TRIBUNSUMSEL.COM -- Akademisi Universitas Bhayangkara (Unbhara) Jaya Ali Asgar sebut kekuasaan Ferdy Sambo eks kadiv propam polri sudah berakhir.
Pasca Ferdy Sambo dijatuhi dengan vonis hukumam pidana mati oleh pengadilan negeri (PN) Jakarta Selatan.
"Polisi itu ketika tidak ada jabatan dan kekuasaan, maka dia tidak lagi punya pengaruh kuat di internal Polri," kata Ali Asgar, Rabu (15/2/2023) melansir Tribunnews.com.
Ali Asghar pun menolak soal adanya istilah geng di institusi kepolisian, termasuk isu kekuasaan Sambo cs.
Menurutnya, terbangunnya suatu kelompok dalam sebuah lembaga karena struktur jabatan.
"Jadi, sebenarnya bukan geng, ya, tapi kultur perintah yang berdasarkan hierarki jabatan itulah yang membuat polisi di bawah Sambo takut atau 'siap perintah' begitu saja," jelasnya.
"Siapa yang nggak takut dibentak Kadiv Propam, polisinya polisi? Ya, pasti mau lah. 'Siap-siap' terus itu. Nah, ini yang kemudian yang membentuk geng-geng," sambungnya.
Diketahui, majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) menjatuhkan vonis mati kepada Sambo karena dinilai terbukti melakukan pembunuhan berencana Brigadir J.
Putusan ini lebih tinggi dibanding tuntutan jaksa yang hanya menuntut Sambo penjara seumur hidup.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo sebelumnya juga telah memecat Sambo buntut tindakannya merancang skenario pembunuhan berencana eks ajudannya.
Pemecatan berdasarkan hasil sidang Komisi Kode Etik Polri (KKEP), 26 Agustus 2022.
Komentar IPW Soal Vonis Ferdy Sambo
Ketua IPW, Sugeng Teguh Santoso mengatakan jika Ferdy Sambo semestinya tak layak untuk dihukum mati.
Bukan tanpa sebeb, hal itu dikatakan oleh Sugeng.
Menurut Sugeng, pembunuhan berencana terhadap Brigadir J yang dilakukan Ferdy Sambo tidaklah kejam.
Bahkan, Sugeng juga menyebutkan jika Sugeng berpotensi mendapatkan hukuman lebih ringan ditahap selanjutnya.
"Kejahatan Ferdy Sambo tidak layak untuk hukuman mati karena kejahatan tersebut memang kejam akan tetapi tidak sadis bahkan muncul karena lepas kontrol," kata Sugeng dalam keterangan tertulis, Senin (13/2/2023).
Sugeng mengatakan motif dendam atau marah karena alasan apapun yang diwujudkan dengan tindakan jahat yang tidak menimbulkan siksaan lama sebelum kematian bukan kejahatan sadisme.
Ia juga menilai Ferdy Sambo berpotensi mendapatkan putusan lebih rendah pada tahap selanjutnya karena hal yang meringankan tidak dipertimbangkan sama sekali.
Menurut Sugeng, vonis hakim didasari tekanan publik yang besar, termasuk dari pemberitaan yang sangat masif.
Hakim pun, menurutnya, ingin keluar dari tekanan tersebut dengan memenuhi harapannya, hukuman maksimal, hukuman mati.
"Putusan mati ini adalah putusan karena tekanan publik akibat pemberitaan yang masif dan hakim tidak dapat melepaskan diri dari tekanan tersebut," ujarnya.
Namun, Sugeng mengatakan putusan pidana mati atas Ferdy Sambo harus dihormati.
"Sambo tentu kecewa dengan putusan ini dan akan banding dan akan berjuan sampai kasasi atau PK," katanya.
Sugeng menuturkan putusan majelis hakim tidak memasukkan hal-hal yang meringankan yakni sopan, belum pernah dihukum, memiliki pengabdian dan prestasi selama menjabat.
"Sambo masih akan berpotensi mendapat putusan lebih rendah pada tahap selanjutmya karena hal yang meringankan tidak dipertimbangkan sama sekali," kata dia.
Namun hal berbeda diungkapkan oleh Menko Polhukam Mahfud MD.
Mahfud MD merespons vonis mati terhadap Ferdy Sambo melalui akun Twitternya @mohmahfudmd, pada hari yang sama putusan vonis dibacakan.
Ketua Mahkamah Konstitusi (2008-2013) itu beranggapan, hakim telah memenuhi keadilan publik.
Setidaknya ada empat faktor yang membuat lahirnya vonis mati alias sanksi tertinggi dari pasal 340 KUHP tentang pembunuhan berencana.
Menurut Mahfud MD, kasus tersebut jelas pembunuhan berencana.
Jaksa pun berhasil membuktikan tuduhan pembunuhan berencana yang didalangi Ferdy Sambo dengan nyaris sempurna.
Sementara, pembela Ferdy Sambo dengan menghadirkan sejumlah saksi hanya mendramatisasi fakta.
Di sisi lain, sosok Hakim Ketua, Wahyu Iman Santoso, dinilai Mahfud MD bekerja baik dan independen.
Hal itu yang membuat vonisnya sesuai keadilan publik yakni hukuman maksimal.
Memang, publik kerap menunjukkan aspirasi agar Ferdy Sambo dihukum maksimal, terutama dari sisi korban, yakni keluarga Brigadir J.
“Peristiwanya memang pembunuhan berencana yang kejam. Pembuktian oleh jaksa penuntut umum memang nyaris sempurna. Para pembelanya lebih banyak mendramatisasi fakta.”
“Hakimnya bagus, independen, dan tanpa beban. Makannya vonisnya sesuai dgn rasa keadilan publik. Sambo dijatuhi hukuman mati,” tulis Mahfud MD.
Sebelumnya, vonis mati Ferdy Sambo menimbulkan pro dan kontra. Publik dinilai mempengaruhi putusan yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa penuntut umum (JPU) itu.
Namun, pengaruh publik pun diperesepsikan berbeda.
Apakah publik menuntun hakim ke jalan keadilan, atau justru aspirasi publik menjadi tekanan bagi hakim.
Dua pendapat itu diutarakan Menko Polhukam, Mahfud MD dan Ketua Indonesia Police Watch (IPW), Sugeng Teguh Santoso.
Terdakwa Ferdy Sambo divonis hukuman mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Senin (13/2/2023).
Hakim Wahyu Iman Santoso yang membacakan vonis tersebut.
Selama kurang lebih lima jam, Wahyu membacakan kesimpulan-kesimpulan hasil penilaiannya sampai mantap memvonis Ferdy Sambo hukuman mati.
"Menyatakan terdakwa Ferdy Sambo telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah menurut hukum melakukan tindak pidana, turut serta melakukan pembunuhan berencana dan tanpa hak melakukan tindakan yang menyebabkan sistem elektronik tidak berfungsi sebagaimana mestinya yang dilakukan secara bersama-sama,” ujar Hakim Wahyu Iman Santoso saat membacakan vonis.
"Menjatuhkan terdakwa tersebut dengan pidana mati," sambungnya.
(*)
Baca berita lainnya di Google News.