TRIBUNSUMSEL.COM - Berikut 2 text bacaan Khutbah Jumat menyambut Tahun Baru 2023, dibaca dengan penuh khidmat jadi bahan renungan evaluasi rasa syukur sepanjang tahun 2022.
- Khutbah Pertama ;
"Mengevaluasi Rasa Syukur Sepanjang Tahun"
الحَمْدُ لِلّٰهِ الْمَلِكِ الدَّيَّانِ، وَالصَّلَاةُ وَالسَّلَامُ عَلَى مُحَمَّدٍ سَيِّدِ وَلَدِ عَدْنَانَ، وَعَلَى اٰلِهِ وَصَحْبِهِ وَتَابِعِيْهِ عَلَى مَرِّ الزَّمَانِ، وَأَشْهَدُ أَنْ لَّا إِلٰهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ الْمُنَـزَّهُ عَنِ الْجِسْمِيَّةِ وَالْجِهَةِ وَالزَّمَانِ وَالْمَكَانِ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الَّذِيْ كَانَ خُلُقُهُ الْقُرْآنَ أَمَّا بَعْدُ، عِبَادَ الرَّحْمٰنِ، فَإنِّي أُوْصِيْكُمْ وَنَفْسِي بِتَقْوَى اللهِ المَنَّانِ، الْقَائِلِ فِي كِتَابِهِ الْقُرْآنِ: اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ (غافر: ٦١)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Mengawali khutbah pada siang hari yang penuh keberkahan ini, khatib berwasiat kepada kita semua terutama kepada diri khatib pribadi untuk senantiasa berusaha meningkatkan kualitas keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan melakukan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh yang diharamkan.
Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah, Sungguh, nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada umat manusia sangatlah melimpah dan tidak dapat dihitung.
Kesehatan, harta, mata, telinga, lisan, anak yang berbakti, istri yang shalihah, teman yang setia, tetangga yang baik dan masih banyak lagi yang lain adalah nikmat-nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita.
Meskipun demikian, kebanyakan manusia tidak bersyukur. Bahkan banyak di antara kita yang tidak menyadari bahwa hal-hal tersebut adalah nikmat dan anugerah dari Allah ta’ala.
Banyak pula di antara kita yang tidak mengetahui hakikat syukur dan bagaimana cara bersyukur. Allah subhanahu wata’ala berfirman:
اِنَّ اللّٰهَ لَذُوْ فَضْلٍ عَلَى النَّاسِ وَلٰكِنَّ اَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَشْكُرُوْنَ (غافر: ٦١)
Maknanya: “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang memberikan anugerah pada umat manusia. Hanya saja kebanyakan umat manusia tidak bersyukur (kepada-Nya)” (QS Ghafir: 61)
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Syukur ada dua macam. Ada syukur yang wajib dan ada syukur yang sunnah. Syukur yang wajib adalah tidak menggunakan nikmat yang Allah anugerahkan kepada kita untuk berbuat maksiat kepada-Nya.
Jadi bersyukur kepada Allah atas nikmat lisan adalah tidak mengatakan perkataan yang diharamkan oleh Allah. Bersyukur kepada Allah atas nikmat telinga adalah dengan tidak mendengarkan sesuatu yang diharamkan oleh Allah.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat mata adalah dengan tidak melihat sesuatu yang diharamkan oleh Allah.
Bersyukur kepada Allah atas nikmat harta adalah dengan tidak membelanjakannya untuk perkara yang haram.
Adapun syukur yang sunnah adalah mengucapkan dengan lisan pujian yang menunjukkan bahwa Allah-lah Sang Pemberi nikmat dan yang menganugerahkannya kepada para hamba-Nya, semisal dengan ucapan alhamdulillah.
Pemberian nikmat kepada hamba adalah murni anugerah dan karunia dari Allah, bukan kewajiban bagi-Nya. Karena memang tidak ada sesuatu pun yang wajib bagi-Nya.
Allah ta’ala berfirman:
وَمَا بِكُمْ مِّنْ نِّعْمَةٍ فَمِنَ اللّٰهِ ثُمَّ اِذَا مَسَّكُمُ الضُّرُّ فَاِلَيْهِ تَجْـَٔرُوْنَۚ (النحل: ٥٣)
Maknanya: “Dan nikmat apa pun yang ada pada kalian adalah dari Allah. Kemudian jika kalian terkena mara bahaya, maka hanya kepada-Nya-lah hendaknya kalian memohon” (QS an-Nahl: 53).
Hadirin jamaah shalat Jumat rahimakumullah,
Sebagian orang sama sekali tidak bersyukur. Dan sebagian yang lain bersyukur tetapi tidak secara sempurna.
Orang-orang yang sama sekali tidak bersyukur kepada Allah adalah mereka yang takabur sehingga tidak mau menerima kebenaran yang dibawa oleh para Nabi.
Mereka tidak mau beriman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab suci-Nya, para utusan-Nya dan juga hari akhir. Mereka meyakini kekufuran dan menolak tauhid.
Mereka ini tidak bersyukur kepada Allah ta’ala sama sekali. Karena mereka telah meninggalkan kewajiban yang paling dasar dan paling utama, yaitu iman yang Allah jadikan sebagai syarat diterimanya amal kebaikan.
Mereka ini termasuk yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala:
وَقَدِمْنَآ اِلٰى مَا عَمِلُوْا مِنْ عَمَلٍ فَجَعَلْنٰهُ هَبَاۤءً مَّنْثُوْرًا (الفرقان: ٢٣)
Maknanya: “Dan Kami (Allah) menghukumi amal (yang mereka anggap baik) yang mereka lakukan (dalam keadaan tidak beriman), maka Kami jadikan amal mereka seperti debu yang bertebaran (tidak berguna dan tidak diterima)” (QS al Furqan: 23).
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Allah telah memuji Nabi Ibrahim dalam firman-Nya:
اِنَّ اِبْرٰهِيْمَ كَانَ اُمَّةً قَانِتًا لِّلّٰهِ حَنِيْفًاۗ وَلَمْ يَكُ مِنَ الْمُشْرِكِيْنَۙ شَاكِرًا لِّاَنْعُمِهِ ۖ (النحل: ١٢٠-١٢١)
Maknanya: “Sesungguhnya Ibrahim adalah seorang imam panutan nan taat kepada Allah serta berpaling pada agama yang lurus. Dan ia tidak pernah termasuk orang-orang musyrik. Dia adalah orang yang bersyukur atas nikmat-nikmat-Nya” (QS an-Nahl: 120-121).
Dalam kitab tafsirnya, ath-Thabari mengatakan: “Maknanya Ibrahim tulus bersyukur kepada Allah atas nikmat yang diberikan Allah kepadanya. Dan dalam bersyukur kepada Allah atas nikmat-Nya tersebut, Ibrahim tidak menjadikan sekutu bagi-Nya.”
Artinya, syukur Nabi Ibrahim kepada Allah diwujudkan dengan beriman kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah,
Sedangkan orang-orang yang syukur mereka tidak sempurna adalah mereka yang beriman kepada Allah dan Rasul-Nya tapi masih meninggalkan kewajiban dan melakukan perkara yang diharamkan.
Keadaan mereka di akhirat tergantung kehendak Allah. Jika Ia berkehendak, mereka diampuni oleh-Nya dan langsung dimasukkan surga.
Dan jika Ia berkehendak, mereka tidak diampuni oleh-Nya lalu dimasukkan ke dalam neraka beberapa lama.
Akan tetapi walau bagaimanapun, seseorang yang mati dalam keadaan beriman, pada akhirnya semuanya akan dimasukkan ke dalam surga.
Hadirin rahimakumullah, Jika keluhuran budi dan akhlak yang terpuji menuntut kita untuk membalas sesama hamba yang berbuat baik kepada kita dengan berterima kasih dan berbuat baik kepadanya, maka lebih utama bagi kita untuk bersyukur kepada Allah atas nikmat-nikmat yang dikaruniakan-Nya kepada kita.
Imam al Junaid pernah ditanya tentang apa itu syukur. Beliau menjawab:
أَنْ لَا يُعْصَى اللهُ بِنِعَمِهِ
“(Syukur yang wajib adalah) tidak bermaksiat kepada Allah dengan nikmat-nikmat-Nya.”
Seseorang yang menunaikan semua kewajiban dan meninggalkan seluruh perkara yang diharamkan, maka ia adalah hamba yang syaakir.
Kemudian, jika ia tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Sang Pemberi nikmat, dan ia menyadari betapa agungnya nikmat Allah yang selalu melingkupinya dan perasaan itu semakin kokoh dalam dirinya serta ia memperbanyak amal-amal kebaikan lebih dari kewajibannya, maka ia disebut hamba yang syakuur (pandai bersyukur).
Hamba yang syakuur lebih sedikit jumlahnya daripada hamba yang syaakir. Allah ta’ala berfirman:
وَقَلِيْلٌ مِّنْ عِبَادِيَ الشَّكُوْرُ (سبأ: ١٣)
Maknanya: “Dan sedikit sekali dari hamba-hamba-Ku yang mencapai derajat syakuur” (QS Saba’: 13)
Jadi, orang-orang bertakwa yang bersih dari dosa dan tidak disibukkan dengan nikmat sehingga melalaikan syukur kepada Dzat Pemberi nikmat, adalah orang-orang yang sangat jarang dan sedikit di antara kaum Muslimin.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
النَّاسُ كَإِبِلٍ مِائَةٍ لَا تَكَادُ تَجِدُ فِيْهَا رَاحِلَةً (رواه مسلم)
Maknanya: “Umat manusia itu ibarat seratus ekor unta. Hampir tidak kamu dapati di antara mereka yang layak untuk ditunggangi dalam perjalanan jauh” (HR Muslim).
Dalam hadits ini terdapat sebuah isyarat bahwa kebanyakan orang memiliki kekurangan. Sedangkan orang-orang mulia yang zuhud terhadap dunia, mengejar kebahagiaan akhirat dan memenuhi syukur dengan sempurna, jumlah mereka sangat sedikit.
Orang-orang pilihan tersebut ibarat satu unta yang layak dijadikan sebagai hewan tunggangan, di antara sekelompok unta yang ada.
Satu unta ini yang bagus dan layak dikendarai untuk perjalanan jauh di antara sekelompok unta tersebut.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah, Demikian khutbah singkat pada siang hari yang penuh keberkahan ini.
Semoga bermanfaat dan membawa barakah bagi kita semua. Aamiin.
أَقُوْلُ قَوْلِيْ هٰذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِيْ وَلَكُمْ، فَاسْتَغْفِرُوْهُ، إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ
Baca juga: Sholat Taubat Malam Tahun Baru Jam Berapa? Ini Waktu Pelaksanaan Beserta Tata Caranya
- Khutbah Kedua ;
"Merenungi Hakikat Umur"
الحَمْدُ للهِ الّذِي لَهُ مَا فِي السمَاوَاتِ وَمَا فِي اْلأَرْضِ وَلَهُ الحَمْدُ فِي الآخرَة الْحَكِيمُ الْخَبِيرُ يَعْلَمُ مَا يَلِجُ فِي الْأَرْضِ وَمَا يَخْرُجُ مِنْهَا وَمَا يَنزِلُ مِنَ السَّمَاءِ وَمَا يَعْرُجُ فِيهَا وهو الرّحِيم الغَفُوْر. . أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ ، وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدنا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى بِقَوْلِهِ وَفِعْلِهِ إِلَى الرَّشَادِ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَاِبهِ الهَادِيْنَ لِلصَّوَابِ وَعَلَى التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ اْلمَآبِ اَمَّا بَعْدُ، فَيَااَيُّهَا الْمُسْلِمُوْنَ، اِتَّقُوْااللهَ حَقَّ تُقَاتِه وَلاَتَمُوْتُنَّ اِلاَّوَأَنـْتُمْ مُسْلِمُوْنَ فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالىَ فِي كِتَابِهِ الْكَرِيْمِ: الْيَوْمَ نَخْتِمُ عَلَى أَفْوَاهِهِمْ وَتُكَلِّمُنَا أَيْدِيهِمْ وَتَشْهَدُ أَرْجُلُهُمْ بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ
Ada pemandangan yang hampir selalu kita temui tiap momen pergantian tahun, yakni banyak orang-orang larut dalam suka cita hingga kadang merasa perlu untuk merayakannya dengan kegiatan-kegiatan khusus.
Tahun baru seolah menjadi saat-saat yang paling dinanti.
Di detik-detik pergantiannya pun nyaris tiap orang rela berjaga, lalu meluapkan rasa bahagia dengan aneka petasan, kembang api, atau sejenisnya, ketika saat-saat yang ditunggu itu tiba.
Bahagia terhadap momen-momen tertentu merupakan sesuatu yang sangat manusiawi. Begitu pula dalam momen pergantian tahun ini.
Yang menjadi pertanyaan, sudah pada tempatnyakah kebahagiaan itu diekspresikan? Jamaah shalat jum’at rahimakumullah, Waktu adalah sebuah anugerah.
Manusia menerima kesempatan di dunia untuk mencapai tujuan-tujuan akhirat. Sebagaimana Islam ajarkan bahwa kehidupan dunia adalah ladang yang mesti digarap serius untuk masa panen di akhirat kelak.
Karena itu sifat waktu dunia adalah sementara, sedangkan sifat waktu di akhirat adalah kekal abadi. Islam mengutamakan kehidupan akhirat di atas kehidupan dunia.
Dua kehidupan tersebut dikontraskan sebagai dua jenis waktu yang sejati dan tidak sejati. Al-Qur’an melukiskan kehidupan dunia dengan istilah “tempat permainan” belaka.
وَمَا هَٰذِهِ الْحَيَاةُ الدُّنْيَا إِلَّا لَهْوٌ وَلَعِبٌ وَإِنَّ الدَّارَ الْآخِرَةَ لَهِيَ الْحَيَوَانُ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ
Artinya: “Dan tiadalah kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” (QS al-Ankabut: 64)
Kalimat kehidupan dunia ini merupakan senda gurau dan main-main” bukan berarti kita dianjurkan untuk berbuat seenaknya di dunia ini layaknya sebuah permainan.
Redaksi tersebut dimaksudkan untuk menggambarkan bahwa kehidupan dunia ini tidak sejati, tidak kekal, dan penuh dengan tipuan.
Karena itu, maknanya justru seseorang harus lebih banyak mencurahkan perhatian kepada kehidupan akhirat.
Lantas apa yang harus dilakukan agar kesempatan hidup di dunia berkualitas? Al-Qur’an telah memberikan garis bahwa tujuan diciptakannya manusia adalah untuk mengabdi secara total kepada Allah.
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنْسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ
Artinya: “Dan aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka mengabdi kepada-Ku.” (QS Adz-Dzariyat: 56)
Allah tidak menciptakan jin dan manusia untuk suatu manfaat yang kembali kepada Allah. Mereka diciptakan untuk beribadah kepada-Nya.
Dan ibadah itu sangat bermanfaat untuk diri mereka sendiri. Pengertian ibadah itu pun sangat luas, tak sekadar ritual kepada Allah (seperti shalat, puasa, haji, atau sejenisnya) melainkan meliputi pula kebaikan-kebaikan yang membawa kemaslahatan bagi orang lain.
Memanfaatkan umur di dunia ini menjadi sangat penting karena waktu terus berjalan, dan tak akan bisa terulang kembali.
Manusia dituntut untuk memaksimalkan waktu atau kesempatan yang diberikan untuk perbuatan-perbuatan bermutu, sehingga tak menyesal di kehidupan kelak.
Orang-orang yang menyesal di akhirat digambarkan oleh Al-Qur’an merengek-rengek minta kembali agar bisa memperbaiki perilakunya.
حَتَّىٰ إِذَا جَاءَ أَحَدَهُمُ الْمَوْتُ قَالَ رَبِّ ارْجِعُونِ ، لَعَلِّي أَعْمَلُ صَالِحًا فِيمَا تَرَكْتُ ۚ كَلَّا ۚ إِنَّهَا كَلِمَةٌ هُوَ قَائِلُهَا ۖ وَمِنْ وَرَائِهِمْ بَرْزَخٌ إِلَىٰ يَوْمِ يُبْعَثُونَ
Artinya: “(Demikianlah keadaan orang-orang yang durhaka itu) hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, dia berkata: "Ya Tuhanku kembalikanlah aku (ke dunia), agar aku berbuat amal yang saleh terhadap yang telah aku tinggalkan. Sekali-kali tidak. Sesungguhnya itu adalah perkataan yang diucapkannya saja. Dan di hadapan mereka ada dinding sampal hari mereka dibangkitkan.” (QS Al-Mu’minun: 99-100)
Jamaah shalat jum’at rahimakumullah, Imam Al-Ghazali mengatakan, ketika seseorang disibukkan dengan hal-hal yang tidak bermanfaat dalam kehidupannya di dunia, maka sesungguhnya ia sedang menghampiri suatu kerugian yang besar.
Sebagaimana yang ia nyatakan—dengan mengutip hadits—dalam kitab Ayyuhal Walad:
عَلاَمَةُ اِعْرَاضِ اللهِ تَعَالَى عَنِ الْعَبْدِ، اشْتِغَالُهُ بِمَا لاَ يَعْنِيهِ، وَ اَنﱠ امْرَأً ذَهَبَتْ سَاعَةٌ مَنْ عُمُرِهِ، في غَيرِ مَا خُلِقَ لَهُ مِنَ الْعِبَادَةِ، لَجَدِيرٌ اَنْ تَطُولَ عَلَيْهِ حَسْرَتُهُ
Artinya: "Pertanda bahwa Allah ta'ala sedang berpaling dari hamba adalah disibukkannya hamba tersebut dengan hal-hal yang tak berfaedah. Dan satu saat saja yang seseorang menghabiskannya tanpa ibadah, maka sudah pantas ia menerima kerugian berkepanjangan.”
Dari penjelasan ini, kita patut memikirkan ulang tentang hakikat perayaan tahun baru. Momen tahunan ini seyogianya disikapi secara wajar dan tepat.
Kebahagiaan terhadap tahun baru semestinya diarahkan kepada rasa syukur terhadap masih tersisanya usia, bukan uforia kebanggaan atas tahun baru itu sendiri.
Sisa usia itu merupakan kesempatan untuk menambal kekurangan, memperbaiki yang belum sempurna, dari perilaku hidup kita di dunia.
Tahun baru lebih tepat menjadi momen muhasabah (introspeksi) dan ishlah (perbaikan). Sebuah kata-kata Syekh Ahmad ibn Atha'illah as-Sakandari dalam al-Hikam ini patut menjadi renungan:
رُبَّ عُمُرٍ اتَّسَعَتْ آمادُهُ وَقَلَّتْ أمْدادُهُ، وَرُبَّ عُمُرٍ قَليلَةٌ آمادُهُ كَثيرَةٌ أمْدادُهُ.
"Kadang umur berlangsung panjang namun manfaat kurang. Kadang pula umur berlangsung pendek namun manfaat melimpah."
Semoga kita menjadi pribadi yang mampu menunaikan sisa usia kita dengan sebijak-bijaknya, dan terhindar dari perbuatan dan perkataan yang sia-sia. Amiin. Wallahu a’lam bisshawâb.
باَرَكَ اللهُ لِيْ وَلكمْ فِي القُرْآنِ العَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيّاكُمْ بِالآياتِ والذِّكِ الحَكِيْمِ. إنّهُ تَعاَلَى جَوّادٌ كَرِيْمٌ مَلِكٌ بَرٌّ رَؤُوْفٌ رَحِيْمٌ