Mata Lokal Desa

Asal Usul Desa Nusa Bali di OKU Timur Sumsel, Berawal Meletusnya Gunung Agung Tahun 1963

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

DESA NUSA BALI -- Suasana kegiatan keagamaan di Desa Nusa Bali, Kecamatan Belitang II. Meski berada di tanah rantau, tradisi dan nilai spiritual dari Pulau Bali tetap lestari dan hidup dalam keseharian masyarakat, Kamis (29/05/2025).

TRIBUNSUMSEL.COM, MARTAPURA - Di balik asrinya Desa Nusa Bali, Kecamatan Belitang III, Kabupaten OKU Timur, Sumsel yang kini berdiri tegak di tengah hamparan hijau lahan pertanian Belitang, tersimpan kisah perjuangan dan harapan dari generasi perintis yang datang dari Pulau Dewata, Bali.

Desa ini bukan lahir dari proses biasa, melainkan dari abu dan luka sejarah letusan dahsyat Gunung Agung tahun 1963 yang mengguncang tanah Bali dan menggiring ribuan warganya menuju program transmigrasi nasional.

Kala itu, di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno, pemerintah pusat menggagas penyelamatan dengan memindahkan para pengungsi ke berbagai penjuru Nusantara.

Salah satu titik tujuan adalah Lampung dan Sumatera Selatan.

Dari situlah kisah Desa Nusa Bali dimulai berawal dari pelayaran panjang selama tiga hari tiga malam menggunakan kapal feri yang membawa warga Bali meninggalkan tanah kelahiran menuju ketidakpastian di tanah seberang.

Dipimpin oleh seorang tokoh bernama I Wayan Dangin, sekitar 90 kepala keluarga menetap di kawasan baru yang belum memiliki nama.

Melalui dialog dengan tokoh lokal setempat, Pesirah Hamzah, para transmigran memperoleh lahan pekarangan seluas 2.500 meter persegi dan lahan pertanian 20.000 meter persegi per keluarga.

Dari musyawarah dan semangat kebersamaan, lahirlah nama “Nusa Bali”, sebagai simbol kesatuan asal dan cita-cita membangun masa depan bersama.

Nama Nusa Bali lahir dari sebuah musyawarah warga dan tokoh masyarakat kala itu, dipimpin oleh salah satu kepala rombongan, I Wayan Dangin. "Nusa" berarti pulau, dan "Bali" sebagai pengingat kampung halaman yang mereka tinggalkan.

Nama ini menjadi simbol persatuan dan semangat untuk tetap menjaga identitas budaya di tanah baru.

Sejak resmi menjadi desa definitif pada awal 1970-an, Nusa Bali berkembang menjadi permukiman yang hidup, seiring dengan datangnya gelombang transmigran kedua dari Bali dan sebagian dari Jawa. 

Lalu antara tahun 1972 hingga 1974, gelombang kedua transmigrasi datang, membawa warga dari Bali dan beberapa wilayah Jawa seperti Banyuwangi, Tulungagung, dan Ponorogo.

Desa Nusa Bali pun resmi menjadi desa definitif, dan I Wayan Dangin diangkat sebagai Kepala Desa pertama.

Kepemimpinan desa pun berganti dari generasi ke generasi – dari I Wayan Dangin, I Gusti Ngurah Nyoman Arse, I Ketut Sumendra, hingga kini dipimpin

Sejak itu, tongkat estafet kepemimpinan terus bergulir mulai dari I Gusti Ngurah Nyoman Arse (1994–2006), I Ketut Sumendra (2006–2009).

Kemudian I Gusti Ngurah Setiya Putra sebagai Pjs (2009–2012), Kadek Budiase (2013–2019), Soleh, S.E. sebagai Penjabat Kepala Desa (2019–2021) hingga kini dipimpin oleh Made Rejane, S.E. (2021–2029).

Di bawah berbagai kepemimpinan itu, Desa Nusa Bali tumbuh menjadi komunitas yang mandiri, kaya akan nilai gotong royong, dan memiliki banyak aset produktif seperti kebun desa dan lahan milik bersama yang dikelola untuk kesejahteraan warga.

Jalan desa, infrastruktur pertanian, dan fasilitas umum kini menjadi warisan nyata dari kerja keras lintas generasi.

Desa Nusa Bali bukan hanya bukti keberhasilan transmigrasi, tetapi juga potret keteguhan hati manusia yang mampu mengubah keterpaksaan menjadi harapan, dan tragedi menjadi tonggak awal sebuah komunitas yang sejahtera.

Warisan para pemimpin terdahulu tak hanya berupa sejarah, tetapi juga aset nyata: tanah desa, kebun, serta infrastruktur yang menopang kesejahteraan warga hingga hari ini.

Jalan-jalan desa, fasilitas umum, dan sarana pertanian menjadi bukti nyata bahwa Desa Nusa Bali bukan hanya tempat tinggal, melainkan tanah harapan yang dibangun dengan air mata, kerja keras, dan semangat pantang menyerah.

Kini, Desa Nusa Bali menjadi simbol bagaimana bencana bisa melahirkan peradaban baru. Di tengah perantauan, warga tetap menjaga adat, budaya, dan solidaritas yang menjadi jati diri mereka.

Desa ini bukan hanya tentang tanah yang ditinggali melainkan tentang cerita, perjuangan, dan warisan hidup dari generasi ke generasi.
 
 

 

Baca artikel menarik lainnya di Google News

Ikuti dan bergabung di saluran WhatsApp Tribunsumsel

Berita Terkini