Pilkada 2020, Politik Transaksional Masih Akan Marak, Ini Modusnya Kata Pengamat

Penulis: Arief Basuki Rohekan
Editor: Prawira Maulana
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Pilkada Serentak di Sumsel 2020

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Andries Lionardo menilai, politik transaksional masih akan marak terjadi pada setiap pemilu.

Fenomena ini diperkirakan bakal masif pada ajang pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2020.

Andries menyatakan, meski para pemilih sudah semakin pandai dalam memilih calon kepala daerahnya, namun masih banyak politikus yang mengandalkan kapital besar untuk mempengaruhi pemilih.

"Inilah yang bakal memicu masifnya politik transaksional, di tahun Pilkada nanti," kata Andries, Jumat (17/1/2020).

Diterangkan Andries, situasi seperti halnya Pilkada sebelumnya, kemungkinan besar masih akan terjadi pada tahun 2020. Dimana politik uang masih akan mewarnai setiap hajat demokrasi.

Ia mengatakan, politisi baru yang mengandalkan dana besar secara langsung merusak proses pengkaderan di tubuh partai politik (Parpol).

Padahal fenomena itu dilihat langsung oleh pemilih, yang merasa dirinya semakin otonom untuk menjual suara yang dimilikinya.

"Memenangkan Pilkada, calon cenderung ada strategi baru untuk menang dikalangan politik, dengan pendekatan jelang Pilkada atau seminggu jelang pemilihan," bebernya.

Dimana metode ini diungkapkan Dosen Fisip Unsri ini telah dilakukan diberberapa tempat khususnya di Sumsel, dan terbukti mereka menang pertarungan meski mereka melawan calon populer.

"Pendekatan ini, bisa menyampaikan visi misi, komitmen dalam pembangunan. Tapi ada hal negatifnya, yang perlu diwaspadai yaitu money politik atau politik transaksional. Biasanya didetik- detik akhir dan masyarakat terpancing dalam polarisasi transaksional politikal," tandasnya.

Ditambahkan Andries, para kontentasi politik (kontenstan Pilkada) ambil diakhir massa kampanye, karena ingin efisiensi pendanaan. Sebab, kalau metode lama dengan menyebar spandul atau APK pasti mengeluarkan anggaran besar dan dirasa tidak efektif, tapi melainkan diskusi dan sharing langsung ke masyarakat.

"Memang tipe pemilih masih belum berubah, ada rasional (melihat program), primordial (kesukuan atau hubung keluarga), dan tipe perilaku transaksional yang berbasis apa yang diberikan dan didapat. Saya rasa untuk persentasenya seimbang," tuturnya.

Dengan masih jadi ancaman politik transional saat ini, Andries berharap masyarakat lebih pintar dan cerdas untuk memilih calon pemimpinnya, jangan mau suara dibeli.

"Dengan perilaku transaksional yang merugikan kedepan, kalau calonnya menang mereka ujung- ujungnya melakukan korupsi. Jadi masyarakat harus cerdas, jangan jadi pemilih transaksional melainkan rasional dengan melihat program visi misi balon yang ada," tandasnya.

Selain itu, pengawas pemilu dalam hal ini sebagai wasit, harus berani bertindak sesuai aturan hukum yang ada, jika adanya prilaku transional politik yang jadi ancaman demokrasi.

"Jelas, pengawas pemilu dituntut untuk kinerja lebih baik, jangan turun kinerjanya, dimana mereka dituntut lebih baik, jika ada melanggar harus ditindak tegas, sehingga perlu intergritas penyelenggara lebih baik dan berkomitnen menegakkan aturan," pungkasnya.

Area lampiran

Berita Terkini