Oleh H Hendra Zainuddin MPdI
Pimpinan Pesantren Aulia Cendekia Palembang
PADA setiap tanggal 10 Dzulhijjah, umat Islam di seluruh dunia
merayakan Idul Adha atau yang sering juga disebut hari raya kurban.
Perayaan Idul Adha tidak terlepas dari perjalanan sejarah Nabi Ibrahim
AS. Dalam berbagai penuturan sejarah, Nabi ibrahim AS dikenal sebagai
Bapak Monotheisme karena beliau melalui penjelajahan intelektual dan
spiritualnya telah mampu “menemukan Tuhan Yang Sebenarnya”, yakni Allah
SWT, Tuhan Yang Maha Esa.
Dalam al-Qur’an Surat Al-An ‘Aam ayat 74–79 digambarkan pencarian
“Tuhan Yang Sebenarnya” yang dilakukan Nabi Ibrahim AS. “Dan (ingatlah)
di waktu Ibrahim berkata kepada bapaknya Azar; pantaskah kamu menjadikan
berhala-berhala sebagai tuhan-tuhan? “Sesungguhnya aku melihat kamu dan
kaummu dalam kesesatan yang nyata” (74). “Dan demikianlah Kami
perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang terdapat) di
langit dan di bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu
termasuk orang-orang yang yakin” (75).
“Ketika malam telah menjadi gelap, ia melihat bintang (lalu) dia
berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi tatkala bintang itu tenggelam ia
berkata: Saya tidak suka kepada yang tenggelam” (76). “Kemudian tatkala
ia melihat bulan, ia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tepai setelah bulan itu
terbenam ia berkata: sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk
kepadaku, pastilah aku termasuk oang-orang yangsesat” (77). “Kemudian
tatkala ia melihat matahari terbit, ia berkata: “Inilah Tuhanku, ini
yang lebih besar”.
Maka tatkala matahari itu terbenam, ia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa yang kamu persekutukan” (78). “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (79).
Maka tatkala matahari itu terbenam, ia berkata: Hai kaumku, sesungguhnya aku terlepas dari apa yang kamu persekutukan” (78). “Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung kepada agama yang benar (hanif) dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan” (79).
Paradigma Ketuhanan
Monotheisme yang diajarkan Nabi Ibrahim AS secara revolusioner telah
mengubah paradigma ketuhanan yang ada pada saat itu. Tuhan yang
diperkenal oleh Nabi Ibrahim AS bukan sekedar tuhan suku, bangsa atau
kelompok tertentu manusia. Namun Tuhan yang bersifat imanen dan
sekaligus transenden yang begitu dekat, serta selalu menyertai semua
aktivitas manusia. Dia bukanlah Tuhan yang sifat-sifat-Nya menjadi
monopoli pengetahuan para tokoh agamawan, tetapi Tuhan manusia secara
universal (Tuhan Seru Sekalian Alam).
Penemuan Nabi Ibrahim AS dengan “TUHAN SEBENARNYA” merupakan lembaran
baru sejarah kepercayaan dan kemanusiaan. Dawam Rahardjo dalam bukunya
Ensiklopedi Al-Qur’an: Tafsir Sosial Berdasarkan Konsep-konsep Kunci
(1996:78) mengatakan bahwa bila dilihat dari perspektif sejarah
setidaknya terdapat tiga ciri keistimewaan. Pertama, Nabi Ibrahim AS
memperoleh pengertian tentang Tuhan Yang Maha Esa melalui suatu proses
perjuangan berpikir dengan cara observasi dan penarikan kesimpulan dari
pengamatannya tentang gejala alam dan kehidupan yang dilihatnya.
Sehingga ia mampu memberikan argumentasi-argumentasi yang kemudian
diungkapkan oleh kitab-kitab suci sesudahnya.
Kedua, Nabi Ibrahim AS menyebarkan dan memperjuangkan keyakinannya itu
kepada berbagai bangsa dalam pengembaraannya dari Timur ke Barat, Utara,
Selatan dan di tengah-tengah berbagai penjuru itu. Dan ketiga, Nabi
Ibrahim adalah orang teruji dengan berbagai perintah dan karena itu ia
dipilih sebagai pemimpin (imam) umat manusia (Q.S. 2:124). Bahkan ia
bercita-cita agar ajaran yang disampaikan itu akan diteruskan oleh
keturunannya, untuk itu ia berdo’a kepada Allah agar dikabulkan
cita-citanya tersebut (Q.S. 2: 128).
Dengan keistimewaan itu, Nabi Ibrahim AS dijadikan panutan dan teladan
untuk seluruh umat manusia. Keteladanan itu, antara lain, diwujudkan
dalam bentuk ibadah kurban serta ibadah haji dan praktik-praktik
ritualnya sebagai “napak tilas” Nabi Ibrahim AS yang mengalami berbagai
peristiwa bersama istrinya Hajar dan putranya Isma’il.
Dua Momentum Umat
Perayaan Idul Adha mengandung dua momentum sejarah bagi umat Islam,
yaitu sejarah kurban dan pelaksanaan ibadah haji. Episode sejarah ini
semua dilakonkan oleh Nabi Ibrahim As, istrinya Siti Hadjar dan anaknya
Isma’il. Kata kurban yang berasal dari bahasa Arab
“qarab-yaqaribu-qaribun”, yang berarti dekat. Dalam terminologi Islam,
kurban bermakna berusaha menyingkirkan semua hal yang dapat menghalangi
manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Bila dilihat kilas balik sejarah, syariat kurban dalam Islam merupakan
syariat yang awalnya terjadi masa Nabi Ibrahim AS yang diperintah Allah
SWT untuk mengorbankan putra kesayangannya Isma’il. “Maka tatkala anak
itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama Ibrahim. Ibrahim
berkata; Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku
menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!. Ia menjawab; Hai
bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan padamu, insya Allah kamu
akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar. Tatkala keduanya telah
berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya, (nyatalah kesabaran
keduanya). Dan Kami panggillah dia; Hai Ibrahim.
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (Q.S. 37: 102-107).
Sesungguhnya kamu telah membenarkan mimpi itu, sesungguhnya demikianlah Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar” (Q.S. 37: 102-107).
Kutipan ayat al-Qur’an di atas menggambarkan ketaatan Nabi Ibrahim AS
pada perintah Allah SWT dan sekaligus kepatuhan seorang anak yang sholeh
kepada orang tuanya. Sikap berserah diri dengan penuh ikhlas, tulus dan
damai pada Allah Ta’ala ini merupakan esensi ajaran monotheisme Nabi
Ibrahim AS. Sikap demikian akan membawa dampak pembebasan dari semua
bentuk pengingkaran terhadap harkat dan martabat kemanusiaan.
Selain itu, peristiwa “penyembelihan” Isma’il dapat dikatakan sebagai
simbol pengendalian sifat-sifat kebinatangan yang ada diri manusia, di
antaranya, kerakusan, egosentrisme, dan sejenisnya. Manusia tidak
dibenarkan mengeksploitasi sesama manusia, penghinaan terhadap
harkat-martabat manusia dan pembedaan manusia berdasarkan ras, kelas
sosial, dan lainnya. Di hadapan Sang Khalik semua manusia memiliki
derajat yang sama, yang membedakannya adalah kualitas ketaqwaannya.
Miliki Tanggungjawab
Karena itu, lakon Nabi Ibrahim AS dan putranya Isma’il mengandung makna
agar manusia membangun suatu tatanan masyarakat yang egalitarian. Dalam
masyarakat egaliter, setiap komponen masyarakat memiliki tanggung jawab
moral dan sosial, sehingga tidak muncul sikap da tindakan otoriter.
Implikasi semangat egaliter ini agar manusia menemukan harkat-martabat
kemanusiaanya dan dapat mengembangkan semua potensinya secara wajar.
Semangat ini akan melahirkan sifat saling tolong-menolong dan sikap
solidaritas sosial yang tinggi.
Di samping itu, perayaan Idul Adha juga bertepatan dengan pelaksanaan
ibadah haji. Sesungguhnya semua ritual ibadah haji, mulai dari niat,
pakaian ihram, thawaf, sa’i, wukuf, dan melempar jumrah, semuanya
mengandung dimensi ketuhanan dan sekaligus kemanusiaan. Umat Muslim yang
datang dari seluruh dunia berkumpul di “rumah Allah” dengan tujuan yang
Satu yakni mengagungkan kebesaran dan ke-Esa-an Allah Ta’ala.
Oleh sebab itu, perayaan Idul Adha yang di dalamnya mengandung dua
peristiwa besar, yaitu kurban dan ibadah haji pada prinsipnya tersimpul
ajaran Bapak Monotheisme Nabi Ibrahim AS, yakni 1). Pengakuan akan
ke-esa-an Allah serta penolakan terhadap semua bentuk kemusyrikan; 2).
Keyakinan akan adanya neraca keadilan Ilahi dalam hidup ini dan
puncaknya akan diperoleh setiap makhluk pada hari kebangkitan nanti; 3)
menghapus tradisi pengorbanan manusia dan menggantikannnya dengan ibadah
kurban; menyembelih hewan ternak (kambing, sapi, dan kerbau) untuk kaum
dhuafa sebagai simbol solidaritas sosial; dan 4). Mewujudkan
persaudaraan umat manusia.
Demikianlah, mudah-mudahan melalui Idul Adha akan semakin meningkatkan solidaritas sosial kita.Dan kepada saudara kita yang saat ini memenuhi panggilan dan menjadi tamu Allah, semoga mendapat haji yang mabrur. “Haji mabrur tidak lain balasannya adalah syurga” demikian sabda Nabi SAW. Amiin.
Demikianlah, mudah-mudahan melalui Idul Adha akan semakin meningkatkan solidaritas sosial kita.Dan kepada saudara kita yang saat ini memenuhi panggilan dan menjadi tamu Allah, semoga mendapat haji yang mabrur. “Haji mabrur tidak lain balasannya adalah syurga” demikian sabda Nabi SAW. Amiin.