Kisah Adik Pramoedya Ananta Toer, Doktor yang Kuasai 4 Bahasa Asing, Kini Pemulung

AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) sore.

TRIBUNSUMSEL.COM- Soesilo Toer setiap malam sehabis maghrib hingga dini hari memulung di wilayah perkotaan Kabupaten Blora, Jawa Tengah, dengan mengendarai motor butut berkeranjang.

Di usia senja memasuki 81 tahun, dia masih bersemangat berkutat mencari rezeki memunguti barang-barang bekas bernilai jual di kampung kelahirannya itu.

Tak banyak yang tahu bahwa pria kelahiran‎ 17 Februari 1937 itu adalah adik kandung almarhum Pramoedya Ananta Toer, sastrawan dan penulis yang kiprahnya diperhitungkan dunia.‎

 

Di luar perkiraan juga, ternyata Sus, sapaan karibnya, adalah penyandang gelar master jebolan University Patrice Lumumba dan doktor bidang politik dan ekonomi dari Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov Uni Soviet.

Keduanya berada di Rusia.

‎ ‎‎Dokumentasi akademis miliknya itu masih tersimpan rapi.

Nyaris tanpa cacat, baik itu ijazah doktor ekonomi politik yang diabsahkan oleh The Council of Moscow Institute of National Economy maupun sertifikat lain yang diperoleh selama menempuh studi di Rusia sejak tahun1962-1973.

‎ ‎ Semua catatan penting yang membuktikan ia pernah berhasil di Rusia itu terbungkus plastik di dalam koper dan terkunci rapat di lemari pakaian.

Kamis (31/5/2018) sore, Kompas.com berkesempatan berbincang dengan Sus di rumah yang kini ditempatinya di Jalan ‎Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Blora.

Senyum ramah terpancar dari guratan wajahnya yang telah menua saat kami mulai bertatap muka.

Rambutnya putih, matanya sipit.

Bulu uban dibiarkan tumbuh menutupi sebagian wajahnya.

Tak disangka, ingatan Sus masih tajam menyerupai respons lelaki sehat paruh baya.

Tutur bicaranya lugas, mengalir deras menjawab pertanyaan demi pertanyaan.

Itulah Sus dengan segala kekurangan dan kelebihannya.

Terkadang dia bercanda mencairkan suasana.

Namun lebih sering dia serius mengisahkan sekelumit perjalanan hidupnya.‎

Sus fasih berbahasa Inggris, Rusia, Jerman dan Belanda.

Entah itu secara lisan maupun tulisan.

Bahkan, dia menyebut dirinya diglosia, kemampuan menguasai variasi bahasa dalam masyarakat.

"Mas ingin wawancara pakai bahasa apa ? Gini-gini saya menguasai beberapa bahasa lho," kata Sus tersenyum mengawali pembicaraan.‎

Sus menempuh pendidikan dasar di Blora dan pendidikan menengah di Jakarta.‎

Di Jakarta, awalnya Sus mendompleng kakak sulungnya, Pramoedya Ananta Toer, sebab saat itu, bapaknya, Mastoer, guru di Blora itu, sudah tiada.‎

Sebelum hijrah ke Rusia, Sus sempat menjadi mahasiswa Fakultas Ekonomi di Universitas Indonesia‎ (UI).

Sus juga mahasiswa BI jurusan ekonomi yang beralih menjadi IKIP di Jakarta Selatan.‎

Dia lolos tanpa tes di bangku kuliah itu karena tertolong dengan predikat nilainya yang memuaskan hasil menempa pendidikan menengah atas di Jakarta.

Nilai semua mata pelajaran di atas rata-rata.

Nilai ekonominya 10.

Namun perjalanan di kedua kampus itu terhenti di tengah jalan karena biaya kuliah terlalu ‎tinggi baginya.

()

Soesilo Toer saat ditemui Kompas.com di rumahnya di Jalan Sumbawa Nomor 40, Kelurahan Jetis, Kabupaten Blora, Jawa Tengah, Kamis (31/5/2018) sore. (KOMPAS.com/PUTHUT DWI PUTRANTO)

Sus pun akhirnya menyelesaikan pendidikan diplomanya di‎ ‎Akademi Keuangan Bogor yang berada di bawah Badan Pengawas Keuangan (BPK). ‎

Saat menjadi mahasiswa, untuk menunjang hidup Sus bekerja di sebuah perusahaan penerbitan.‎ Gaji Sus tidak besar, status pekerjaannya pun tidak tetap.‎

Sejatinya, pekerjaan itu hanya sampingan.

Tiang utamanya adalah dana keluarga.

Uang keluarga diputarnya di sejumlah pedagang kecil yang membutuhkan modal dadakan.

Dari pinjaman itu, bunga yang didapatkan digunakan untuk menyokong biaya sekolah dan hidup sehari-hari.

"Hidup waktu itu demikian susah dan keras. Uang saku dari Mas Pram sangat minim. Sampai kini, kalau teringat terkadang miris sendiri. Kasihan terhadap kemiskinan bangsa sendiri. Mengapa aku harus begitu kejam mencari sesuap nasi. Aku tahu itu tidak halal, tapi kalau sok-sokan berperikemanusiaan, hadiahnya lapar dan bencana bagiku," ungkap Sus, anak ketujuh dari sembilan bersaudara pasangan Mastoer dan Siti Saidah itu.‎

Ke Rusia dan berlimpah harta Lulus kuliah, Sus diterima bekerja sebagai clerk atau pegawai asuransi di sebuah kantor dagang, bekas milik Belanda yang dinasionalisasi atas tuntutan buruh.

Posisinya strategis.

Tentunya dengan gaji besar.

Kehidupan perekonomian Sus mulai meningkat‎ signifikan.

Makan enak tak lagi melarat.

"Namun sungguh aku tidak suka. Kerjanya membosankan, setiap hari hanya dipenuhi angka-angka. Kantornya berisik oleh suara mesin hitung, mesin bagi, mesin tulis, mesin bagi dan mesin kali‎," ujar Sus.

Pada saat Sus berada di atas angin, Indonesia mendadak dilanda kegoncangan ekonomi dan politik.‎

Pemerintah membentuk Batalyon Serbaguna Trikora. ‎

Karier suksesnya selama lebih dari setahun itu perlahan berubah karena situasi negara waktu itu.‎

Sus mengikuti pelatihan wajib militer yang menguras fisik saat itu.

"Aku tak tahu apa penyebabnya. Pemerintah bertekad membebaskan Irian Barat. Saat itu militer memegang kuasa termasuk di kantorku, hingga akhirnya aku ikut latihan menjadi sukarelawan ke Irian Barat. Jabatanku Kabag Distribusi dan pangkatku Letnan waktu itu, tapi kenyataannya aku jenderal bintang tujuh alias pusing dengan nasib ke depannya," tutur Sus terkekeh.

Setelah Perundingan Den Haag, Irian Barat masuk ke dalam pangkuan Ibu Pertiwi.

Indonesia berhasil membebaskan Irian Barat.

Sus lalu mendulang kesempatan terbang ke luar negeri setelah lolos penjaringan beasiswa otoritas Rusia.

Dari sekitar 9.000 pendaftar, hanya 30 orang yang lolos, termasuk Sus.

Sus melanjutkan pendidikannya di Fakultas Politik dan Ekonomi University Patrice Lulumba.‎

"Aku tidak jadi berangkat Irian Barat, namun aku bebas dari pakaian hijau yang enam bulan membungkusku.‎ Aku berangkat ke Rusia sekitar tahun 1962. Di situlah kisah hidup baruku dimulai," tutur Sus.

Singkat cerita, menempuh pendidikan di sana tidaklah mudah.

Sus diharuskan mengabdi selama dua tahun di Rusia karena tidak lulus dengan predikat cumlaude.

Sus kemudian melanjutkan program pascasarjana di Institut Perekonomian Rakyat Plekhanov.

Gelar PhD yang lazimnya ditempuh 2 tahun disabetnya hanya dalam tempo 1,5 tahun. ‎

Selama 11 tahun di Rusia, Sus bekerja apa saja, mulai dari penulis, penerjemah, peneliti dan pekerja kasar.

Karena kendali pendidikannya, Sus berpendapatan tinggi.

Sus bergelimang harta di Rusia.

‎Sepekan sekali, dia bersantap di restoran berkelas di Rusia.

Berpindah-pindah lokasi tergantung selera Sus.‎

Sus mengaku sering mentraktir teman-temannya dan menggelar pesta kecil-kecilan.

"Saya penggila buku-buku sastra Rusia. Bahkan suatu ketika dosen belum pernah baca, saya sudah khatam. Selama saya bekerja di Rusia, duit saya banyak. Seminggu sekali makan di restoran berkelas. Saat itu, biaya hidup 1 rubel sehari di Rusia. Padahal sebulan saya kantongi 400 rubel," kenangnya sambil tersenyum.‎ (*)


Artikel ini telah tayang di tribun-medan.com dengan judul Sepenggal Kisah Adik Pramoedya Ananta Toer, Doktor yang Kuasai 4 Bahasa Asing, Kini Pemulung, http://medan.tribunnews.com/2018/06/04/sepenggal-kisah-adik-pramoedya-ananta-toer-doktor-yang-kuasai-4-bahasa-asing-kini-pemulung?page=all.

Editor: Randy P.F Hutagaol

Berita Terkini