupnya, Gus Dur juga memperjuangkan kemanusiaan, demokrasi, dan pluralisme di Tanah Air.
 
Dikutip dari laman Perpustakaan Nasional RI, Gus Dur lahir di desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur, pada 4 Agustus 1940. 
 
Ayahnya, KH Wahid Hasyim, dikenal sebagai tokoh penting pendiri Nahdlatul Ulama (NU), sementara ibunya, Sholehah, adalah putri pendiri Pesantren Denanyar, KH Bisri Syamsuri.
 
Ia tercatat belajar di Universitas Al-Azhar, Kairo, pada 1964–1966, kemudian melanjutkan pendidikan di Universitas Baghdad, Irak, hingga 1970. 

Ia juga sempat melanjutkan studi di Universitas Leiden, Belanda.

Sekembalinya ke Indonesia, Gus Dur memilih berkarier sebagai pendidik. Pada 1971 ia mengajar di Fakultas Ushuludin Universitas Tebu Ireng, Jombang. 

Momentum besar datang pada Muktamar ke-27 NU di Situbondo pada 1984, ketika Gus Dur terpilih secara aklamasi sebagai ketua umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU). Ia akhirnya melepas posisi tersebut ketika menjabat Presiden ke-4 RI, menggantikan BJ Habibie.

Sebagai presiden, Gus Dur dikenal sebagai tokoh pluralisme. Salah satu contohnya ketika mencabut larangan perayaan Imlek melalui Keppres Nomor 19 Tahun 2001 yang menjadikan Imlek sebagai hari libur.

Baca juga: Dari Soeharto, Gus Dur hingga Marsinah, Daftar Tokoh yang Diusulkan Menjadi Pahlawan Nasional 2025

Setelah memimpin selama 21 bulan, Gus Dur diberhentikan oleh MPR pada 23 Juli 2001 dan digantikan oleh Megawati Soekarnoputri.

Delapan tahun kemudian, pada 30 Desember 2009, Gus Dur wafat di usia 69 tahun di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
  
3. Marsinah (Jawa Timur)
 
Marsinah lahir pada 10 April 1969.

Dia adalah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, Marsini kakaknya dan Wijiati adiknya.

Marsinah merupakan anak dari pasangan Astin dan Sumini di Desa Nglundo, Kecamatan Sukomoro, Kabupaten Nganjuk.

Dia pertama kali bekerja di pabrik plastik SKW kawasan industri Rungkut.

Tetapi, gajinya jauh dari cukup sehingga untuk memperoleh tambahan penghasilan, Marsinah juga berjualan nasi bungkus di sekitar pabrik seharga Rp 150 per bungkus.

Selama bekerja di pabrik ini, Marsinah dikenal vokal menyuarakan ketidakadilan dan ketimpangan.

Ia kerap menjadi juru bicara bagi rekan-rekan sesama pekerjanya.

Kasus pembunuhan Marsinah berawal pada 3-4 Mei 1993, saat buruh pabrik pembuatan arloji, PT Catur Putra Surya (CPS), menuntut pemenuhan hak mereka.

Pada 8 Mei 1993, segerombolan anak-anak menemukan menemukan jasad Marsinah terbujur kaku di sebuah gubuk di kawasan hutan Desa Jegong, Kecamatan Wilangan, Nganjuk, Jawa Timur.

Tubuhnya dipenuhi luka dan bersimbah darah, yang mengindikasikan bahwa Marsinah mengalami kekerasan dan penyiksaan sebelum dibunuh.

Setelah itu, kasus pembunuhan Marsinah tidak menemui titik terang dan menjadi salah satu catatan pelanggaran HAM di Indonesia.

4. Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja (Jawa Barat)

Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. lahir di Batavia (Jakarta), 17 Februari 1929.

Mochtar Kusumaatmadja dikenal sebagai akademisi dan diplomat.

Ia pernah menjabat sebagai Menteri Kehakiman dari tahun 1974 sampai 1978 dan Menteri Luar Negeri dari tahun 1978 sampai 1988. 
 
Riwayat perjuangan yang paling menonjol adalah gagasannya tentang konsep negara kepulauan yang digunakan oleh Perdana Menteri RI saat itu, Djuanda Kartawidjaja, dalam Deklarasi Djuanda tahun 1957.

Ia memperjuangkan dan berhasil mengukuhkan Prinsip Negara Kepulauan (Archipelagic State Principle) sebagai hukum laut internasional.

Sehingga perairan di antara pulau-pulau Indonesia diakui sebagai bagian sah dari kedaulatan Indonesia.

Atas kegigihan dan perjuangan diplomatiknya, wilayah laut Indonesia bertambah sekitar 3,7 juta km persegi tanpa perang, menjadikan Indonesia jauh lebih utuh sebagai satu negara.

Baca juga: Sosok Atim Suhara Hansip Tewas Ditembak Pencuri di Cakung, Gus Ipul Sebut Pahlawan Masa Kini

5. Hajah Rahmah El Yunusiyah (Sumatera Barat)
 
Rahmah El Yunusiyah adalah seorang reformator pendidikan Islam dan pejuang kemerdekaan Indonesia yang lahir di Padang Panjang dan terkenal sebagai pendiri Diniyah Putri.
 
Rahmah El Yunusiyah lahir pada 29 Desember 1900, di Bukit Surungan, Kecamatan Padang Panjang Barat, Kota Padang Panjang, Sumatera Barat. 

Pada saat remaja, Rahmah El Yunusiyah pernah menikah, tetapi kemudian bercerai. 

Setelah bercerai, Rahmah fokus memperjuangkan cita-citanya untuk menghilangkan diskriminasi yang diterima perempuan, khususnya di bidang pendidikan.
 
Rahmah ingin setiap perempuan mengerti hak dan kewajibannya sebagai anggota masyarakat melalui pendidikan yang layak.
 
Dari pemikiran itulah, Rahmah El Yunusiyah kemudian dikenal sebagai tokoh pendidikan pendiri Diniyah Putri Padang Panjang, madrasah khusus perempuan pertama di Indonesia.
 
Rahmah El Yunusiyah wafat di Padang Panjang pada 26 februari 1969, dalam usia 68 tahun.

Atas jasa-jasanya memperjuangkan hak perempuan di bidang pendidikan serta meningkatkan derajat perempuan di Sumatera pada masa penjajahan Belanda dan Jepang, ia diberi tanda kehormatan Bintang Mahaputra Adipradana.

6. Jenderal TNI Purnawirawan Sarwo Edhie Wibowo (Jawa Tengah) 

Sarwo Edhie berperan dalam penumpasan G30S pada 1965/1966, yang menewaskan tiga juta korban jiwa di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali.
 
Pada era Orde Baru, ia sempat menjadi Duta Besar Indonesia untuk Korea Selatan di Seoul.

Sarwo Edhie adalah ayah dari Ani Yudhoyono yang merupakan istri mantan presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudhoyono.
 
Setelah rezim Orde Lama mulai melemah dan digantikan Orde Baru, Soeharto yang menjadi presiden kemudian mengangkat Sarwo Edhie sebagai Panglima Kodam II/Bukit Barisan di Sumatera.
 
Kemudian, pada 1970-an, Sarwo Edhie ditunjuk Soeharto sebagai Gubernur Akademi Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (AKABRI) di Magelang.  

Setelah itu, karier Sarwo Edhie perlahan tenggelam hingga akhirnya ia meninggal dunia pada 9 november 1989.
 
7. Sultan Muhammad Salahuddin (Nusa Tenggara Barat)
 
Muhammad Salahuddin lahir dan besar di Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB), menjabat sebagai Sultan ke-14 Kesultanan Bima 1915-1951. 

Di tengah arus kolonialisme dan pergolakan politik, Sultan Salahuddin tampil sebagai pemimpin yang visioner, menjunjung tinggi nilai-nilai kebangsaan dan berani mengambil sikap tegas demi kemerdekaan Indonesia.

Kejayaan Kerajaan atau Kesultanan Bima terjadi pada masa pemerintahan sultan terakhir, yaitu Sultan Muhammad Salahuddin. Ia berhasil mengembangkan Islam secara pesat.

Sultan Muhammad Salahuddin juga membangun sejumlah sarana dan prasarana untuk beribadah. Ia juga mengembangkan fungsi ibadah yang menjadi pusat pengkajian ilmu juga agama.
 
Sultan Muhmmad Salahuddin juga mengembangkan pendidikan formal yang dilakukan dengan mendirikan sejumlah madrasah di wilayahnya.
 
8. Syaikhona Muhammad Kholil (Jawa Timur)
 
Syekh Kholil adalah ulama yang sangat masyhur di Madura. Dia lahir pada sekitar 25 Mei 1835, atau pada 9 Shafar 1252 Hijriah, di Kemayoran, Bangkalan.

Ia merupakan anak dari pasangan Kiai Hamim dan Syarifah Khodijah.

Syaikhona merupakan salah satu ulama besar yang berperan dalam melawan kolonialisme. 

Kemudian Syaikhona juga disebut berperan mengonstruksi Islam Nusantara.

Santri-santri Syaikhona antara lain para pendiri Nahdlatul Ulama (NU), pendiri pondok pesantren besar di Jawa, termasuk Presiden Pertama RI Soekarno. 
Syaikhona juga disebut kerap menuliskan catatan-catatan yang bersinggungan dengan nasionalisme.

9. Tuan Runda H. Ali Basaragi (Sumatera Utara)

Tak banyak informasi mengenai profil Tuan Runda H. Ali Basaragi.

Namun, ia dikenal sebagai okoh perlawanan dari Sumatera Utara.

10. Zainal Abidin Syah (Maluku Utara)

Zainal Abidin Syah merupakan Sultan Tidore periode 1947-1967. Ia lahir di Soasiu, kota utama Pulau Tidore, Maluku Utara, pada tahun 1912. 

Sultan Zainal Abidin Syah atau Sultan Tidore ke-37 disebut sebagai tokoh pemersatu Wilayah Papua Barat.

Zainal Abidin Syah berperan penting dalam kemerdekaan RI dan mengeratkan NKRI melalui keputusannya yang tegas untuk menyatukan Irian Barat (Papua) ke dalam Indonesia, serta penunjukannya sebagai Gubernur Irian Barat pertama.

Sultan Zainal Abidin Syah kemudian ditetapkan sebagai Gubernur sementara provinsi perjuangan Irian Barat pada tanggal 23 September 1956 di Soa-Sio Tidore (SK Presiden RI No. 142/ Tahun 1956, Tanggal 23 September 1956). 

Selanjutnya sesuai SK Presiden RI No. 220/ Tahun 1961, Tanggal 4 Mei 1962, ia ditetapkan sebagai gubernur tetap Provinsi Irian Barat. 

Sebagai gubernur, Sultan Zainal Abidin Syah diperbantukan pada Operasi Mandala di Makassar (TRIKORA) Perjuangan Pembebasan Irian Barat. 

Ia memegang jabatan Gubernur Irian Barat hingga tahun 1961.

Sultan Zainal Abidin Syah menetap di Ambon hingga wafat pada tanggal 4 Juli 1967.

Adapun 10 nama tersebut telah melalui proses panjang, mulai dari usulan di tingkat daerah hingga pengkajian di pusat.  

Penganugerahan ini diberikan berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia (Keppres) Nomor 116/TK/Tahun 2025 tentang Penganugerahan Gelar Pahlawan Nasional yang ditetapkan di Jakarta pada tanggal 6 November 2025. 

Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News  

Ikuti dan Bergabung di Saluran Whatsapp Tribunsumsel.com

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved