Laporan Wartawan Tribunsumsel.com, Aggi Suzatri
TRIBUNSUMSEL.COM- Belum lama ini terpidana Richard Eliezer muncul dalam wawancara ekslusif bersama Rosianna Silalahi di Kompas TV.
Dalam program tersebut, Richard Eliezer membongkar soal skenario kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir J dan terkait kembali sebagai anggota Polri.
Namun sayangnya, Lembaga Perlindungan Saksi Korban (LPSK) memprotes penayangan wawancara kepada terpidana dan mengancam akan cabut perlindungan bagi Richard Eliezer.
Diketahui, Richard Eliezer Pudihang Lumiu saat ini mendekam di balik Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Cabang Salemba.
Richard Eliezer Pudihang Lumiu menjalani masa hukuman pidana selama 1 tahun 6 bulan oleh majelis hakim setelah Jaksa sebelumnya menuntut dirinya pidana selama 12 tahun.
Baca juga: Momen Richard Eliezer Bertemu Kapolri Ungkap Skenario Sambo, Dianggap Jadi Maskot Kejujuran
Pembawa acara berita, Rosi sebelumnya mengungkapkan bahwa program tersebut harus dibatalkan sebab mendapat surat dari pihak Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK).
LPSK 'mengancam' atau menegaskan jika wawancara tersebut ditayangkan, maka perlindungan kepada Bharada E akan dicabut.
“Dapat surat dari lembaga perlindungan saksi dan korban, katanya wawancara dengan ini (Richard Eliezer) aduh siapa tuh,” kata Rosi, dilansir dari akun TikTok @laraspratiwi60 pada Kamis, (9/3/2023)
Surat tersebut berisikan tentang larangan kepada pihak Kompas TV untuk tidak menayangkan wawancara tersebut.
“Katanya wawancara ini diminta untuk tidak ditayangkan karena kalau misalnya tetap ditayangkan, maka apa,” kata Rosi.
“Maka perlindungan terhadap Richard Eliezer dapat dihentikan,” tambahnya.
Baca juga: Ronny Talapessy Ucapkan Perpisahan Usai Bharada E Tetap Jadi Polisi : Tugas Saya Mengawalmu Selesai
LPSK pun berencana menanggapi wawancara Rosi dengan Richard Eliezer yang tetap tayang di kanal Kompas TV pada Kamis (9/3/2023).
Tidak dijelaskan secara detail mengapa wawancara ekslusif itu dilarang tayang.
Namun banyak yang berspekulasi bahwa ini menyangkut keamanan Eliezer sendiri.
Terkait ini, kuasa hukum Bharada E, Ronny Talapessy menyampaikan bahwa Wawancara Rosianna Silalahi dan Bharada E tetap ditayangkan pada Kamis, 9 Maret 2023 pukul 20.30 WIB di Kompas TV.
Melalui akun Instagram pribadinya, Ronny Talapessy menyampaikan jika pihaknya telah mendapat izin dari LPSK.
Dijelaskan bahwa LPSK telah menyetujui adanya wawancara terbuka dengan alasan atas keputusan Richard Eliezer.
"Semua tahapan perijinan sudah ada. Saya sendiri yang mengecek dan mereka pun setuju. Saya mendengar langsung karena saya telpon, dan mereka bilang silahkan asalkan Icad setuju," tulis Ronny Talapessy, pada Instagramnya, Jumat (10/3/2023).
Ronny Talapessy bak habis kesabaran dan menganggap tindakan melarang Richard Eliezer muncul dinilai berlebihan
"Dari kemarin kamu diancam-ancam karena kamu muncul kami diam, tapi kali ini udah keterlaluan. Kalau pun nilai-nilai kehidupan, kejujuran dan pertobatan yang hendak dibagikan oleh media untuk banyak orang itu dilarang... tidak apa, kita mengalah," katanya.
Sebagai kuasa hukum Richard Eliezer, Ronny Talapessy pasang badan untuk kliennya agar tak perlu mengkhawatirkan ancaman tersebut.
"Rumahmu dan keluargamu yang akan menjagamu gak usah khawatir. Kita seluruh masyarakat Indonesia akan selalu menjagamu," tandasnya.
LPSK Gelar konferensi pers
LPSK pun berencana menanggapi wawancara Rosi dengan Richard Eliezer yang tetap tayang di kanal Kompas TV pada Kamis (9/3/2023).
Melalui konferensi pers yang akan berlangsung pada hari ini Jumat sekitar pukul 15.00 WIB Lembaga yang berkantor di Jalan Raya Bogor Kilometer 24 Nomor 47-49 Ciracas, Jakarta Timur ini mengundang awak media untuk hadir dalam gelaran konferensi pers tersebut.
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi membenarkan konferensi pers tersebut berkaitan dengan penayangan wawancara Richard Eliezer di Kompas TV.
"Iya," ucap Edwin.
Namun sayangnya ia enggan menjelaskan apakah konferensi pers ini menegaskan LPSK akan mencabut perlindungan untuk justice collaborator kasus yang menjerat Eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo itu.
"Datang saja ke konferensi pers," ujanya.
Richard Diwawancara
Richard Eliezer Pudihang Lumiu tengah menjalani masa hukuman pidana selama 1 tahun 6 bulan oleh majelis hakim setelah Jaksa sebelumnya menuntut dirinya pidana selama 12 tahun.
Diketahui, Richard Eliezer Pudihang Lumiu kini mendekam di balik Rumah Tahanan (Rutan) Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri Cabang Salemba.
Selama mendekam dibalik jeruji itulah banyak sekali kegiatan yang dilakukan Richard Eliezer dalam kesehariannya.
Salah satu kegiatan yang dilakukan Richard kini diketahui lebih banyak membaca buku.
Perjuangan Richard Eliezer sebelum menjadi anggota Polri terungkap. (Youtube/Kompas TV)
Diakui Richard, dirinya saat lebih memfokuskan membaca buku guna mempersiapkan diri untuk skripsinya yang sempat tertunda.
"Sehari-hari saya di sini lebih banyak membaca buku. Sekarang masih dalam tahap belajar untuk membuat skripsi. Karena kemarin kan kuliah saya sempat tertunda. Jadi, pelan-pelan saya belajar buat skripsi," kata Richard dalam tayangan Youtube Rosi di Kompas TV pada Kamis (9/3/2023).
Disisi lain, eks ajudan Ferdy Sambo ini mengaku kondisi tubuhnya dalam keadaan stabil, tak gemuk ataupun kurus.
"Stabil, enggak naik," pungkasnya.
Sebelumnya, terdakwa Bharada Richard Eliezer Pudihang Lumiu atau Bharada E dijatuhi vonis 1 tahun 6 bulan penjara oleh Majelis Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, dalam kasus pembunuhan berencana Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Richard Eliezer dengan 1 tahun 6 bulan penjara" kata Ketua Majelis Hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan putusannya di PN Jakarta Selatan, Rabu (15/2/2023).
Majelis hakim menilai Bharada E terbukti secara sah dan meyakinkan turut serta melakukan pembunuhan berencana atas Brigadir J.
Menurut majelis hakim semua unsur dalam pembunuhan berencana sudah terpenuhi dan melanggar Pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tentang pembunuhan berencana juncto Pasal 55 Ayat (1) ke 1 KUHP.
Meski begitu majelis hakim menerima Bharada E sebagai justice collaborator atau pengungkap fakta atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum.
Majelis hakim memvonis Bharada E lebih rendah dibandingkan terdakwa lainnya.
Richard pun telah menjalani sidang etik oleh Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri dan diputuskan dia tetap menjadi anggota kepolisian.
Kejujuran Richard Eliezer
Atas kejujuran Bharada E yang membuatnya mendapat apresiasi dari Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menganggap jika Bharada E bak maskot kejujuran lantaran berani membongkar fakta.
"Seorang Richard Eliezer barang kali selama ini menjadi perhatian dan dukungan publik sehingga pada saat dia dinyatakan bersalah jelas-jelas ikut menembak, namun disisi lain dia dianggap sebagai maskot terhadap keberanian dalam menyampaikan kejujuran," terang Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Hal ini lah yang menjadi pertimbangan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo menetapkan kembali Bharada E sebagai anggota polisi.
"Tentunya nilai keberanian untuk kejujuran dan keberanian untuk menolak perintah inilah yang harus dicontoh kepada anggota polri, sehingga kedepan kita betul-betul bisa menjaga nilai tersebut." ungkapnya.
Richard Elizer mengaku bahwa dirinya sangat bersyukur dan tak akan menyia nyiakan kesempatan dari intitusi Polri yang diberikan kepada dirinya.
Jujur saya kaget karena memang saya tidak tau sama sekali namun saya sangat sangat berterima kasih tentunya ke Pak Kapolri dan saya berjanji ke Bapak Kapolri saya akan memegang teguh perintah dari Bapak Kapolri agar tetap selalu mengutamakan kejujuran dalam menjalankan tugas.
Jadi pada saat itu saya menyampaikan kepada Bapak Kapolri saya mau jujur dengan menyampaikan cerita yang sesuai dengan fakta yang terjadi," jelas Richard Elizer.
Bahkan Richard Elizer tak segan memberikan janji usai dirinya ditetapkan kembali sebagai anggota Polri.
"Saya berjanji perjalanan ini menjadi pelajaran saya dan saya berjanji untuk memperbaiki diri tentunya kepada institusi Polri agar supaya saya bisa menjadi anggota Polri yang lebih taat aturan kedepannya,"
"Saya sudah memberikan hal positif dengan berkata jujur dan saya yakin masih banyak anggota Polri yang memiliki integritas dan loyalitas. Dan saya akan tetap setia untuk melakukan tugas sebagai anggota Polri dan akan menjalankan nasihat Bapak Kapolri untuk menjunjung tinggi kejujuran karena saya merasa memiliki hutan kepada institusi Polri dan saya berusaha menebus kesalahan yang saya lakukan. Saya berjanji akan mendedikasikan diri saya ke institusi Polri," pungkasnya.
Ia merasa sangat bersyukur atas nasib baiknya dengan ditambah doa dan dukungan dari orangtua dan masyakarat Indonesia.
"Saya diberikan kesempatan untuk berbicara dengan mama saya dan saya merasa lebih tenang ketika saya bicara ke mama saya
Dan tidak lupa dukungan dan doa dari banyak orang buat saya agar tetap jujur dalam persidangan," kata Richard.
Richard Elizer juga merasa keputusan Polri yang membuatnya kembali menjadi anggota Polri sangat berarti baginya.
Pasalnya selama ini Richard sangat berjuang untuk diterima sebagai anggota Polri.
"Tentunya saya sangat sangat bersyukur dan ini merupakan anugerah yang luar biasa dari tuhan buat hidup saya
Keputusan ini sangat berarti untuk hidup saya karena nanti bisa kembali bertugas menjadi anggota Polri," bebernya.
Selain itu Richard Elizer yang mengakui kesalahannya mengaku sangat meminta maaf kepada semua pihak atas kesalahan yang ia perbuat.
"Saya memang bersalah, saya memohon ampun atas kesalahan saya, saya memohon ampun kepada Tuhan dan institusi Polri dan kepada masyakarat karena kesalahan yang saya lakukan. Jadi pada kesempatan ini izinkan saya menyampaikan ke masyakarat untuk kembali lagi ke institusi Polri, saya merasa masih punya utang ke institusi Polri," sambung Richard.
Rangkuman Kasus Pembunuhan Brigadir J
Kasus kematian Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J telah sampai ke babak akhir.
Seluruh terdakwa sudah divonis oleh majelis hakim. Total ada 11 terdakwa dalam kasus ini, terdiri dari 5 terdakwa pembunuhan berencana terhadap Brigadir J dan 7 terdakwa obstruction of justice atau perintangan penyidikan kasus kematian Yosua.
Satu terdakwa, yakni Ferdy Sambo, terlibat dua perkara sekaligus, baik pembunuhan berencana maupun perintangan penyidikan.
Kasus pembunuhan Brigadir J sendiri dilatarbelakangi oleh pernyataan istri Sambo, Putri Candrawathi, yang mengaku dilecehkan oleh Yosua di Magelang, Jawa Tengah, Kamis (7/7/2022).
Pengakuan yang belum diketahui kebenarannya itu lantas membuat Sambo marah hingga menyusun strategi untuk membunuh Yosua.
Sambo memerintahkan ajudannya saat itu, Ricky Rizal atau Bripka RR, menembak Yosua.
Namun, Ricky menolak sehingga Sambo beralih memerintahkan Richard Eliezer atau Bharada E.
Yosua pun dieksekusi dengan cara ditembak 3-4 kali oleh Richard Eliezer di rumah dinas Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan, Jumat (8/7/2022).
Setelahnya, Sambo menembak kepala belakang Yosua hingga korban tewas.
Mantan perwira tinggi Polri itu lantas menembakkan pistol milik Yosua ke dinding-dinding rumah untuk menciptakan skenario tembak menembak antara Brigadir J dan Bharada E yang berujung pada tewasnya Yosua.
Sementara, dalam perkara obstruction of justice, Sambo berupaya menghilangkan barang bukti dengan mengerahkan sejumlah anak buahnya untuk merintangi penyidikan.
Berikut daftar vonis 11 terdakwa yang terseret kasus kematian Brigadir J, dikutip dari Kompas.com
1. Ferdy Sambo
Ferdy Sambo dijatuhi hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) atas kasus pembunuhan berencana sekaligus obstruction of justice perkara kematian Yosua.
Sebelumnya, oleh jaksa, Sambo dituntut pidana penjara seumur hidup.
"Menjatuhkan terdakwa dengan pidana mati," kata Majelis Hakim Ketua Wahyu Imam Santoso dalam sidang, Senin (13/2/2023).
Hakim menilai, perbuatan Sambo mengakibatkan duka mendalam bagi keluarga Yosua.
Mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri itu juga dianggap menimbulkan keresahan dan kegaduhan luas di masyarakat.
Sebagai aparat penegak hukum dengan pangkat jenderal bintang dua, Sambo dinilai tak pantas melakukan pembunuhan berencana.
"Perbuatan terdakwa telah mencoreng institusi Polri di mata masyarakat Indonesia dan dunia internasional," ucap hakim.
2. Putri Candrawathi
Sementara, istri Sambo, Putri Candrawathi, divonis pidana penjara 20 tahun.
Hukuman itu juga melampaui tuntutan jaksa yakni pidana penjara 8 tahun.
Menurut hakim, sebagai istri Kadiv Propam Polri sekaligus bendahara umum pengurus pusat Bhayangkari, Putri seharusnya menjadi teladan bagi para istri polisi lainnya.
Sebaliknya, Putri malah terlibat pembunuhan berencana sehingga mencoreng nama baik organisasi para istri polisi.
Selain itu, perbuatan Putri dinilai menimbulkan kerugian besar bagi para personel kepolisian lainnya yang ikut terseret perkara ini.
"Perbuatan terdakwa telah berdampak dan menimbulkan kerugian yang besar berbagai pihak baik materil maupun moril, bahkan memutus masa depan banyak personel anggota kepolisian," tutur hakim, Senin (13/2/2023).
Hakim pun meyakini bahwa Putri bukan korban kekerasan seksual Brigadir J.
Istri Ferdy Sambo itu diduga sakit hati oleh Yosua sehingga mengadu ke suaminya yang berujung pada peristiwa pembunuhan berencana.
Lihat Foto Terdakwa kasus dugaan pembunuhan berencana terhadap Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J, Putri Candrawathi menjalani sidang putusan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Senin (13/2/2023).
3. Kuat Ma'ruf
Masih dalam perkara pembunuhan berencana, asisten rumah tangga (ART) Ferdy Sambo, Kuat Ma'ruf, divonis dihukum pidana penjara 15 tahun.
Vonis ini lebih berat dari tuntutan jaksa yang meminta hakim menghukum Kuat dengan 8 tahun penjara.
Dalam perkara ini, Kuat dianggap berperan menyiapkan tempat eksekusi Brigadir J di rumah dinas Sambo.
Namun demikian, Kuat tak mengaku bersalah dan justru memosisikan dirinya orang yang tidak tahu menahu perkara ini.
"Terdakwa tidak memperlihatkan rasa penyesalan dalam setiap persidangan," kata hakim dalam sidang di PN Jaksel, Selasa (14/2/2023).
4. Ricky Rizal
Terdakwa lainnya, Ricky Rizal atau Bripka RR divonis pidana penjara 13 tahun.
Hukuman mantan ajudan Ferdy Sambo itu juga lebih berat dari tuntutan jaksa sebesar 8 tahun pidana penjara.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Ricky Rizal Wibowo dengan pidana penjara selama 13 tahun," kata hakim Wahyu, Selasa (14/2/2023).
Ricky dianggap membiarkan terjadinya pembunuhan terhadap Brigadir J, padahal dia punya kesempatan untuk menggagalkan rencana tersebut.
Perbuatan brigadir polisi kepala (bripka) itu juga dinilai mencoreng citra Polri.
5. Richard Eliezer
Dibanding empat terdakwa pembunuhan berencana lainnya, Richard Eliezer divonis paling ringan yakni pidana penjara 1 tahun 6 bulan.
Hukuman itu jauh lebih kecil dari tuntutan jaksa yakni 12 tahun penjara.
Dalam putusannya, hakim mempertimbangkan sejumlah hal yang meringankan hukuman Richard.
Antara lain, Richard dianggap telah menyesali perbuatannya.
Hakim juga mempertimbangkan status Richard sebagai justice collaborator atau saksi pelaku yang bekerja sama dengan penegak hukum untuk mengungkap perkara pembunuhan Yosua.
Selain itu, keluarga Yosua telah memaafkan Richard sejak awal kasus ini terungkap.
"Keluarga korban Nofriansyah Hutabarat telah memaafkan perbuatan terdakwa," kata hakim dalam persidangan, Rabu (15/2/2023).
Atas vonis ringan tersebut, jaksa tak mengajukan banding.
Artinya, putusan hukuman Richard sudah inkrah atau berkekuatan hukum tetap.
Sementara, empat terdakwa pembunuhan berencana lainnya yakni Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Kuat Ma'ruf, dan Ricky Rizal mengajukan banding sehingga vonis keempatnya hingga kini belum inkrah.
6. Arif Rachman
Arifin Arif Rachman Arifin divonis pidana penjara 10 bulan dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan karena terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana merusak sistem elektronik yang dilakukan bersama-sama.
Dalam perkara ini, Arif berperan mematahkan laptop yang sempat digunakan untuk menyimpan salinan rekaman CCTV di sekitar TKP penembakan Yosua di lingkungan rumah dinas Ferdy Sambo di Kompleks Polri Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Namun demikian, Arif melakukan tindakan tersebut atas perintah Ferdy Sambo yang saat itu menjadi atasannya.
"Perbuatan terdakwa bertentangan dengan asas profesionalisme yang berlaku sebagai anggota Kepolisian Republik Indonesia," ujar hakim dalam sidang, Kamis (24/2/2023).
Vonis terhadap eks Wakaden B Biro Pengamanan Internal (Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri itu lebih ringan dari tuntutan jaksa mulanya meminta hakim menghukum Arif pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 10 juta.
7. Irfan Widyanto
Sama dengan Arif, Irfan Widyanto juga dijatuhi hukuman pidana penjara 10 bulan dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan dalam perkara obstruction of justice.
Mantan Kepala Sub Unit (Kasubnit) I Sub Direktorat (Subdit) III Direktorat Tindak Pidana Umum (Dittipidum) Badan Reserse Krimnal (Bareskrim) Polri itu dinilai menjadi kepanjangan tangan Sambo untuk mengambil digital video recorder (DVR) CCTV di sekitar TKP penembakan Brigadir J.
Menurut hakim, sebagai salah satu penyidik aktif di Bareskrim Polri, Irfan seharusnya punya pengetahuan yang lebih, terutama terkait tugas dan kewenangan dalam kegiatan penyidikan dan tindakan terhadap barang-barang yang berhubungan dengan tindak pidana.
"Namun malah terdakwa turut dalam perbuatan yang menyalahi ketentuan perundang dan mengakibatkan terganggungnya sistem informasi tidak bekerja sebagaimana mestinya atau bertindak tidak sesuai dengan ketentuan," ujar hakim dalam persidangan, Jumat (24/2/2023).
Namun demikian, peraih Adhi Makayasa Akademi Kepolisian (Akpol) tahun 2010 ini divonis lebih ringan dari tuntutan jaksa yang memintanya dihukum pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 10 juta.
8. Baiquni Wibowo
Terdakwa lain, Baiquni Wibowo, divonis pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan karena turut serta merintangi penyidikan kasus kematian Brigadir J.
Baiquni dinilai telah melakukan tindakan ilegal karena menyalin dan menghapus informasi dokumen elektronik DVR CCTV terkait kasus kematian Yosua Tindakan mantan Kepala Sub Bagian Pemeriksaan (Kasubbagriksa) Bagian Penegakan Etika (Baggaketika) pada Biro Pertanggungjawaban Profesi (Wabprof) Divisi Propam Polri itu telah mengakibatkan rusaknya sistem elektronik DVR CCTV.
"Terdakwa Baiquni telah melakukan perbuatan berdasarkan atas perintah yang tidak sah menurut peraturan perundang-undangan, padahal sudah perwira menengah polisi sudah mengetahui pengetahuan tersebut," ujar hakim, Jumat (24/2/2023).
Vonis terhadap Baiquni ini lebih rendah dari tuntutan jaksa yang sebelumnya meminta majelis hakim menghukum terdakwa dengan pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 10 juta.
9. Chuck Putranto
Sama dengan Baiquni, Chuck Putranto juga divonis pidana penjara 1 tahun dan denda Rp 10 juta subsider 3 bulan kurungan karena menghalangi penyidikan kasus kematian Brigadir J.
Dalam perkara ini, mantan sekretaris pribadi Ferdy Sambo itu berperan menyimpan dua DVR CCTV yang berasal dari lingkungan sekitar TKP penembakan, yakni pos satpam Duren Tiga dan rumah Kanitreskrim Polres Jakarta Selatan, AKBP Ridwan Rhekynellson Soplanit.
"Perbuatan terdakwa mencoreng nama baik Polri," kata hakim, Jumat (24/2/2023).
Namun demikian, hukuman yang dijatuhkan hakim terhadap Chuck tersebut lebih ringan dari tuntutan jaksa yang meminta dia divonis pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 10 juta.
10. Agus Nurpatria
Dalam perkara yang sama, Agus Nurpatia divonis pidana penjara 2 tahun dan denda Rp 20 juta subsider 3 bulan kurangan.
Hakim menilai, tindakan Agus yang memerintahkan juniornya di kepolisian, Irfan Widyanto, untuk mengamankan rekaman CCTV di sekitar TKP penembakan Yosua di tidak profesional.
"Terdakwa tidak profesional dalam melaksanakan tugas sebagai anggota Polri," ujar hakim dalam sidang, Senin (27/2/2023).
Kendati begitu, vonis hakim ini lebih ringan dari tuntutan jaksa yang sedianya meminta mantan Kepala Detasemen (Kaden) A Biro Paminal Polri tersebut dijatuhi hukuman pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 20 juta.
11. Hendra Kurniawan
Hendra Kurniawan menjadi terdakwa obstruction of justice yang dijatuhi hukuman tertinggi setelah Ferdy Sambo.
Hendra divonis pidana penjara 3 tahun dan denda Rp 20 juta subsider 3 bulan kurungan.
Majelis Hakim menilai, perbuatan Hendra memerintahkan bawahannya di kepolisian untuk mengamankan lantas menghapus rekaman CCTV di sekitar TKP penembakan Yosua merupakan tindak pidana.
Padahal, saat itu Hendra menjabat sebagai Kepala Biro Pengamanan Internal (Karo Paminal) Divisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Polri dengan pangkat jenderal bintang satu.
"Terdakwa selaku anggota Polri perwira tinggi tidak melakukan tugasnya secara profesional," ujar hakim. Tak seperti lima terdakwa lainnya, vonis yang dijatuhkan hakim terhadap Hendra sesuai dengan tuntutan jaksa sebelumnya.
Baca berita lainnya di google news
Sebagian artikel telah tayang di Warktakota.com