TRIBUNSUMSEL.COM-Peritiwa G30S/PKI yang terjadi pada tanggal 30 September 1965 adalah satu diantara peristiwa kelam yang pernah dialami Indonesia.
Sampai saat ini, peristiwa tersebut masih menjadi kontroversi
Sejumlah tokoh pun menyatakan pendapatnya mengenai peristiwa itu, dan berbagai hal yang melatarbelakanginya.
Kisah itu disampaikan Pontjo dalam buku berjudul "Pak Harto, The Untold Stories".
Baca: DPTHP Mamuju Bertambah 915 Jiwa
Baca: Mengejutkan! Jawaban Syaikh Umar Rokan Hulu Saat Ustadz Abdul Somad Minta Izin Jadi Wakil Presiden
Baca: Hotman Paris Berani Pegang Tangan Yeslin Wang, Reaksi Istri Delon Tersebut Tak Disangka
Pontjo menceritakan, suatu saat menjelang Konferensi Tingkat Tinggi APEC pada tahun 1994, dia pernah hanya berdua dengan Soeharto.
Kala itu, Soeharto sedang melakukan inspeksi persiapan acara di Istana Bogor tersebut.
Ruangan demi ruangan yang ada di Istana Bogor pun mereka lewati.
"Saya lewat sini bersama Bung Karno. Saya berbicara sangat dekat dengan Bung Karno untuk menyampaikan bukti keterlibatan Partai Komunis Indonesia (PKI) dalam pemberontakan bersenjata,"kata Pontjo menirukan ucapan Soeharto kala itu.
Pontjo menyebutkan, saat itu Soeharto mengaku sudah membawa barang bukti berupa senjata Tjung yang berhasil dirampas dari tangan Pemuda Rakyat di Lubang Buaya, setelah RPKAD masuk ke wilayah Halim.
"Bantuan senjata jenis ini dari RRC mengemuka ketika PKI mengusulkan dipersenjatainya kaum buruh dan petani sebagai Angkatan Kelima,"ujar Pontjo.
Saat itu, Presiden Soekarno tengah di puncak kekuasaannya.
Baca: Dinsos Enrekang Bakal Salurkan Bantuan Program Kube Rp 1 M ke 50 Kelompok Usaha
Baca: Aktivis Mahasiswa Calonkan Diri Jadi Ketua DPK KNPI Sinjai Selatan
Baca: Disebut Sudah Putuskan Masuk di Barisan 2019 Ganti Presiden, ini Jawaban Jenderal Gatot Nurmantyo
Oleh karena itu, Soeharto pun berusaha meyakinkan Soekarno bahwa dirinya tidak bermaksud merebut pengaruh, dan kekuasaan dari tangan Soekarno.
Soeharto juga ingin menunjukkan bahwa PKI lah yang berada di balik semua itu.
"Pak, ini bukti bahwa PKI mengkhianati Bapak,"kata Pontjo menirukan ucapan Soeharto kepada Soekarno.
Bahkan, saat itu Soeharto juga sempat mengulangi pernyataannya kepada Soekarno.
Dalam hati Pontjo pun bertanya-tanya tentang alasan Soeharto menceritakan masalah itu kepadanya.
"Yang pasti peristiwa itu menambah keyakinan saya bahwa Pak Harto sudah mengingatkan Bung Karno tentang pengkhianatan yang dilakukan PKI," tutur Pontjo
Perlu diketahui juga, Soeharto memegang peranan penting dalam upaya TNI menumpas gerakan G30S PKI saat pertama kali meletus.
Dikutip dari pernyataan Drs. Nugroho Notosusanto, mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada Kabinet Pembangunan IV yang pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1966
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Soeharto, Panglima Kostrad menerima informasi bahwa sesuatu yang serius telah terjadi.
Jenderal Yani dan beberapa pejabat tinggi Angkatan Darat telah diculik atau dibunuh oleh suatu gerombolan bersenjata.
Soeharto segera berangkat menuju ke Markas Kostrad di Medan Merdeka Timur untuk menganalisa keadaan.
Baca: Tergabung di Grup C, Herrie Masih Fokus Benahi Mental Tanding Pemain
Baca: Jamaah Umrah Al Jasiyah Dicover Adira Insurance
Baca: Jamaah Umrah Al Jasiyah Dicover Adira Insurance
Hilangnya Jenderal Yani selaku Men/Pangad menyebabkan kekosongan di lingkungan Angkatan Darat, itu merupakan sesuatu hal yang amat berbahaya.
Soeharto dengan advis dari beberapa perwira tinggi TNI memutuskan untuk memegang pimpinan Angkatan Darat sementara situasi belum jelas.
Setelah mengadakan kontak dengan Panglima Daerah Militer V/Jakarta, Soeharto berpikir cepat dan bertindak cepat.
Tindakan pertama, diusahakan untuk menetralisir pasukan-pasukan yang masih mengambil stelling di sekitar Medan Merdeka.
Pada jam 16.00, Yon 530 Para (kecuali satu kompi yang dibawa oleh Dul Arief) sudah menarik diri dari stelling dan dibawah pimpinan Wadan Yon Kapten Sukarbi melaporkan diri kepada Soeharto.
Sayang, sisa pasukan Yon 454 Para terus disalahgunakan oleh “G30S" hingga mereka mengundurkan diri ke Pangkalan Angkatan Udara (PAU) Halim dan berhasil dicerai-beraikan disana oleh pasukan RPKAD.
Tahap kedua, Soeharto memerintahkan untuk menduduki kembali gedung Pusat Telekamunikasi dan RRI.
Tugas itu diserahkan kepada RPKAD dengan catatan: sedapat mungkin menghindarkan pertumpahan darah.
RPKAD dengan manuver yang jitu dalam waktu 20 menit saja telah berhasil menduduki kedua gedung itu tanpa melepaskan satu tembakan pun.
Tahap ketiga, pada jam 20.00 WIB Soeharto berbicara di depan radio, menjelaskan kepada seluruh Rakyat Indonesia apa yang telah terjadi dan menerangkan tindakan-tindakan apa yang telah beliau ambil.
Dengan tegas “G30S" disebut gerakan kontra-revolusioner.
Dengan serta-merta seluruh Rakyat merasa lega karena tahu duduk persoalan yang sesungguhnya dan tahu bahwa siaran-siaran “G30S" sebelumnya adalah palsu.
Tahapan keempat, Soeharto mulai memberikan pukulan maut kepada komplotan “G30S"
Yakni merebut PAU Halim. Tugas itu dipercayakan kepada RPKAD dengan bantuan Yon 328 Para “Kudjang”/Siliwangi.
Tugas konsolidasi di dalam kota diserahkan kepada Kodam V/Jaya dengan bantuan KKO/AL dan BRIMOB/AKRI.
Tahapan keempat itu baru dilaksanakan keesokan harinya pada tanggal 2 Oktober 1965, dan berhasil dengan baik dengan hanya makan seorang korban.
Dengan demikian selesailah sudah kisah petualangan “G30S" di ibukota.
Caranya menyelesaikan dilakukan dengan gaya khas Pak Harto: tenang tapi tegas dan pasti, tahap yang satu disusul dengan tahap yang berikutnya di dalam urut-urutan yang serasi.
Dalang-dalang dan lakon gerakan G30S PKI
Masih dari sumber yang sama, gerakan G30S/PKI didalangi oleh sejumlah tokoh.
Tokoh-tokoh itu terdiri atas dua golongan, yakni golongan “pembina” dan golongan yang dibina.
Para “pembina" terdiri atas petugas-petugas PKI, sedangkan yang dibina (dalam hal ini) adalah perwira-perwira ABRI.
Yang dibina tidak selalu saling mengenal selaku orang-orang yang seideologi.
Baca: Prabowo-Sandi Usul Debat Pakai Bahasa Inggris, Jokowi-Maruf Amin Tantang Pakai Bahasa Arab
Baca: Ayo Jelajahi Eropa dengan Harga Spesial Bareng Garuda
Baca: Berkinerja Baik, 7 Personel Polres Enrekang Dapat Penghargaan
Untung diberitahu oleh pembinanya yang bernama Sujono, bahwa pada tanggal 3 September akan ada rapat di mana ia akan diperkenalkan dengan (eks) Kolonel Latief, Komandan Brigade I Infantesri/Jayakarta, (eks) Major Udara Sujono, Komandan Resimen Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim.
Rapat pada tanggal 3 September 1965 itu merupakan rapat pertama untuk merupakan persiapan terakhir bagi gerakan 30 September 1965
Yang hadir dari pihak “pembina" adalah: Sam dan Supono (yang menurut eks- Kolonel Latief adalah “pengawal” D.N. Aidit), sedang dari pihak yang dibina adalah: Latief, Untung, Sujono dan tuan rumah (eks) Kapten Wahyudi.
Dalam rapat itu Sam memberi briefing mengenai adanya “Dewan Jenderal” yang dipimpin oleh Jenderal Nasution dan Jenderal Yani yang merencanakan suatu kudeta.
Sam meminta supaya para perwira yang hadir merencanakan sesuatu guna menghalangi rencana “Dewan Jenderal” tersebut.
Rapat yang paling penting adalah rapat tanggal 19 September 1965 yang bertempat di rumah (eks) Kolonel Latief di Cawang.
Pada rapat itulah Sam menunjuk Untung selaku “pemimpin” daripada “G-30-S".
Ketentuan-ketentuan yang khusus mengenai pencetusan “G-30-S" dilakukan pada dua rapat terakhir.
Pada rapat tanggal 29 September di rumah Sam, tokoh PKI itu memutuskan bahwa komplotan mereka diberi nama “Gerakan 30 September".
Serta diputuskan bahwa pelaksanaannya jatuh pada besok malam (30 September 1965), meskipun aksi yang lebih besar akan dilancarkan pada dinihari tanggal 1 Oktober 1965.
Sebelumnya, (eks) Kolonel Latief juga telah ditugaskan untuk menyusun rencana operasi.
Menurut rencananya, operasi diberi nama Operasi Takari dan dibagi atas 3 komando:
1. Komando Penculikan dan Penyergapan yang dipimpin oleh Dul Arief dari Cakrabirawa;
2. Komando Penguasaan Kota yang dipimpin oleh (eks) Kapten Suradi dari Brigade I Infanteri/Jayakarta
3. Komando Basis yang dipimpin oleh (eks) Major Udara Gatot Sukresno.
Ketiga komando itu bertanggung jawab kepada Central Comando atau Cenco.
Pada tanggal 30 September 1965 pagi diadakan rapat terakhir di Lubang Buaya.
Yang hadir adalah (eks) Brigadir Jenderal Suparjo, Latief, Sujono, (eks) Mayor Bambang Supeno (Dan Yon 530 Para), Gatot Sukresno, (eks) Kapten Kuncoro (Wadan Yon 454 Para), Suradi, Dul Arief, Sugito dan dua orang sipil yang tidak dikenal.