TRIBUNSUMSEL.COM - Mantan Direktur Reserse Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Metro Jaya yaitu Irjen Rudy Heriyanto dituduh menghilangkan barang bukti dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel
Pernyataan dari tim advokasi Novel Baswedan tersebut mendapat perhatian dari Indriyanto Seno Adji, mantan anggota Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF)
Indriyanto mengingatkan semua pihak bersikap bijak dan menunggu proses persidangan kasus penyiraman air keras selesai.
“Penyebutan dan tuduhan secara tegas jelas terhadap nama dan perbuatan dari Irjen Pol Rudy Heriyanto, bahkan terviral melalui sarana online secara luas, justru bersifat actual malice."
"Dan menimbulkan dugaan pencemaran nama baik yang dapat dituntut pidana berdasarkan UU ITE,” kata Indriyanto lewat keterangan tertulis, Rabu (8/7/2020).
Pernyataan Indriyanto tersebut terkait laporan tim advokasi Novel Baswedan terhadap Irjen Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri.
Rudy, menurut tim advokasi, dinilai melanggar etik profesi karena diduga menghilangkan barang bukti di kasus penyiraman air keras.
Anggota tim advokasi Novel, Kurnia Ramadhana, dalam keterangan persnya menyebut botol dan gelas yang digunakan pelaku tidak dijadikan barang bukti dalam proses penanganan perkara.
Kurnia menduga dalam perkembangan penanganan perkara tersebut, ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian.
“Saya meragukan obyektifitas laporan tim advokasi ke Propam tersebut yang bahkan terkesan subyektif,” kata Indriyanto.
Sebab, menurut Indriyanto, karena proses perkara masih berlangsung di pengadilan, justru laporan tim advokasi menjadi tidak wajar.
“Ini yang di sisi lain mengenai obyek yang sama masih dalam proses pemeriksaan di otoritas judisial,” tuturnya.
Indriyanto juga berpendapat laporan tim advokasi secara substansiel tidaklah benar.
Dia mencontohkan tudingan tim advokasi tentang botol kosong.
TGPF, kata Indriyanto, menemukan botol itu bukan barang bukti, tapi digunakan untuk menampung air yang ditemukan di lantai.
“Ada BAP tentang penjelasan pengambilan barang bukti oleh anggota Polres Jakut."
"Bahwa botol itu dipakai untuk menampung sisa cairan air yang ditemukan di lokasi TKP, yang diduga berkaitan dengan peristiwa penyiraman,” jelasnya.
Selain itu, tentang sidik jari. Menurut Indriyanto, TGPF melakukan penelitian secara detail dan memang tidak ada sidik jari di mug.
“Karena dipastikan pelaku menggunakan sarung tangan, dan lagi pula adalah sangat ceroboh sekali apabila pelaku bawa air asam sulfat namun tidak menggunakan sarung tangan,” papar Indriyanto.
Indriyanto menyarankan agar semua pihak bersikap bijak sambil menunggu proses judisial yang masih berlangsung di pengadilan.
“Hindari laporan yang bersifat tuduhan actual malice."
"Antara lain termasuk dalam hal ini adalah tuduhan kepada Irjen Pol Rudy Heriyanto atas penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya,” paparnya.
Sebelumnya, Tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Rudy Heriyanto ke Divisi Propam Polri, atas dugaan pelanggaran kode etik profesi.
Ketua tim pengacara dua terdakwa penyiraman air keras terhadap penyidik senior KPK itu diduga menghilangkan barang bukti dalam perkara tersebut.
"Proses penuntasan teror yang menimpa penyidik KPK Novel Baswedan, semakin suram."
"Sehingga, dapat dipastikan Novel selaku korban tidak akan memperoleh rasa keadilan dalam penanganan perkara ini," kata Kurnia Ramadhana, anggota tim advokasi, lewat keterangan tertulis, Selasa (7/7/2020).
Kurnia menerangkan, Irjen Rudy sebelum menjabat Kepala Divisi Hukum Polri, merupakan bagian dari tim penyidik yang menangani perkara penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan.
Saat itu Irjen Rudy menduduki posisi Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya.
"Sehingga, segala persoalan dalam proses penyidikan menjadi tanggung jawab dari yang bersangkutan."
"Termasuk dalam hal ini adalah dugaan penghilangan barang bukti yang terkesan sengaja dilakukan untuk menutupi fakta sebenarnya," terangnya.
Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) itu kemudian membeberkan empat landasan yang membuat tim advokasi Novel Baswedan melaporkan Irjen Rudy ke Divisi Propam Polri.
Pertama, sidik jari pelaku di botol dan gelas yang digunakan sebagai alat penyerangan, hilang.
Kata Kurnia, pada 17 April 2019, Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan tim penyidik tidak menemukan sidik jari dari gelas yang digunakan oleh pelaku untuk menyiram wajah Novel Baswedan.
Padahal dalam banyak pengakuan, baik dari korban ataupun para saksi, gelas tersebut ditemukan oleh kepolisian pada hari yang sama, 11 April 2017, sekira pukul 10.00 WIB, dalam kondisi berdiri.
"Sehingga sudah barang tentu, sidik jari tersebut masih menempel dalam gelas dan botol."
"Terlebih lagi pada saat ditemukan, gagang gelas tidak bercampur cairan air keras itu," papar Kurnia.
Selain itu, lanjut Kurnia, botol dan gelas yang digunakan oleh pelaku pun tidak dijadikan barang bukti dalam proses penanganan perkara ini.
Bahkan, dalam perkembangan penanganan perkara diketahui ada fakta yang disembunyikan oleh kepolisian.
Hal ini terkait pengakuan terdakwa yang menyebutkan persiapan penyiraman telah dilakukan sejak kedua orang itu masih berada di markas Brimob.
"Padahal, persiapan penyiraman dilakukan di dekat kediaman korban."
"Ini dapat dibuktikan dari aspal yang terkena siraman air keras saat pelaku menuangkan dari botol ke gelas," tuturnya.
Kedua, CCTV di sekitar kediaman Novel Baswedan tidak dijadikan barang bukti.
Kurnia berujar, pada 10 Oktober 2017 Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Argo Yuwono menyampaikan, kepolisian mengumpulkan 400 CCTV dari lokasi penyerangan dalam radius 500 meter.
Namun, berdasarkan pengakuan Novel Baswedan dan saksi, terdapat beberapa CCTV yang sebenarnya dapat menggambarkan rute pelarian pelaku, akan tetapi tidak diambil oleh kepolisian.
Bahkan, beberapa CCTV di sekitar rumah Novel Baswedan diketahui juga memiliki resolusi yang baik untuk dapat memperjelas wajah pelaku dan rute pelarian.
"Definisi dari barang bukti sebenarnya mencakup benda-benda yang dapat memberikan keterangan bagi penyelidikan tindak pidana, baik berupa gambar ataupun rekaman suara," ujarnya.
Selain itu, imbuh Kurnia, fungsi dari barang bukti juga sebagai media untuk mencari dan menemukan kebenaran materiel atas perkara yang ditangani.
"Dapat disimpulkan bahwa kumpulan CCTV yang diperoleh kepolisian hanya sekadar untuk menyamakan dengan pengakuan para pelaku," jelasnya.
Ketiga, Cell Tower Dumps (CTD) tidak pernah dimunculkan dalam setiap tahapan penanganan perkara.
Kurnia menjelaskan, CTD adalah sebuah teknik investigasi dari penegak hukum untuk dapat melihat jalur perlintasan komunikasi di sekitar rumah korban.
Namun dalam proses penanganan perkara, katanya, mulai dari penyidikan sampai persidangan, rekaman CTD itu tidak pernah ditampilkan oleh kepolisian.
"Terlebih lagi dalam kejahatan terorganisir seperti ini, dapat dipastikan para pengintai dan pelaku melakukan komunikasi dengan menggunakan jaringan selular," kata Kurnia.
"Atas dasar ini, maka dapat dikatakan bahwa ada upaya dari terlapor untuk menutupi komunikasi-komunikasi yang ada di sekitar rumah korban."
"Baik pada saat sebelum kejadian atau pun setelahnya," sambungnya.
Keempat, minim penjelasan terkait sobekan baju gamis milik Novel Baswedan.
Kurnia mengatakan, pada persidangan tanggal 30 April 2020, majelis hakim di Pengadilan Negeri Jakarta Utara memperlihatkan baju gamis yang dikenakan korban saat penyiraman air keras terjadi.
Namun, menurutnya, hal yang janggal adalah terdapat sobekan pada baju gamis milik korban tersebut.
Adapun menurut pengakuan dari kepolisian, baju tersebut disobek untuk kepentingan forensik karena terkena siraman air keras.
"Penting untuk ditegaskan bahwa setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh kepolisian mestinya dapat diikuti dengan dokumentasi," tegasnya.
Dalam hal ini, kata Kurnia, Novel Baswedan tidak pernah mendapatkan kejelasan informasi terkait sobekan baju tersebut dan seperti apa hasil forensiknya.
Berdasarkan poin-poin yang disebutkan, kata Kurnia, maka patut diduga Irjen Rudy Heriyanto selaku mantan DirKriMum Polda Metro Jaya melanggar ketentuan, yang tertera dalam Peraturan Kapolri Nomor 14 Tahun 2011 tentang Kode Etik Profesi Kepolisian Negara Republik Indonesia. (Ilham Rian Pratama)