Berita Nasional

Merasa Diusik, Mahfud MD Melawan, Menko Polhukam Versus Perkomhan Memanas

Editor: Rahmat Aizullah
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Menko Polhukam Mahfud MD. Dia balik melawan karena merasa terusik dengan gugatan Perhimpunan Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan).

TRIBUNSUMSEL.COM - Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD merasa diusik Perhimpunan Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan).

Menko Polhukam Mahfud MD pun tak tinggal diam, dia melawan karena merasa terusik dengan gugatan Perkomhan.

Mahfud disebut digugat sebesar Rp 1.025.000.000 karena mengomentari putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) soal penundaan pemilu atas gugatan Partai Prima beberapa waktu lalu.

Karena digugat Rp 1 miliar, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi itu melawan lalu menggugat balik Perkomhan sebesar Rp 5 miliar.

“Karena mengusik saya, maka saya akan gugat balik Perkomhan dalam gugatan rekonvensi sebesar Rp 5 miliar dengan putusan provisi sita jaminan,” kata Mahfud, dikutip dari Kompas, Jumat (16/6/2023).

Mahfud mempertanyakan legal standing Perkomhan yang memposisikan memiliki hak perdata yang dirugikan.

Tiba-tiba Perkomhan menggugat dirinya sebagai Menko Polhukam ke PN Jakarta Pusat dengan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH).

“Katanya saya telah melakukan perbuatan melanggar hukum karena mengomentari putusan PN Jakpus yang memenangkan gugatan Partai Prima untuk menunda tahapan pemilu,” kata Mahfud.

“Loh, masak mengomentari putusan pengadilan dianggap pembuatan melawan hukum? Hak perdata apa yang dimiliki oleh Perkomhan atas komentar vonis PN itu?” ujar Mahfud lagi.

Meski begitu, Mahfud mengakui telah mengatakan bahwa putusan PN Jakarta Pusat soal gugatan Partai Prima kala itu keliru dan salah kamar.

"Saya memang bilang bahwa putusan PN Jakpus keliru dan salah kamar. Itu kamar hukum administrasi kok dibawa ke kamar hukum perdata. Di dalam hukum administrasi Partai Prima sudah kalah di Bawaslu dan di PTUN tapi kok dibawa lagi ke Pengadilan Negeri, ya salah," ucapnya.

"Bagi saya itu permainan hukum. Makanya saya bilang KPU harus naik banding dan kita akan melakukan perjuangan politik untuk menyelamatkan agenda politik konstitusional," kata Mahfud.

Hukum pemilu, kata Mahfud, adalah hukum administrasi negara dan hukum tata negara.

Sehingga, tidak bisa diputuskan oleh Pengadilan Umum, karena itu adalah kompetensinya Bawaslu dan PTUN.

Mahfud pun merasa heran mengomentari putusan pengadilan dianggap melawan hukum.

"Loh, masak mengomentari putusan pengadilan dianggap pembuatan melawan hukum? Hak perdata apa yang dimiliki oleh Perkomhan atas komentar vonis PN itu?" ucapnya.

"Sejak dulu tiap hari ada puluhan orang mengomentari putusan pengadilan dan tak pernah ada yang dianggap pebuatan melanggar hukum atas hak perdata seseorang," sambungnya.

Ia juga menyebut banyak pimpinan parpol yang sudah lolos verifikasi, politisi, akademisi, pengamat dan media mainstream mengomentari putusan PN Jakarta Pusat, Mahfud pun mempertanyakan mengapa hanya dirinya yang digugat.

"Mengapa mereka tidak digugat juga sekalian kalau itu dianggap melanggar hak perdata Perkomhan? Sudah jelas siapa saja yang berkomentar dan apa isi komentarnya. Kok tak digugat juga?" kata Mahfud.

"Buktinya juga pada tingkat banding putusan PN itu dibatalkan seluruhnya oleh Pengadilan Tinggi yang berarti komentar publik itu benar dan jelas landasan hukumnya," sambung dia.

Mahfud MD Digugat Perkomhan

Mahfud MD digugat sebesar Rp 1.025.000.000 oleh Perhimpunan Korban Mafia Hukum dan Ketidakadilan (Perkomhan) atas komentarnya terkait putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) soal penundaan pemilu.

Gugatan bernomor 205/Pdt.G/2023/PN Jkt.Pst itu didaftarkan ke PN Jakpus pada Rabu (29/3/2023).

Dalam surat gugatan atau petitum, penggugat memohon kepada pengadilan agar memerintahkan Mahfud memohon maaf atas perbuatannya karena dinilai melawan hukum.

Penggugat memohon agar pengadilan mengabulkan gugatan penggugat seluruhnya, menyatakan terguggat (Mahfud MD) telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum, menghukum tergugat untuk meminta maaf secara terbuka disaksikan oleh penggugat dalam waktu 1x24 jam setelah perkara ini memiliki kekuatan hukum tetap.

"Menghukum TERGUGAT membayar ganti rugi materiil sebesar Rp. Rp. 25.000.000,- (dua puluh lima juta rupiah); Menghukum TERGUGAT membayar kerugian immateriil sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah); Menghukum TERGUGAT untuk membayar biaya perkara dalam semua tingkat Pengadilan," tulis petitum tersebut.

Berita Terkini