TRIBUNSUMSEL.COM, EMPAT LAWANG - Viral di media sosial saat ada ibu-ibu menghancurkan jalan setapak menggunakan palu godam dan linggis di Empat Lawang.
Belakangan diketahui, jika video tersebut direkam di jalan setapak dekat persawahan dan perkebunan yang ada di Desa Muara Karang, Kecamatan Pendopo, Empat Lawang.
Diketahui ibu-ibu yang menghancurkan jalan tersebut bernama Wati yang juga merupakan warga Desa Muara Karang.
Pada video viral itu Wati berkata dalam bahasa Lintang, "Ini tanah milik saya bukan milik bersama, mereka tidak pernah izin kepada saya, ini tanah milik saya, bukan hak bersama. Saya tidak senang jalan ini dibangun di atas tanah saya tanpa izin.” katanya.
Belakangan terungkap penyebab ia menghancurkan jalan setapak itu karena menurutnya pihak desa tidak melakukan izin terlebih dahulu kepadanya sebelum membangun jalan setapak tersebut.
“Memang jalan lama, bangun jalan tidak pamitan dengan kami, Kades pas saya tegur kenapa kamu bangun jalan tidak pamit dengan aku, kata Kades jalan sudah lama, itulah kenapa dia bangun jalan di sana. Saya tidak senang seharusnya izin atau pamit dulu dengan yang berhak, kata istri Kades itu Rena hancurkan, nah itulah kenapa saya hancurkan bangunan jalan tersebut," katanya kepada wartawan di Empat Lawang.
Baca juga: 3 Haktare Lahan di Tebing Tinggi Empat Lawang Terbakar, Nyaris Merambat ke Pemukiman Warga
Baca juga: Harga Cabai Merah Keriting di Empat Lawang Rp 25 Ribu Perkilo, Cabai Rawit Hijau Rp 50 Ribu Perkilo
Menyangkal pernyataan Wati, Kepala Desa Muara Karang, Taufik kepada wartawan menyampaikan tanah yang dibangun jalan setapak itu memang jalan umum dari zaman dulu bahkan sebelum Wati lahir memang sudah jalan umum masyarakat.
"Itu tanah masih atas nama milik bersama keluarganya yang lain tidak ada yang mempermasalahkan malah yang lain mengatakan itu wakaf dari bapak ibu mereka, tidak masalah di bangun jalan malah keluarganya senang," ujar Taufik saat dihubungi wartawan di Empat Lawang.
Ia juga menyebut tanah tersebut bukan milik pribadi dan sudah sejak dulu tanah itu sudah menjadi jalan.
“Bedanya dulu jalan tanah sekarang di semen, kalau memang perlu dikonfirmasi silakan tanya masyarakat di desa yang umurnya sudah tua yang lebih setengah abad," ujarnya.
Baca berita Tribunsumsel.com lainnya di Google News
Ikuti dan bergabung dalam saluran whatsapp Tribunsumsel.com