TRIBUNSUMSEL.COM - Pengalaman menyaksikan gerhana matahari pada 33 tahun silam masih membekas di pikiran Fahrurozi (44). Warga Lorong Kapuran, Jalan Letnan Jaimas, 22 Ilir ini waktu itu masih berusia 11 tahun. Ia masih ingat, gerhana matahari waktu 1983 itu tidak disambut semeriah seperti sekarang.
Melalui siaran TVRI dan radio, warga diingatkan pemerintah supaya tidak menyaksikan gerhana. Bisa menyebabkan kebutaan. Banyak ibu-ibu dan anak-anak tetap berada di rumah. Sedangkan pria dewasa melaksanakan salat gerhana di masjid.
"Jalan-jalan kampung sepi. Tanda tibanya gerhana terdengar suara suling tiga kali dari kantor walikota," kata Fahrurozi dijumpai, Senin (7/3).
Suara suling itu terdengar sampai cinde. Fahrurozi mendengar jelas suara itu karena jarak rumahnya dengan kantor Walikota Palembang hanya 500 meter. Suling itu biasa dibunyikan setiap ada peristiwa kebakaran, sahur, atau kejadian luar biasa lainnya.
Meski ada larangan, pria yang berprofesi sebagai penjahit ini tak mampu menutup rasa keingintahuan yang besar melihat gerhana. Bermodal negatif film (klise) bekas, Fahrurozi tetap memberanikan diri. Tetapi ia hanya mencuri pandang saat matahari belum tertutup penuh.
"Pas mau terbuka, ngeri. Jadi saya lari masuk rumah. Pakai klise waktu itu, mata saya tidak alami masalah," ungkapnya.
Jalan Letnan Jaimas siang kemarin tetap ramai seperti biasanya. Tidak ada persiapan khusus dari warga untuk menyambut gerhana matahari tahun ini. Ahmad Rivai (56) yang berada di toko jahit Fahrurozi mengungkapkan, gerhana 33 tahun lalu dilihat memanfaatkan bantuan air dalam baskom. Rivai waktu itu masih tinggal di 24 Ilir.
Ia ingat, ada sepuluh baskom diletakkan di satu lapangan dekat pemukiman penduduk. Orang-orang melihat gerhana matahari melalui bayangan air di baskom.
"Tidak boleh lihat atas, jadi lihat ke air. Posisi kepala menyesuaikan di mana arah matahari," ungkap Rivai.
Fenomena itu kata Rivai, membuat hewan-hewan bertingkah diluar kebiasaan. Saat langit gelap, ayam-ayam ramai berkokok, begitu juga burung hantu keluar dari sarangnya.
"Kami baru bisa melihat kejadian itu secara leluasa melalui tayangan berita. Tidak ada warga yang sampai sembunyi di bawah dipan,"ujarnya.
Wakil Ketua Ikatan Cendikiawan Muslim Indonesia (ICMI) Sumsel, Toni Panggarbesi mengingatkan perlunya umat Islam merenung sejenak kala datangnya gerhana matahari.
"Mari merenung sejenak. Kalau terjadi lebih dari ini bagaimana?" kata Toni saat memberikan sambutan pada cara seminar pra Muswil ICMI di Hotel Swarna Dwipa, Senin (7/3). Gerhana matahari jelas Toni, merupakan tanda bagi kita dari Allah SWT. "Mari kita merenung. Mumpung kita masih diberi kesempatan," ujar Toni. (Wan).