Seputar Islam
5 Materi untuk Khutbah Jumat 2 Juni 2023 Singkat dan Mudah Dpahami Lengkap Bacaan Doanya
Kumpulan materi khutbah sholat Jumat singkat berisi nasehat kebaikan untuk jemaah Sholat Jumat.
Penulis: M Fadli Dian Nugraha | Editor: Novaldi Hibaturrahman
TRIBUNSUMSEL.COM-Berikut ini merupakan kumpulan naskah Khutbah untuk Sholat Jumat.
Kumpulan Naskah Khutbah Sholat Jumat berisi banyak kebaikan dan hikmah untuk jemaah Sholat Jumat.
Dilansir istiqlal.or.id, Kemenag.go.id dan scribd. berikut ini materi khutbah sholat Jumat 2 Juni 2023 singkat dan mudah dipahami jemaah Sholat Jumat.
Baca juga: Arti Allahummaj Alni Mahbuban, Bacaan Doa agar Rumah Tangga Harmonis Disayang Suami dan Doa Lainnya
1. Substansi Shalat dalam Membentuk Karakter Pribadi Muslim
Ma'asyiral muslimin rahimakumullah. Pertama-tama marilah kita bersama meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah subhanahu wata’ala dengan sesungguh hati tanpa basa-basi.
Karena kesungguhan dalam bertakwa akan berimplikasi dalam sikap laku taat terhadap syariat dan menghindar dari maksiat.
Sesungguhnya syariat bawaan rasul Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam adalah kebenaran mutlak yang tidak bisa diragukan lagi. Shalat, zakat, puasa, dan haji merupakan di antara bukti formal ketaatan seseorang dalam berislam.
Sidang Jum’at yang berbahagia. Perputaran waktu dari detik, ke menit, menit ke jam, jam ke hari, hari ke minggu dan bulan ke bulan tak terasa kita sudah berada di awal bulan sya’ban yang artinya beberapa minggu lagi kita akan menghadapi Bulan Ramadhan dan beberapa hari yang lalu kita sudah melewati bulan rajab yang telah kita ketahui bersama bahwa merupakan bulan memperingati terjadinya peristiwa yang luar biasa dalam sejarah peradaban Islam pada masa Rasulullah, yakni Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad SAW dari Masjidil Haram ke masjidil Aqsha dan dari masjidil Aqsha menuju Sidratul Muntaha.
Peristiwa besar sekaligus bersejarah ini terukir dalam kitab suci Al-Qur’anul Karim. Dalam surah al-Isra’ ayat 1 Allah subhanahu wata'ala berfirman:
سُبْحٰنَ الَّذِيْٓ اَسْرٰى بِعَبْدِهٖ لَيْلًا مِّنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ اِلَى الْمَسْجِدِ الْاَقْصَا الَّذِيْ بٰرَكْنَا حَوْلَهٗ لِنُرِيَهٗ مِنْ اٰيٰتِنَاۗ اِنَّهٗ هُوَ السَّمِيْعُ الْبَصِيْرُ ١
Artinya : “Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
Barangkali kita semua sudah maklum mengenai rentetan peristiwa yang menunjukkan kebesaran Allah ini. Dimana dengan kekuasaan-Nya yang maha luas, Allah telah menunjukkan kebesarannya kepada manusia melakukan sesuatu yang berada di luar hukum-hukum thabi`i (hukum alam), di luar kemampuan nalar manusia pada umumnya.
Perjalanan Nabi Muhammad saw. dari Makkah ke Bayt Al-Maqdis, kemudian naik ke Sidrat Al-Muntaha, bahkan melampauinya, serta kembalinya ke Makkah dalam waktu sangat singkat, merupakan tantangan terbesar sesudah AlQuran disodorkan oleh Tuhan kepada umat manusia.
Peristiwa ini membuktikan bahwa ‘ilm dan qudrat Tuhan meliputi dan menjangkau, bahkan mengatasi, segala yang finite (terbatas) dan infinite (tak terbatas) tanpa terbatas waktu atau ruang.
Kaum empirisis dan rasionalis, yang melepaskan diri dari bimbingan wahyu, dapat saja menggugat: Bagaimana mungkin kecepatan, yang bahkan melebihi kecepatan cahaya, kecepatan yang merupakan batas kecepatan tertinggi dalam continuum empat dimensi ini, dapat terjadi? Bagaimana mungkin lingkungan material yang dilalui oleh Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam tidak mengakibatkan gesekan-gesekan panas yang merusak tubuh beliau sendiri?
Bagaimana mungkin beliau dapat melepaskan diri dari daya tarik bumi? Ini tidak mungkin terjadi, karena ia tidak sesuai dengan hukum-hukum alam, tidak dapat dijangkau oleh pancaindera, bahkan tidak dapat dibuktikan oleh patokan-patokan logika. Demikian kira-kira mereka yang menolak peristiwa ini.
Memang, pendekatan yang paling tepat untuk memahaminya adalah pendekatan imaniy. Inilah yang ditempuh oleh Abu Bakar Al-Shiddiq, seperti tergambar dalam ucapannya: “Apabila Muhammad yang memberitakannya, pasti benarlah adanya.”
Merenungkan kebesaran dan kekuasaan Allah dalam peristiwa Isra’ dan Mi’raj adalah sesuatu yang penting dalam rangka mengingatkan kita kepada jati diri kita sebagai manusia dan tugas kita dalam menjalani hidup di dunia ini. Namun yang tidak kalah penting juga adalah sejauh mana kita mampu menangkap substansi dari peristiwa luar biasa ini.
Sidang Jum’at yang berbahagia.
Isra’ Mi’raj merupakan perjalanan suci, dan bukan sekadar perjalanan “wisata” biasa bagi Rasul. Sehingga peristiwa ini menjadi perjalanan bersejarah yang akan menjadi titik balik dari kebangkitan dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
. John Renerd dalam buku ”In the Footsteps of Muhammad: Understanding the Islamic Experience,” mengatakan bahwa Isra Mi’raj adalah satu dari tiga perjalanan terpenting dalam sejarah hidup Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, selain perjalanan hijrah dan Haji Wada. Isra Mi’raj, menurutnya, benar-benar merupakan perjalanan heroik dalam menempuh kesempurnaan dunia spiritual.
Jika perjalanan hijrah dari Mekah ke Madinah pada 662 M menjadi permulaan dari sejarah kaum Muslimin, atau perjalanan Haji Wada yang menandai penguasaan kaum Muslimin atas kota suci Mekah, maka Isra Mi’raj menjadi puncak perjalanan seorang hamba (al-abd) menuju sang pencipta (al-Khalik). Isra Mi’raj adalah perjalanan menuju kesempurnaan ruhani (insan kamil) Sehingga, perjalanan ini menurut para sufi, adalah perjalanan meninggalkan bumi yang rendah menuju langit yang tinggi.
Inilah perjalanan yang amat didambakan setiap pengamal tasawuf. salah satu momen penting dari peristiwa Isra Mi’raj yakni ketika Rasulullah “berjumpa” dengan Allah. Ketika itu, dengan penuh hormat Rasul berkata, “Attahiyatul mubaarakaatush shalawatuth thayyibatulillah“; “Segala penghormatan, kemuliaan, dan keagungan hanyalah milik Allah saja”. Allah pun berfirman, “Assalamu’alaika ayyuhan nabiyu warahmatullahi wabarakaatuh“.
Mendengar percakapan ini, para malaikat serentak mengumandangkan dua kalimah syahadat. Ashadu an La Ilaha Illa LLAH wa ashadu anna Muhammadan rasulullah Maka, dari ungkapan bersejarah inilah kemudian bacaan ini diabadikan sebagai bagian dari bacaan shalat.
Selain itu, Seyyed Hossein Nasr dalam buku ‘Muhammad Kekasih Allah’ (1993) mengungkapkan bahwa pengalaman ruhani yang dialami Rasulullah SAW saat Mi’raj mencerminkan hakikat spiritual dari shalat yang di jalankan umat islam sehari-hari.
Sebagaimana telah kita maklumi bersama, inti dari pertemuan Allah dan Nabi Muhammad di Sidratul Muntaha adalah diturunkan kewajiban yang paling fundamental di dalam Islam, yakni melaksanakan shalat lima waktu.
Begitu pentingnya perintah shalat ini bagi manusia sehingga peribaratan yang dapat digambarkan untuk melukiskannya secara singkat adalah “Ash-sholatu `imaduddin”, sholat adalah tiang agama.
Jika tiang tersebut rusak atau kurang sempurna maka agama seseorangpun dikhawatirkan akan rubuh atau tidak sempurna pula.
Pengertian sholat yang sedemikian vital ini sudah barang tentu bukanlah pengertian sholat dalam bentuk verbal saja, akan tetapi shalat dalam pengertiannya yang utuh, sholat yang menjadi sarana pembentukan identitas moral dan karakter sosial.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Dalam pelaksanaan shalat sendiri, penting untuk diingat oleh kita semua untuk senantiasa mengedepankan kualitas shalat. Bukan hanya kuantitas shalat saja.
Kewajiban shalat yang difokuskan kepada kuantitas atau jumlah saja akan menjadikan diri terbebani dalam menjalankannya.
Jika kewajiban shalat kita kerjakan dengan mengedepankan kualitas, maka shalat yang dilakukan akan benar-benar bisa dinikmati dan akan berdampak pada perilaku serta kualitas kehidupan kita. Rasulullah pernah mengingatkan dalam haditsnya yang diriwayatkan Imam Ahmad:
يأَتِى عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ يُصَلّوْنَ وَلاَ يُصَلُّوْنَ
Artinya : “Akan datang suatu masa menimpa manusia, banyak yang melakukan shalat, padahal sebenarnya mereka tidak shalat”.
Hadits ini mengingatkan kepada kita untuk senantiasa menjalankan perintah ini dengan sempurna mulai dari aspek fiqihnya sampai dengan aspek hakikat dari shalat itu sendiri. Dari sisi fiqih kita harus mengetahui syarat dan rukun shalat dan beberapa hal lain terkait seperti cara berwudhu, waktu-waktu shalat dan sejenisnya. Terminologi shalat ini sendiri adalah:
أَقْوَالٌ وَأَفْعَالٌ مَخْصُوْصَةٌ مُفْتَتِحَةٌ بِالتَّكْبِيْرِ مُخْتَتِمَةٌ بِا التَّسْلِيْمِ بِشَرَاءِطَ مَخْصُوصَةٍ
Artinya : “Ibadah yang terdiri dari beberapa ucapan dan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam, dengan syarat dan rukun tertentu”
Sementara dari sisi hakikat, shalat memiliki dimensi ibadah rohani yang di dalamnya berisi doa-doa untuk mendatangkan ketenangan dan ketentraman jiwa. Allah berfirman:
وَصَلِّ عَلَيْهِمْۗ اِنَّ صَلٰوتَكَ سَكَنٌ لَّهُمْۗ وَاللّٰهُ سَمِيْعٌ عَلِيْمٌ ١٠٣
Artinya : “Dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah: 103).
Selain berbuah ketenangan jiwa, shalat juga akan membuahkan ketentraman bagi orang lain. Kenapa? Karena orang yang melakukan shalat dengan benar akan membuahkan komitmen untuk tidak berbuat hal yang keji dan mungkar. Hal ini disebutkan dalam Al-Qur’an Surat Al-Ankabut ayat 45:
اُتْلُ مَآ اُوْحِيَ اِلَيْكَ مِنَ الْكِتٰبِ وَاَقِمِ الصَّلٰوةَۗ اِنَّ الصَّلٰوةَ تَنْهٰى عَنِ الْفَحْشَاۤءِ وَالْمُنْكَرِ ۗوَلَذِكْرُ اللّٰهِ اَكْبَرُ ۗوَاللّٰهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُوْنَ ٤٥
Artinya : “Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al-Qur’an) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain)”.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah.
Berkaca pada ayat ini, tampak jelas ibadah shalat memiliki kaitan dengan “tanha ‘anil fakhsya wal munkar (gerakan mencegah segenap perbuatan keji yang merusak dan berbagai bentuk kemungkaran).
Dengan kata lain, sholat yang sempurna dapat membentuk pribadi yang bersih serta memiliki kekuatan memperbaiki kondisi sosial dalam kerangka besar fastabiqul khairat (berlomba-lomba dalam berbuat kebajikan).
Namun batasan shalat seperti ini tampaknya masih kurang diserap maknanya oleh masyarakat kita. Berkembang suburnya budaya korupsi, kolusi, kekerasan, kezaliman, dan lain sebagainya merupakan sebuah fenomena yang sangat memprihatinkan jika mengingat penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam.
Keadaan ini membuktikan bahwa ibadah shalat (barangkali juga ibadah-ibadah yang lainnya) hanya dipandang sebagai ritual dan formalitas belaka; tidak ada kaitannya dengan masyarakat dan lingkungan hidup manusia.
Agama Islam diturunkan untuk membentuk manusia yang sadar akan jati dirinya sebagai seorang hamba sekaligus sebagai agama yang menjamin kemaslahatan hidup manusia itu sendiri.
Kualitas keimanan dalam Islam selalu dikaitkan dengan amal shalih, sholat dilekatkan dengan mencegah perbuatan keji dan mungkar, puasa beriringan dengan spirit peka terhadap sesama manusia, zakat bertalian dengan kesadaran akan hak-hak fakir miskin, haji dengan spirit kesetaraan manusia dan seterusnya.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah.
Oleh sebab itu, dengan semangat Isra’ Mi'raj tahun ini dan dalam rangka menghadapi ramadhan marilah kita menjadikan sholat sebagai spirit utama untuk membentuk pribadi muslim dalam berbagai segmen kehidupan ke arah yang lebih baik sehingga kita dapat memahami Islam secara Kaafah atau menyeluruh.
Jama’ah Jum’at yang dirahmati Allah subhanahu wata'ala Dengan demikian mudah-mudahan Allah memberikan taufik dan hidayahnya kepada kita semua, memberikan jalan taubat kepada kita semua serta menuntun kita dalam mewujudkan baldatun thayyibatun wa rabbun ghafur di tengah-tengah negeri yang dilanda krisis ini.
Dan juga semoga kita menjadi insan yang betul-betul menjalankan amanah sebagai khalifatullah fil ‘adhi, yang bertugas untuk menjaga kedamaian, perdamaian dan ketentraman. Amin Ya Rabbal Alamin.
2. Menata Spiritualitas Menuju Kesuksesan Dunia Akhirat
Jamaah Jumat yang dirahmati Allah. Segala puji bagi Allah subhanahu wata'ala yang telah memberikan kita semua nikmat Islam, iman, dan kesehatan, sehingga masih bisa mendekatkan diri kepada-Nya melalui ibadah wajib shalat Jumat, serta bisa merasakan indahnya momentum tahun baru sebagaimana yang akan kita hadapi saat ini.
Shalawat dan salam mudah-mudahan terus mengalir kepada junjungan kita, Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, nabi terakhir yang Allah utus sebagai rahmat bagi alam semesta.
Selanjutnya, khatib berwasiat kepada diri khatib sendiri, keluarga, dan semua jamaah yang hadir pada pelaksanaan shalat Jumat di Masjid Istiqlal yang megah ini, untuk selalu meningkatkan ketaatan, dan semangat dalam melaksanakan ketaatan dalam beribadah, serta semangat dalam meninggalkan setiap sesuatu yang tidak diridhai oleh Allah, khususnya pada momentum tahun baru ini. Jangan hanya tahun yang baru, namun harus kita tumbuhkan semangat baru dalam beribadah dan melakukan setiap kebajikan.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah.
Islam tidak melarang hambanya untuk mengekspresikan kegembiraan, kesenangan dan kebahagiaan. Akan tetapi Islam mengajarkan ekspresi kegembiraan tidak boleh membuat seseorang lupa pada Allah subhanahu wata'ala.
Kegembiraan juga tidak boleh di ekspresikan dengan melakukan hal-hal yang dilarang oleh ajaran Islam; seperti melakukan kegiatan yang bertentangan dengan syariat Islam, atau menghambur hamburkan dana untuk sesuatu yang menyenangkan semata, tidak ada manfaat yang dapat dipetik, hanya mengikuti hawa nafsu. Karena hal itu termasuk tabdzir:
إِنَّ الْمُبَذِّرِيْنَ كَانُوْا اِخْوَانَ الشَّيَاطِيْنِ
Oleh karena itu, pada setiap malam pergantian tahun baik tahun Hijriyah maupun tahun Miladiyah, Masjid Istiqlal senantiasa menyelenggarakan Malam Muhasabah dan Qiyamullail, dipimpin langsung oleh Imam Besar Masjid Istiqlal serta para Imam dan Mu’adzin, mengajak umat Islam memanfaatkan kesempatan tersebut untuk lebih mendekatkan diri kepada Sang Khaliq, memohon hidayah dan taufiq-Nya.
Ini merupakan ekspresi kegembiaraan seorang Muslim, yang senantiasa berupaya mendekat kepada Allah subhanahu wata'ala baik pada waktu gembira maupun sedih.
Spirit tahun baru tahun bagi umat Islam dijadikan momentum untuk memotivasi diri sendiri dan umat, untuk menumbuhkan semangat semangat baru untuk semakin meningkatkan kualitas ibadah dan kebajikan, sebab orang muslim sejati adalah orang yang harinya lebih baik dari harihari sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang disampaikan oleh Rasulullah dalam sebuah hadits:
مَنْ كَانَ يَوْمُهُ خَيْرًا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ رَابِحٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ مٍثْلَ أَمْسِهِ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ. وَمَنْ كَانَ يَوْمُهُ شَرًّا مِنْ أَمْسِهِ فَهُوَ مَلْعُوْنٌ
Artinya, “Barang siapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang beruntung. Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka ia (tergolong) orang yang merugi. Dan, barang siapa yang hari ini lebih buruk dari hari kemarin, maka ia orang yang dilaknat (celaka)” (HR. Al-Hakim).
Hadits ini memberikan pengertian perihal pentingnya meningkatkan semangat baru dalam menjalani hari-hari yang baru, termasuk juga dengan tahun baru. Jika hari tahun baru ini lebih baik dari hari dan tahun sebelumnya, maka ia tergolong orang-orang yang beruntung.
Jika sama, maka sungguh hanya kerugian yang ia dapatkan. Dan, jika lebih buruk, maka akan menjadi hari dan tahun yang dilaknat karena tidak bisa mengambil manfaat dan keberkahan di dalamnya.
Jamaah Jum’ah yang berbahagia. Dalam riwayat yang lain disebutkan, bahwa orang-orang yang harinya justru lebih buruk dari hari-hari sebelumnya, maka tidak ada kebaikan selain kematian untuknya.
Riwayat ini sebagaimana dikutip oleh Syekh Abdurrahman as-Sakhawi dalam kitab Al-Maqashidul Hasanah, juz I, halaman 631. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ اِسْتَوَى يَوْمَاهُ فَهُوَ مَغْبُوْنٌ وَمَنْ كَانَ آَخِرُ يَوْمَيْهِ شَرًّا فَهُوَ مَلْعُوْنٌ وَمَنْ لَمْ يَكُنْ فِي الزِّيَادَةِ فَهُوَ فِي النُّقْصَانِ وَمَنْ كَانَ فِي النُّقْصَانِ فَالْمَوْتُ خَيْرٌ لَهُ وَمَنْ اِشْتَاقَ إِلَى الْجَنَّةِ سَارَعَ فِي الْخَيْرَا تِ
Artinya, “Barangsiapa yang kedua harinya (saat ini dan kemarin) sama, maka ia (tergolong) orang yang rugi. Barangsiapa yang dua hari terakhirnya lebih buruk, maka ia terlaknat.
Barangsiapa yang tidak berada pada peningkatan, maka ia berada pada defisit .
Barang siapa yang berada pada keadaan defisit, maka kematian lebih baik baginya. Dan, barangsiapa yang merindukan surga, maka ia akan cepat-cepat dalam melakukan kebaikan” (HR. ad-Dailami).
Syekh Nuruddin Al-Harawi Al-Qari (wafat 1014 H) dalam kitab Mirqatul Mafatih Syarh Misykatul Mashabih, juz IV, halaman 352, menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan ziyadah (peningkatan-penambahan) pada hadits di atas adalah dengan bertambahnya ilmu, ibadah, dan segala bentuk kebaikan.
Bukan bertambahnya dunia dan jabatan. Sebab, keberuntungan selalu berpihak pada orang yang meningkatkan ketaatan dan kebaikannya, bukan dunia dan jabatannya.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah. Berkaitan hal ini, Allah subhanahu wata'ala memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk selalu introspeksi perihal apa yang akan menjadi bekalnya menuju akhirat. Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨
Artinya, “Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat), dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan” (QS. al-Hasyr : 18).
Imam al-Qusyairi (wafat 465 H) dalam kitab tafsir Lathaiful Isyarat atau Tafsir Al-Qusyairi menjelaskan bahwa ayat di atas memiliki dua arti ketakwaan, yaitu: meningkatkan ketakwaan dengan cara memikirkan balasan yang akan didapatkan kelak di akhirat atas perbuatan baik dan buruk yang dilakukan di dunia; meningkatkan ketakwaan dengan cara mawas diri dan introspeksi, yaitu dengan memaksimalkan waktunya untuk menambah ketaatan. Dengan kata lain, menumbuhkan semangat baru di hari-hari baru yang dihadapi oleh setiap orang.
Cara menumbuhkan semangat baru di hari yang baru adalah dengan memperbaiki hari-harinya yang baru dengan ketaatan dan kebajikan.
Orang tidak bisa memperbaiki harinya kecuali dengan cara introspeksi atas apa yang dilakukan di harihari sebelumnya. Demikian khutbah menumbuhkan semangat baru di tahun baru pada siang hari ini.
Semoga bermanfaat dan membawa berkah bagi kita semua, serta bisa menjadi penyebab untuk meningkatkan ibadah, kebajikan, ketakwaan, keimanan, dan menjauhi segala larangan. Jamaah Jum’ah yang dimuliakan Allah.
Hari demi hari yang kita titi, harus menuju mendekat kepada Allah subhanahu wata'ala dengan cara meraih hidayah dan taufiq Allah subhanahu wata'ala.
Agar semakin hari semakin berkualitas amal shalih kita dan hidup kita semakin dipenuhi amal shalih dan kita menjadi orang-orang shalih di mata Allah subhanahu wata'ala.
Jika demikian maka Allah akan berikan kepada kita semua kehidupan yang baik, baik di dunia maupun di akhirat. Mari kita sima’ firman Allah subhanahu wata'ala Surat An-Nahl ayat 97 :
مَنْ عَمِلَ صَالِحًا مِّنْ ذَكَرٍ اَوْ اُنْثٰى وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَلَنُحْيِيَنَّهٗ حَيٰوةً طَيِّبَةًۚ وَلَنَجْزِيَنَّهُمْ اَجْرَهُمْ بِاَحْسَنِ مَا كَانُوْا يَعْمَلُوْنَ ٩٧
Artinya, “Barang siapa mengerjakan kebajikan, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka pasti akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan Kami beri balasan dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan” (QS. an-Nahl : 97).
Satu poin lagi yang juga sangat penting, adalah kita yakinkan bahwa kebaikan kebaikan yang kita lakukan itu benar benar baik, jangan sampai kita termasuk orang orang yang merasa dirinya melaksanakan kebaikan, namun ternyata dalam kesesatan, sebagaimana firman Allah subhanahu wata'ala:
اَلَّذِيْنَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُوْنَ اَنَّهُمْ يُحْسِنُوْنَ صُنْعًا ١٠٤
Artinya, “(Yaitu) orang-orang yang sia-sia usahanya dalam kehidupan dunia, sedangkan mereka mengira bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya” (QS. al-Kahfi : 104).
3. Khutbah Jumat: Membangun Solidaritas Keumatan, Kebangsaan dan Kemanusiaan melalui Olahraga
Ma’asyiral Muslimin, Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah SWT, Pada bulan Desember 2022 ini, ada sebuah momentum yang perlu kita maknai secara baik dan ambil hikmahnya secara mendalam.
Momentum piala dunia yang menyita perhatian banyak seluruh bangsa, hendaknya kita bisa ambil hikmahnya bahwa olahraga adalah bagian dari ajaran agama yang perlu praktekkan, serta olah raga, khususnya sepak bola bisa memberikan ajaran kebersamaan dan ukhuwwah atar sesame ummat Islam dan bangsa-bangsa.
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah SWT.
Olahraga menyehatkan! Inilah ungkapan masyarakat, artinya masyarakat meyakini benar manfaaat olahraga bagi kesehatan oleh karena itu hakikat olahraga masyarakat adalah olahraga kesehatan sehingga olahraga dalam kehidupan manusia sangatlah penting, baik dalam pertumbuhan fisik maupun dalam perkembangan mental/ruhaninya.
Kebutuhan akan olahraga bagi manusia menjadi sebuah keniscayaan, karena sejak manusia lahir bahkan masih dalam kandungan ibunya olahraga berkontribusi besar. Begitu pula pada saat anak-anak, remaja dewasa ataupun pada saat lansia, olahraga bak sebuah bengkel service dalam memelihara kendaraan seseorang.
Agama Islam dan olahraga memiliki korelasi atau hubungan dikarenakan setiap olahraga selalu mengedepankan sportifitas yang tak lain sangat berhubungan erat dengan kejujuran, kejujuran sangat perlu ditanamkan dalam setiap insan olahraga demi menjaga citra sportif dalam setiap pertandingan.
Olahraga juga harus memiliki insan-insan yang bertakwa dan beriman dikarenakan semua kegiatan olahraga terutama dicabang-cabang tertentu memerlukan kejujuran, selain kejujuran diperlukan juga rasa tanggung jawab dalam setiap hal.
Olahraga berkaitan juga dengan ibadah karena kita berolahraga agar badan sehat dan jika badan sehat kita dapat menjalankan ibadah dengan baik, sehingga kita tidak hanya memikirkan keadaan jasmaniah saja tetapi juga rohaniah seperti kata orang bijak “mensana in corporesano” artinya didalam tubuh yang sehat terdapat jiwa yang sehat.
Ada kesan yang menyatakan bahwa agama Islam “mengharamkan” olahraga sehingga negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim, tidak memiliki prestasi menonjol di bidang olah raga. Padahal, sesungguhnya tidak demikian.
Nabi Muhammad saw, menurut sebuah hadis riwayat Imam Bukhari, menganjurkan para sahabatnya (termasuk seluruh umat Islam yang harus mengikuti sunnahnya) agar mampu menguasai bidang-bidang olahraga.
Terutama berkuda, berenang, dan memanah.
Tiga jenis olah raga yang dianjurkan Nabi Muhammad saw itu, dapat dianggap sebagai sumber dari semua jenis olah raga yang ada pada zaman sekarang.
Ketiganya, mengandung aspek kesehatan, keterampilan, kecermatan, sportifitas, dan kompetisi.
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah SWT,
Islam memandang bahwa kesehatan itu sangat penting karena kesehatan merupakan hak asasi manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia dikarenakan Islam adalah agama yang sempurna lagi menyeluruh, yang meliputi semua aspek kehidupan manusia.
Sebagaimana firman Allah Subhanah wa Ta’ala dalam Al-Qur’an surat Al-Maidah ayat 3,
الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الإسْلامَ دِينًا
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah kuridhai Islam itu menjadi agama bagimu” (QS. al-Maidah: 3)
Islam mendukung pemeluknya untuk menjadi kuat dan sehat baik secara rohani maupun jasmani. Islam menunjukkan keutamaan kekuatan dan kesehatan sebagai modal besar di dalam beramal saleh dan beraktivitas di dalam urusan agama dan urusan dunia seorang muslim.
Allah Subhanah wa Ta’ala berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 247,
قَالَ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَاهُ عَلَيْكُمْ وَزَادَهُ بَسْطَةً فِي الْعِلْمِ وَالْجِسْمِ
“(Nabi mereka) berkata, “Sesungguhnya Allah Subhanah wa Ta’ala telah memilihnya menjadi rajamu dan menganugerahinya ilmu yang luas dan tubuh yang perkasa.” (QS. al-Baqarah: 247).
Allah Subhanah wa Ta’ala juga berfirman dalam Al-Qur’an surat Al- Qashash ayat 26,
قَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَا أَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ الأمِينُ
“Karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat fisiknya lagi dapat dipercaya.” (QS. al-Qashash: 26).
Rasulullah SAW bersabda:
“Mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah cintai daripada mukmin yang lemah. Dan pada masing-masingnya terdapat kebaikan. Bersemangatlah terhadap perkara-perkara yang bermanfaat bagimu, dan mohonlah pertolongan kepada Allah, dan janganlah engkau bersikap lemah.” (HR. Muslim).
Kekuatan yang dimaksud dalam Al-Qur’an dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut adalah kekuatan iman dan jasmani (jika bermanfaat untuk iman), sebagaimana perkara yang bermanfaat bagi kita adalah perkara yang bermanfaat untuk urusan dunia kita serta akhirat kita.
Jamaah Jumat yang dimuliakan Allah SWT,
Islam menegaskan pentingnya olahraga untuk menciptakan generasi Rabbani yang kuat dan sehat. Oleh karenanya, Islam mengajarkan setiap muslim untuk mengajarkan anak-anaknya bagaimana cara memanah, berenang, dan berkuda serta jenis olah raga lainya yang bermanfaat untuk kesehatan individu.
Di antara hadits yang menunjukkan pensyariatan memanah adalah hadits dari Uqbah ibn Amir radiallahu ‘anhu, Rasulullah SAW bersabda:
مَنْ عَلِمَ الرَّمْىَ ثُمَّ تَرَكَهُ فَلَيْسَ مِنَّا أَوْ قَدْ عَصَى
“Barangsiapa yang menguasai memanah kemudian meninggalkannya, maka ia bukan golongan kami, atau beliau bersabda, ‘Maka ia telah berbuat maksiat.’ “ (HR. Muslim).
Ada banyak hadits yang menunjukkan perhatian Islam terhadap berbagai aktivitas olah tubuh. Contohnya seperti ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyaring para pemuda yang akan mengikuti peperangan beliau dengan adu kekuatan (gulat).
Atau ketika beliau yang diriwayatkan dalam sirah Ibnu Ishaq rahimahullah- mengalahkan Rukanah, seorang ahli gulat, sehingga ia bersedia masuk Islam.
Diriwayatkan pula bahwa beliau memiliki sembilan buah pedang, baju baja, tameng, dan pisau. Demikian juga kisah Rasulullah SAW saat mengajak Aisyah radiallahu ‘anha lomba lari, serta riwayat beliau ketika melihat orang-orang Habasyah (Ethiopia) bermain tombak di masjid dan masih banyak lagi riwayat yang selainnya.
Para pendahulu kita dari generasi awal Islam, menunjukkan pentingnya membentuk jasmani yang kuat sebagaimana kita harus terus memupuk keimanan kita dengan menuntut ilmu agama dan beramal saleh. Umar bin Al-Khaththab radiallahu ‘anhu berkata:
عَلِّمُوْا أَبْنَائَكُم السِّبَاحَةَ وَالرِّمَايَةَ وَرُكُوْبَ الخَيْلِ
“Ajarilah anak-anak kalian berenang, memanah, dan menunggang kuda.”
Semua contoh aktivitas tersebut adalah dalam rangka mempersiapkan dan melatih jasmani kita agar senantiasa kuat dan sehat di dalam mengemban tugas-tugas yang Allah Subhanah wa Ta’ala berikan kepada kita.
Di dalam buku ‘Nida’ ilal Murabbiyyin’, Asy-Syaikh Muhammad Jamil Zainu rahimahullah ketika mengomentari hadits, “Seorang mukmin yang kuat lebih baik dan lebih Allah Subhanah wa Ta’ala cintai daripada mukmin yang lemah”, beliau mengatakan, “Karena mukmin yang kuat jasmaninya akan lebih kuat dan lebih bersemangat di dalam menunaikan ibadah badaniyah seperti shalat, puasa, haji, jihad, dan yang selainnya.”
Beberapa anggota Majelis Ulama Indonesia mempunyai pandangan yang sama tentang hukum olahraga menurut ajaran Islam, bahwa hukum olahraga adalah SUNNAH atau dianjurkan melakukannya menurut ajaran Islam selama pelaksanaannya menurut ajaran Islam.
Tetapi apabila dalam pelaksanaannya bertentangan dengan syariat Islam seperti memakai pakaian yang membuka aurat dan menimbulkan nafsu seksual serta menimbulkan perbuatan maksiat, maka hukumnya adalah haram.
Sementara sebahagian ulama mempunyai pandangan bahwa hukum olahraga adalah mubah atau di bolehkan, selama pelaksanaannya menurut ajaran Islam, tetapi apabila situasi dan kondisi dari pelaksanaan olahraga itu berubah, maka hukumnya juga berubah sesuai dengan stuasi dan kondisi dari orang yang melakukannya dan pelaksanaan olahraga itu sendiri.
Dengan demikian maka hukum olahraga bisa menjadi wajib, sunat, haram, makruh dan mubah sesuai dengan situasi dan kondisinya,
Apakah olahraga bermudarat? Untuk menjawab itu perlu kita pahami bahwa perkataan olahraga dapat diganti dengan bermacam kata benda lain misalnya; Apakah pesawat terbang, mobil, bis, kapal dan sebagainya; berbahaya? Nah untuk pertanyaan ini pasti kita sudah tahu jawabannya! Tetapi apakah karena adanya aspek mudarat dari benda-benda tersebut, lalu benda-benda tersebut dilarang digunakan manusia? Sama sekali tidak! Mengapa? Karena manfaatnya jauh dan bahkan lebih jauh melebihi mudaratnya! Demikian pula halnya dengan olahraga! Walaupun sekali-sekali terjadi kematian mendadak sewaktu orang melakukan olahraga, tetapi masih sangat banyak yang tetap melakukan olahraga! Mengapa? Karena mereka memahami dan meyakini benar akan manfaat olahraga.
Kedekatan antara nilai, peran, dan kedudukan agama (Islam) dalam olahraga dan pendidikan jasmani tidak terbantahkan lagi.
Bahkan dalam seluruh aspek kehidupan peran agama sangatlah dominan. Dalam kerangka olahraga, seorang muslim sepantasnya menempatkan olahraga sebagai bagian dari bentuk beribadah kepada Allah dengan keyakinan bahwa apa yang diperbuat semata-mata mengharap ridho Allah.
Jamaah Jumat yang Dimuliakan Allah SWT.
Poin terakhir, hendaknya dengan olah raga, khususnya Piala Dunia yang menjadi perhatian semua bangsa saat ini, menjadi sarana untuk membanhun solidaritas keislaman, kebangsaan dan kemanusiaan.
Ukhuwah islamiyah merupakan pola hubungan antara sesama manusia dalam konteks keagamaan dan keislaman yang berarti persaudaraan sesama muslim.
Persaudaraan ini tumbuh dan berkembang karena kesamaan akidah, baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.
Pola hubungan ini meliputi seluruh aspek kehidupan baik ibadah, muamalah, munakahat, mu‘âsyarah. Oleh kita karena itu, melalui mimbar ini, kita menyeru seluruh umat Islam di dunia, di Yaman, di Libya, di Afganistan dan lainnya untuk berhenti berkonflik, berhenti saling berperang karena sesungguhnya umat Islam semuanya bersaudara انما المومنون اخوة..
Sedangkan ukhuwah wathaniyah adalah pola hubungan antar sesama manusia yang berkaitan dengan ikatan kebangsaan dan kenegaraan.
Pola hubungan ini mencakup aspek yang bersifat muamalat (kemasyarakatan, kebangsaan, kenegaraan). Di sinilah pentingnya Pemerintah bersama masyarakat kompak dalam menghadapi krisis yang menimpa kita saat ini yaitu wabah Covid 19.
Dan yang terpenting adalah Ukhuwah basyariyah, yaitu pola hubungan antara manusia yang tumbuh dan berkembang atas dasar rasa kemanusiaan yang bersifat universal.
Dengan demikian, janganlah kita saling menyakiti dan melakukan kekerasan satu sama lain karena perbedaan latar belakang etnis dan keyakinan. Marilah kita menciptakan rasa damai dan ketentaraman atas nama persaudaan sesama manusia.
4. Khutbah Jumat: Jadikan Amalan Kita Bernilai Ibadah
Jamaah Jumat rahimakumullah.
Alhamdulillah. Segala puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah subhanahu wata'ala yang dengan nikmat dan hidayahnya kita bisa berkumpul dimesjid Istiqlal yang mulia ini untuk melaksanakan ibadah shalat jumat.
Shalawat dan salam marilah selalu kita sampaikan kepada nabi yang agung, nabi yang mulia yakni baginda Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam yang jika bukan karenanya tidaklah dunia dan isinya tercipta, jika bukan karenaya tidak lah umat manusia akan masuk syurga.
اللهـم صلى على سيدنا محمد و على اله واصحا به وسلم
Mudah-mudahan kita semua mendapatkan syafaatnya dihari kiamat nanti. Amiin.
Kemudian pada kesempatan ini, khatib berpesan marilah kita senantiasa meningkatkan keimanan dan ketakwaan kita kepada Allah dengan menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya.
Ketakwaan yang tidak hanya diucapkan pada lisan namun juga ditunjukkan dengan perbuatan. Ketakwaan yang akan menjadikan kita mulia disisi Allah.
... اِنَّ اَكْرَمَكُمْ عِنْدَ اللّٰهِ اَتْقٰىكُمْ ۗ ...
Artinya : “Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling bertakwa” (QS. al-Hujurat: 13).
Jamaah Jumat rahimakumullah. Saat ini kita telah memasuki bulan terakhir tahun 2022 yang artinya tidak lama lagi kita akan memasuki tahun baru 2023.
Bertambahnya tahun, bertambahnya usia, maka pada hakikatnya semakin bertambah dekat pula kita dengan kematian. Sudah siapkah kita menghadapi kematian.
Sudah cukup kah bekal kita untuk menghadap Allah. Maka dari itu, perbanyak lah amal ibadah, perbanyak lah berbuat kebaikan, jauhi segala dosa dan maksiat sebagai bekal nantinya kita menghadap Allah.
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوا اتَّقُوا اللّٰهَ وَلْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَّا قَدَّمَتْ لِغَدٍۚ وَاتَّقُوا اللّٰهَ ۗاِنَّ اللّٰهَ خَبِيْرٌ ۢبِمَا تَعْمَلُوْنَ ١٨
Artinya: "Wahai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap orang memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat). Bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Mahateliti terhadap apa yang kamu kerjakan." (QS. al-Hasyar: 18).
Jamaah Jumat rahimakumullah.
Untuk mempersiapkan bekal menghadapi kematian kita harus memperbanyak amal ibadah kepada Allah. Baik itu amalan yang sifatnya wajib maupun sunnah, amalan yang dikerjakan harian, mingguan, bulanan maupun tahunan tanpa melihat besar dan kecilnya amalan tersebut selama kita telah mukallaf, masih sehat dan tidak memiliki udzur maka amalan tersebut harus kita kerjakan.
Namun amalan yang kita kerjakan janganlah sampai sia-sia. Sungguh rugi jika kita telah mengorbankan waktu, tenaga bahkan biaya namun amalan yang dikerjakan sia-sia tanpa bernilai ibadah dan tanpa pahala.
Untuk itu, agar amalan yang kita kerjakan tetap terhitung sebagai ibadah dan bernilai pahala maka ada beberapa hal yang mesti kita perhatikan.
1. Niat
Niat adalah sesuatu yang kita maksudkan dari apa yang kita kerjakan yang terlintas dan tertanam didalam hati kemudian terwujud dalam bentuk perbuatan.
Niat menjadi dasar utama atas perbuatan kita. Begitu pentingnya peran niat sehingga satu amalan yang sama bisa menjadi besar atau kecil, bernilai ibadah atau tidak, menghasilkan pahala atau sia-sia tergantung pada niat orang yang melakukannya.
اِنَّمَا الأ عمَال بالنِّيَّاتِ وإِنَّما لِگُلِّ امريءٍ ما نَوَى
Artinya : “Sesungguhnya setiap perbuatan tergantung niat dan setiap orang akan mendapatkan seperti apa yang dia niatkan” (HR. Bukhari dan Muslim).
Oleh karena itu, agar semua amalan yang kita kerjakan bernilai ibadah disisi Allah serta mendapatkan pahala maka hal pertama yang harus kita lakukan adalah memperbaiki niat. Niat yang baik tentu akan menjadikannya bernilai ibadah namun sebaliknya niat yang buruk justru akan merusak nilai dari amalan tersebut.
Sebagai contoh: orang yang shalat dengan niat menjalankan kewajiban dan melaksanakan perintah Allah maka amal nya akan dianggap sebagai ibadah namun sebaliknya jika ia shalat dengan niat riya untuk diperlihatkan kepada orang lain bahwa ia orang yang rajin shalat maka niat itu akan merusak amalnya.
Jamaah Jumat rahimakumullah.
Adapun yang kedua yang harus kita perhatikan adalah keikhlasan dalam mengerjakan segala amalan. Niat memang penting karena menajadi dasar dalam berbuat namun dalam pelaksanaanya haruslah dibarengi dengan keikhlasan.
Ikhlas adalah dimana saat kita mengerjakan sesuatu semata-mata karena Allah, tanpa paksaan, tanpa tekanan dan tanpa mengharapkan balasan dari orang lain kecuali balasan dari Allah subhanahu wata'ala.
وَّادْعُوْهُ مُخْلِصِيْنَ لَهُ الدِّيْنَ ەۗ كَمَا بَدَاَكُمْ تَعُوْدُوْنَۗ ٢٩ ...
Artinya : “Dan sembahlah Dia dengan mengikhlaskan ibadah semata-mata hanya kepada-Nya. Kamu akan dikembalikan kepada-Nya sebagaimana kamu diciptakan.” (QS. al-A'raf: 29)
Niat dan ikhlas adalah dua perbuatan hati yang orang lain tidak akan tahu kecuali kita sendiri. Kita sendirilah yang bisa menentukan apakah niat kita baik atau buruk, apakah kita ikhlas atau tidak. Maka jangan berkecil hati dengan ibadah yang kita lakukan.
Ketika kita miskin, jangan berkecil hati jika tidak mampu bersedekah sebanyak orang kaya. Ketika kita hanya orang biasa, jangan berkecil hati jika ibadah kita tidak sebanyak orang alim.
Perbaiki saja niat dan keikhlasan dalam beramal maka hanya Allah lah yang tahu yang menentukan balasan kepada hamba-Nya.
Imam Al-Ghazali pernah menceritakan didalam kitabnya Ihya Ulumuddin:
Pada suatu masa terdapat kaum yang mentuhankan pepohonan, mereka menyembah dan memujinya. Diantara kaum tersebut ada seorang ahli ibadah yang rajin beribadah kepada Allah.
Maka pada suatu hari dengan perasaan marah atas perbuatan kaumnya ia hendak menebang pohon yang menjadi sesembahan tersebut.
Di tengah perjalanan ia di hadang oleh iblis yang menjelma menjadi seorang lelaki tua. Iblis itu pun menggodanya untuk tidak menebang pohon tersebut bahkan iblis menantang walaupun ia menebang pohon itu maka kaumnya tetap akan mencari pepohonan yang lain.
Mendengar omongan iblis tersebut, ahli ibadah itupun marah dan memukul iblis hingga jatuh tersungkur. Namun iblis tidak menyerah, ia tetap menggoda dengan bujuk rayunya.
Iblis berkata. Wahai ahli ibadah, engkau bukan seorang nabi dan engkau hidup dalam kemiskinan, tinggalkan sajalah niatmu untuk menebang pohon pasti nanti akan ada orang lain yang menebangnya.
Aku menjamin jika engkau tetap beribadah maka akan ada uang yang datang kepada mu. Ahli ibadah itupun tergoda.
Akhirnya ia pulang dan beribadah kepada Allah dan sesuai janji iblis pada paginya ia menemukan uang dua dinar didepan rumahnya.
Hal ini terjadi selama dua hari namun pada hari yang ketiga iblis tidak lagi menepati janji. Ia tidak lagi menemukan uang di depan rumahnya. Hal ini membuat ia marah dan kembali pergi untuk menebang pohon sesembahan.
Seperti sebelumnya kali ini pun ia dihadang oleh iblis dan dengan perasaan marah ia memukul iblis tersebut namun yang terjadi sungguh diluar dugaan ternyata malah ia yang kesakitan dan jatuh tersungkur.
Ahli ibadah itu keheranan dan ia bertanya mengapa kemarin dia menang sedangkan hari ini justru ia yang kalah. Iblis berkata, kemarin engkau menang karena niatmu benar dan ikhlas untuk menegakkan agama Allah namun hari ini niatmu sudah rusak karena kemarahanmu muncul setelah tidak lagi mendapatkan uang dariku.
Jamaah Jumat rahimakumullah
Begitulah, betapa pentingnya niat dan keihlasan kita dalam beramal. Semoga kita semua menjadi hamba Allah yang taat dalam menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangannya dengan niat yang baik serta penuh keikhlasan. Aamiin.
5. Khutbah Jumat: Bahaya Hasad bagi Peradaban Manusia
Khutbah Pertama
اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِيْ أَمَرَناَ أَنْ نُصْلِحَ مَعِيْشَتَنَا لِنَيْلِ الرِّضَا وَالسَّعَادَةِ، وَنَقُوْمَ بِالْوَاجِبَاتِ فِيْ عِبَادَتِهِ وَتَقْوَاهُ
أَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ، وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ لَا نَبِيَّ بَعْدَهُ. اللهم صَلِّ وَسَلِّمْ وَبَارِكْ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ المُجَاهِدِيْنَ الطَّاهِرِيْنَ، أَمّا بَعْدُ:
فَيَا عِبَادَ الله اُوْصِيْنِي نَفْسِي وَإِيَّاكُمْ بِتَقْوَى اللهِ، فَقَدْ فَازَ الْمُتَّقُوْنَ. قَالَ اللهُ تَعَالَى فِيْ كِتَابِهِ الْكَرِيْم، بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ. يَا أَيُّهَا الّذين آمنوا اتَّقُوْا اللهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلَا تَمُوْتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُوْنَ
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Pertama kali, marilah kita panjatkan puji syukur kepada Allah Swt yang telah menganugerahkan nikmat iman dan Islam serta kesehatan sehingga kita dapat menghadiri sidang Jumat yang penuh berkah ini.
Shalawat serta salam semoga tercurah ke pangkuan junjungan kita Nabi besar Muhammad Saw, beserta keluarga, para sahabat, dan orang-orang beriman hingga akhir zaman.
Mengawali khutbah Jumat kali ini, khatib mengingatkan kita semua, khususnya diri khatib sendiri, agar senantiasa meningkatkan takwa kepada Allah Swt dengan sebenar-benar takwa.
Yaitu, menjalankan seluruh perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Takwa adalah “jalan terang” menuju ke hadirat-Nya, sehingga kita akan menemukan nilai-nilai kebajikan dan kemuliaan sejati, baik di dunia maupun di akhirat kelak.
Sidang Jumat yang dimuliakan Allah
Manusia adalah makhluk unik dan istimewa. Berbeda dengan makhluk-makhluk lainnya, manusia dianugerahi unsur-unsur immaterial yang lengkap, yaitu: ruh, akal, hati, dan nafs (syahwat dan ghadlab) yang terbentuk dalam satu kesatuan yang disebut jiwa (soul). Dari komponen immaterial ini, manusia hakikatnya adalah sebagai makhluk spiritual. Masing-masing unsur tersebut memiliki fungsi yang berbeda.
Ruh memiliki sifat yang suci, cenderung kepada kesejatian (hakikat) dan lebih dekat dengan Allah. Akal berfungsi untuk berfikir, mengingat, menghitung, dan berlogika.
Hati berfungsi untuk meyakini (beriman), mencintai, membenci, empati, dan hal-hal yang berhubungan dengan rasa. Sedangkan nafsu merupakan energi jiwa yang berpotensi pada kesenangan dan kemarahan (nafs al-ammarah).
Bagi yang mampu mengendalikan “jiwa tirani” (al-nafs al-ammarah) dengan selalu mendekatkan diri kepada Allah, maka ia akan menjadi pribadi yang utuh.
Sebaliknya, jika seseorang dikendalikan oleh jiwa tirani dengan memenuhi kesenangan-kesenangan dasar (pleasure principle), maka ia akan menjadi pribadi yang pincang.
Sebagai makhluk spiritual, manusia seharusnya mampu membersihkan hatinya dengan melakukan latihan-latihan kebaikan untuk melawan kecenderungan nafsu rendah yang menyukai dosa dan kemaksiatan.
Sidang Jumat yang dirahmati Allah
Di dalam jiwa manusia, sesungguhnya ada unsur energi negatif yang dapat menghancurkan diri, lingkungan, dan peradaban, yaitu “penyakit hati” atau “amradlul qulub” yang menimbulkan sifat sangat buruk.
Imam Al-Ghazali dalam kitab Bidayat Al Hidayah menuturkan bahwa ada tiga sifat hati yang sangat berbahaya, dimana sifat hati tersebut selalu muncul dari zaman ke zaman.
Tiga sifat hati tersebut akan membawa kepada kebinasaan diri dan penyebab dari sifat-sifat tercela lainnya, yaitu: hasad (iri hati), riya (pamer), dan ujub (angkuh, sombong atau berbangga diri).
Dari ketiga penyakit hati tersebut yang memiliki dampak paling dahsyat adalah “hasad” atau dengki. Hasad adalah klaster problem jiwa yang memiliki dampak luar biasa bagi kehidupan diri, lingkungan, masyarakat, bahkan peradaban itu sendiri.
Betapa banyak perkelahian, percekcokan, dan peperangan fisik dengan saling membunuh dan meniadakan, diakibatkan oleh munculnya sikap dengki.
Menurut Asy-Sya’rawi, penyakit jiwa bernama “hasad” benar-benar nyata. Al-Qur’an sendiri dengan jelas menyebut sifat ini. Dalam Alquran disebutkan tentang sikap sebagian ahli kitab terhadap Rasulullah Saw.
اَمْ يَحْسُدُوْنَ النَّاسَ عَلٰى مَآ اٰتٰىهُمُ اللّٰهُ مِنْ فَضْلِهٖۚ
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) karena karunia yang telah diberikan Allah kepadanya? (QS: an-Nisa: 54)
Demikian juga Rasulullah Saw menyebut dengan jelas agar siapapun menghindari penyakit hati ini:
اِياَّ كُم وَالحَسَدَ فَاِنَّ الْحَسَدَ يَاْ كُلُ الْحَسَنَاتِ كَمَا تَاْ كُلُ النَّارُ الحَطَبَ
Artinya: ”Jauhkanlah dirimu dari hasad karena sesungguhnya hasud itu memakan kebaikan-kebaikan sebagaimana api memakan kayu-bakar.” (HR. Abu Dawud).
Hasad adalah kejahatan energi tersembunyi yang dapat membahayakan manusia. Allah menyuruh kita untuk meminta perlindungan Allah darinya: “Dan dari kejahatan orang yang dengki apabila dia dengki” (Q.S. Al-Falaq: 5)
Hasad dapat dianalogikan sebagai suatu benda yang tidak terlihat secara kasat mata. Namun keberadaannya justru memiliki pengaruh dan dampak yang luar biasa serta bahaya yang lebih ganas dibandingkan dengan sesuatu yang dapat terlihat mata.
Meski hasad tidak terlihat secara kasat mata, namun efek terhadap jiwa dan tatanan sosial sangat nyata.
Secara psikologi, hasad memiliki dampak, diantaranya:
1. Membentuk jiwa yang tidak mau mensyukuri atas nikmat yang diberikan oleh Allah (kufur nikmat).
2. Menyiksa diri sendiri karena hatinya tak tenang yang disebabkan munculnya rasa tidak nyaman atas kebahagiaan orang lain.
3. Munculnya ghibah, fitnah dan sebagainya yang dapat menimbulkan perpecahan dalam keluarga dan ikatan persaudaraan sesama.
4. Munculnya kebencian dan permusuhan yang dapat menimbulkan kerusakan dalam jangka waktu yang tak terbatas.
Imam Ahmad dan at-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari az-Zubair bin al-Awwam ra dari Nabi Saw, beliau bersabda:
دَبَّ إِلَيْكُمْ دَاءُ الْأُمَمِ قَبْلَكُمْ: اَلْحَسَدُ وَالْبَغْضَاءُ ، وَالْبَغْضَاءُ هِيَ الْحَالِقَةُ ، حَالِقَةُ الدِّيْنِ لاَ حَالِقَةُ الشَّعْرِ، وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لاَ تُؤْمِنُوْا حَتَّى تَحَابُّوْا، أَفَلاَ أُنَبِّئُكُمْ بِشَيْءٍ إِذَا فَعَلْتُمُوْهُ تَحَابَبْتُمْ؟ أَفْشُوا السَّلاَمَ بَيْنَكُمْ
Penyakit umat-umat sebelum kalian telah menyerang kalian yaitu dengki dan benci. Benci adalah pemotong; pemotong agama dan bukan pemotong rambut. Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, kalian tidak beriman hingga kalian saling mencintai. Maukah kalian aku tunjukkan sesuatu yang jika kalian kerjakan maka kalian saling mencintai? Sebarkanlah salam diantara kalian. (HR. Tirmizi)
Sifat hasad (dengki), Al-Ghazali pernah berkisah tentang bahayanya kepada orang lain. Hasad adalah sikap batin yang tidak senang terhadap kebahagiaan orang lain dan berusaha untuk menghilangkannya dari orang tersebut. Menurutnya, hasad adalah cabang dari syukh, yaitu sikap batin yang bakhil untuk berbuat baik.
Ma’asyiral Muslimin rahimakumullah
Hasad atau dengki adalah menginginkan nikmat yang dimiliki orang lain dan menghendaki nikmat tersebut berpindah kepada dirinya.
Hasad berawal dari sikap tidak menerima nikmat yang diberikan Allah kepadanya, karena ia melihat orang lain diberi nikmat yang dianggap lebih besar.
Hasad pun bisa timbul bila seseorang menganggap dirinya lebih berhak mendapatkan nikmat dibanding orang lain.
Baca juga: Doa Agar Lulus Ujian Sekolah Lengkap Tulisan Latin Mudah Dibaca, Agar Diberikan Hasil Terbaik
Pada hakikatnya, penyakit ini mengakibatkan si penderita tidak rela atas qadha’ dan qadar Allah, sebagaimana perkataan Ibnul Qayyim ra: “Sesungguhnya hakikat hasad adalah bagian dari sikap menentang Allah karena ia (membuat si penderita) benci kepada nikmat Allah atas hamba-Nya; padahal Allah menginginkan nikmat tersebut untuknya. Hasad juga membuatnya senang dengan hilangnya nikmat tersebut dari saudaranya, padahal Allah benci jika nikmat itu hilang dari saudaranya. Jadi, hasad itu hakikatnya menentang qadha’ dan qadar Allah”. (Al-Fawa’id, hal. 157).
Dampak hasad sungguh luar biasa. Hadis yang diriwayatkan Abu Dawud tersebut menyebutkan bahwa hasad bisa menghancurkan seluruh catatan amal saleh.
Hasad pun bisa menimbulkan kebencian, sehingga ia sulit berbuat kebaikan pada orang yang ia dengki. Pada saat yang sama ia pun akan sulit menerima kebaikan yang diberikan orang itu.
Orang yang hasad akan sangat lelah. Sebab ia tidak pernah puas dengan nikmat yang telah Allah karuniakan. Pikiran dan hatinya menjadi tumpul karena selalu memikirkan dan cemburu atas kenikmatan orang lain.
Bila hasadnya memuncak akan mendoronya untuk berbuat apapun dengan menghilangkan kenikmatan orang lain, termasuk mencuri, memfitnah, bahkan membunuhnya.
Dampak terpaling besar adalah hancurnya tali persaudaraan dan tumbuh suburnya kebencian.
Dikisahkan, ada seorang raja memerintah di suatu negeri. Pada suatu hari seseorang datang ke istananya dan menasehati Raja, “Balaslah orang yang berbuat baik karena kebaikan yang ia lakukan kepada Baginda.
Tetapi jangan hiraukan orang yang berbuat dengki pada Baginda, karena kedengkian itu sudah cukup untuk mencelakakan dirinya.” Maksud orang itu, hendaknya kita membalas kebaikan orang yang berbuat baik pada kita, namun kita jangan membalas orang yang berbuat dengki dengan kedengkian lagi. Cukup kita biarkan saja.
Hadir di istana itu, seorang yang pendengki. Sesaat setelah orang memberi nasehat pergi, ia menghadap raja dan berkata,
“Tadi orang itu berbicara padaku, bahwa mulut Baginda bau. Jika Baginda tak percaya, panggillah lagi orang itu esok hari.
Jika ia menutup mulutnya, itu pertanda bahwa ia menghindari bau mulut Paduka.” Raja tersinggung dan berjanji akan memanggil si pemberi nasehat esok hari.
Sebelum orang itu dipanggil, si pendengki menghampirinya terlebih dahulu dan mengundangnya untuk makan bersama.
Si pendengki memberi orang itu banyak bawang dan makanan yang berbau tajam, sehingga mulut si penasehat menjadi bau. Keesokan harinya ia dipanggil Raja dan kembali memberikan nasehat yang sama.
Raja lalu berkata, “Kemarilah engkau mendekat.” Orang yang telah memakan banyak bawang itu lalu mendekati Raja dan menutupi mulutnya sendiri karena khawatir aroma mulutnya akan mengganggu sang Raja.
Melihat orang itu menutupi mulutnya, Raja pun berkesimpulan bahwa orang ini sedang bermaksud untuk menghina dirinya. Sang Raja lalu menulis surat dan memberikannya pada orang itu. “Bawalah surat ini kepada salah seorang menteriku,” ucap Raja, “Niscaya ia akan memberimu hadiah.”
Sebetulnya surat yang ditulis Raja ini bukanlah surat utuk pemberian hadiah. Raja sangat tersinggung, karena itu ia menulis dalam surat itu,
“Hai menteriku, jika engkau bertemu dengan orang yang membawa surat ini, penggallah kepalanya. Kemudian bawalah kepala orang ini ke hadapanku.”
Pergilah si pemberi nasehat itu dari istana. Di pintu keluar, ia bertemu dengan si pendengki. “Apa yang dilakukan baginda kepadamu?” Pendengki ingin tahu. “Raja menjanjikanku hadiah dari salah seorang menterinya,” ujar si pemberi nasehat seraya memperlihatkan surat dari Raja. “Kalau begitu biar aku yang membawanya,” kata si pendengki. Akhirnya, orang yang pendengki itulah yang celaka dan mendapat hukuman mati.
Dari uraian tersebut menunjukkan bahwa hasad atau dengki memang betul-betul musuh orang-orang beriman, dan salah satu obat yang dapat menetralisirnya adalah memperbanyak syukur atas nikmat yang kita peroleh, sekecil apapun, untuk menjaga keseimbangan hidup. Bukankah Allah telah menjanjikan bahwa semakin banyak kita bersyukur kepada-Nya, justru Allah akan menambah kenikmatan hingga tak terbatas.
وَاِذْ تَاَذَّنَ رَبُّكُمْ لَىِٕنْ شَكَرْتُمْ لَاَزِيْدَنَّكُمْ وَلَىِٕنْ كَفَرْتُمْ اِنَّ عَذَابِيْ لَشَدِيْدٌ
Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu memaklumkan, “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah (nikmat) kepadamu, tetapi jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka pasti azab-Ku sangat berat.” (QS: Ibrahim: 7)
بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِي وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ مِنَ الْآياَتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. إِنَّهُ هُوَ الْبَرُّ التَّوَّابُ الرَّؤُوْفُ الرَّحِيْمُ
Khutbah Kedua
الحمد للهِ عَلىَ إِحْسَانِهِ وَالشُّكْرُ لَهُ عَلىَ تَوْفِيْقِهِ وَاِمْتِنَانِهِ. وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ اِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أنَّ سَيِّدَنَا مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ الدَّاعِى إلىَ رِضْوَانِهِ. اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وِعَلَى اَلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَسَلِّمْ تَسْلِيْمًا كِثيْرًا. أَمَّا بَعْدُ:
فَياَ اَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوا اللهَ فِيْمَا أَمَرَ وَانْتَهُوْا عَمَّا نَهَى وَاعْلَمُوْا أَنَّ اللهَ أَمَرَكُمْ بِأَمْرٍ بَدَأَ فِيْهِ بِنَفْسِهِ وَثَـنَّى بِمَلآ ئِكَتِهِ بِقُدْسِهِ وَقَالَ تَعاَلَى إِنَّ اللهَ وَمَلآئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلىَ النَّبِى يآ اَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوْا صَلُّوْا عَلَيْهِ وَسَلِّمُوْا تَسْلِيْمًا
اللهُمَّ صَلِّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِ سَيِّدِناَ مُحَمَّدٍ وَعَلَى اَنْبِيآئِكَ وَرُسُلِكَ وَمَلآئِكَةِ اْلمُقَرَّبِيْنَ وَارْضَ اللّهُمَّ عَنِ اْلخُلَفَاءِ الرَّاشِدِيْنَ أَبِى بَكْرٍ وَعُمَر وَعُثْمَان وَعَلِىّ وَعَنْ بَقِيَّةِ الصَّحَابَةِ وَالتَّابِعِيْنَ وَتَابِعِي التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِاِحْسَانٍ اِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ وَارْضَ عَنَّا مَعَهُمْ بِرَحْمَتِكَ يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِيْنَ
اَللهُمَّ اغْفِرْ لِلْمُؤْمِنِيْنَ وَاْلمُؤْمِنَاتِ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ اَلاَحْيآءُ مِنْهُمْ وَاْلاَمْوَاتِ اللهُمَّ أَعِزَّ اْلإِسْلاَمَ وَاْلمُسْلِمِيْنَ وَأَذِلَّ الشِّرْكَ وَاْلمُشْرِكِيْنَ وَانْصُرْ عِبَادَكَ اْلمُوَحِّدِين وَانْصُرْ مَنْ نَصَرَ الدِّيْنَ وَاخْذُلْ مَنْ خَذَلَ اْلمُسْلِمِيْنَ وَ دَمِّرْ أَعْدَاءَ الدِّيْنِ وَاَعْلِ كَلِمَاتِكَ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. اللهُمَّ ادْفَعْ عَنَّا اْلبَلاَءَ وَاْلوَبَاءَ وَالزَّلاَزِلَ وَاْلمِحَنَ وَسُوْءَ اْلفِتْنَةِ وَاْلمِحَنَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ عَنْ بَلَدِنَا اِنْدُونِيْسِيَّا خآصَّةً وَسَائِرِ اْلبُلْدَانِ اْلمُسْلِمِيْنَ عآمَّةً يَا رَبَّ اْلعَالَمِيْنَ.
رَبَّنَا آتِناَ فِيْ الدُّنْيَا حَسَنَةً وَفِيْ اْلآخِرَةِ حَسَنَةً وَقِنَا عَذَابَ النَّارِ. رَبَّنَا ظَلَمْنَا اَنْفُسَنَا وَإنْ لَمْ تَغْفِرْ لَنَا وَتَرْحَمْنَا لَنَكُوْنَنَّ مِنَ اْلخَاسِرِيْنَ
عِبَادَاللهِ ! إِنَّ اللهَ يَأْمُرُ بِاْلعَدْلِ وَاْلإِحْسَانِ وَإِيْتآءِ ذِي اْلقُرْبىَ وَيَنْهَى عَنِ اْلفَحْشآءِ وَاْلمُنْكَرِ وَاْلبَغْي يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَ وَاذْكُرُوا اللهَ اْلعَظِيْمَ يَذْكُرْكُمْ وَاشْكُرُوْهُ عَلىَ نِعَمِهِ يَزِدْكُمْ وَلَذِكْرُ اللهِ أَكْبَر
Baca juga: Contoh Tausiyah/Ceramah Singkat Acara Walimatussafar Haji, Menyentuh dan Penuh Makna, Ada File PDF
Itulah daftar 5 materi khutbah Jumat singkat dan mudah dipahami untuk disampaikan sebelum melaksanakan sholat berjamaah.
Baca artikel dan berita lainnya langsung dari google news
Kumpulan Khutbah Jumat Lengkap
Lengkap Kumpulan Naskah Khutbah Jumat
Naskah Untuk Khutbah Jumat
Naskah Untuk Khutbah Jumat Lengkap
Tribunsumsel.com
Kumpulan Quote Singkat Agar Hati Lapang dan Ikhlas dalam Menghadapi Segala Cobaan dan Ujian |
![]() |
---|
Ayat Alquran Ajakan Bersyukur Tulisan Arab dan Arti, Lain Syakartum Laazidannakum |
![]() |
---|
Materi Khutbah Jumat Hari Kemerdekaan Edisi 8 Agustus 2025, Khidmat dan Tersedia LINK PDF Disini |
![]() |
---|
2 Materi Khutbah Jumat Menyambut Hari Kemerdekaan Edisi 8 Agustus 2025, Khidmat dan Berkesan |
![]() |
---|
Doa Menjenguk Orang Sakit Berdasarkan Hadist, Lengkap Tulisan Latin, Arti dan Cara Membacanya |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.