Rabu Wekasan 2022

Rebo Wekasan Tahun 2022 Jatuh Tanggal Berapa, Ini Penjelasan Hukum dan Amalan dalam Islam

Berikut ini penjelasan Rabu Wekasan Tahun 2022 Jatuh Tanggal Berapa? serta Penjelasan Hukum dan Amalan dalam pandangan Islam

Penulis: Abu Hurairah | Editor: Abu Hurairah
Tribunsumsel
Rebo Wekasan Tahun 2022 Jatuh Tanggal Berapa, Ini Penjelasan Hukum dan Amalan dalam Islam 

TRIBUNSUMSEL.COM - Berikut ini penjelasan Rabu Wekasan Tahun 2022 Jatuh Tanggal Berapa? serta Penjelasan Hukum dan Amalan dalam pandangan Islam

Rebu Wekasan adalah tradisi masyarakat jawa yang sudah berlangsung sejak lama secara turun-temurun.

Rabu Wekasan dilaksanakanpada hari Rabu terkahir di Bulan Safar, dalam Kalender Hijriyah.

Menurut kepercayaan sebagian masyarakat Jawa, Rabo Wekasan adalah waktu turunnya balak atau musibah penyakit, sehingga sering diperingati dengan acara tolak balak.

Adapun Bulan Safar 1444 H/2022 M jatuh pada tanggal 29 Agustus 2022.

Menurut kalender Islam, Rabu Wekasan atau Rabu terakhir Bulan Safar diperkirakan jatuh pada tanggal 21 September 2022 M/24 Safar 1444 H.

rabu wekasan atau rebo wekasan
rabu wekasan atau rebo wekasan ()

Baca juga: Jadwal Siaran Langsung Timnas Indonesia vs Curacao di FIFA Matchday : Nasib Pemain Naturalisasi

Baca juga: Kakanwil Kemenkumham Sumsel Sambangi  Walikota Palembang, ini yang dibahas

Rebo Wekasan adalah Rabu Pamungkas, Arba Mustakmir, atau Arba Musta'mir.

Sejumlah masyarakat percaya di waktu itu akan turun bencana dan sumber penyakit, sehingga harus melaksanakan sejumlah ritual tradisi tolak bala.

Selain masyarakat Jawa, tradisi menganggap Bulan Safar adalah bulan sial juga terjadi di bangsa Arab.

Hal ini dijelaskan dalam Buku Risalah Ahlusunnah Wal Jama'ah An-Nahdliyah, Subaidi, Unisnu Pers 2019 dikutip dari Surya.co.id.

Hukum tentang Rebo Wekasan dalam Islam?

Melansir laman resmi Pondok Pesantren Tebuireng Jombang, Tebuireng Online, dijelaskan A. Muabrok Yasin, Pengasuh Rubrik Tanya Jawab Fiqh Tebuireng online menjelaskan, memang terdapat hadits dla'if (tidak memenuhi syarat sahih) yang menerangkan tentang Rabu terakhir di Bulan Shafar, yaitu:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: آخِرُ أَرْبِعَاءَ فِي الشَّهْرِ يَوْمُ نَحْسٍ مُسْتَمِرٍّ. رواه وكيع في الغرر، وابن مردويه في التفسير، والخطيب البغدادي..

"Dari Ibn Abbas ra, Nabi Saw bersabda: 'Rabu terakhir dalam sebulan adalah hari terjadinya naas yang terus-menerus." HR. Waki' dalam al-Ghurar, Ibn Mardawaih dalam at-Tafsir, dan al-Khathib al-Baghdadi. (dikutip dari Al-Hafidz Jalaluddin al-Suyuthi, al-Jami' al-Shaghir, juz 1, hal. 4, dan al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari, al-Mudawi li-'Ilal al-Jami' al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi, juz 1, hal. 23).

Selain dla'if, hadits ini juga tidak berkaitan dengan hukum (wajib, halal, haram, dll), melainkan hanya bersifat peringatan (at-targhib wat-tarhib).

Sementara hukum meyakini datangnya malapetaka di akhir Bulan Shafar, sudah dijelaskan dalam hadits shahih riwayat Imam Bukhari dan Muslim:

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ إِنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم: قَالَ لَا عَدْوَى وَلَا صَفَرَ وَلَا هَامَةَ. رواه البخاري ومسلم.

"Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah Saw bersabda: "Tidak ada penyakit menular. Tidak ada kepercayaan datangnya malapetaka di bulan Shafar. Tidak ada kepercayaan bahwa orang mati itu rohnya menjadi burung yang terbang." (HR. al-Bukhari dan Muslim).

Menurut al-Hafizh Ibn Rajab al-Hanbali, hadits ini merupakan respon Nabi Saw terhadap tradisi yang brekembang di masa Jahiliyah.

Ibnu Rajab menulis: "Maksud hadits di atas, orang-orang Jahiliyah meyakini datangnya sial pada bulan Shafar. Maka Nabi SAW membatalkan hal tersebut. Pendapat ini disampaikan oleh Abu Dawud dari Muhammad bin Rasyid al-Makhuli dari orang yang mendengarnya. Barangkali pendapat ini yang paling benar. Banyak orang awam yang meyakini datangnya sial pada bulan Shafar, dan terkadang melarang bepergian pada bulan itu. Meyakini datangnya sial pada bulan Shafar termasuk jenis thiyarah (meyakini pertanda buruk) yang dilarang." (Lathaif al-Ma’arif, hal. 148).

Amalan Rebo Wekasan dalam Islam

Dikutip dari laman yang sama, Tebuireng Online dijelaskan amalan Shalat Rebo Wekasan.

Jika niatnya adalah shalat Rebo Wekasan secara khusus, maka hukumnya tidak boleh karena tidak terdapat dalam Syariat Islam.

Namun jika niatnya adalah shalat sunnah mutlaq atau shalat hajat, maka hukumnya boleh-boleh saja.

Shalat sunnah mutlaq adalah shalat yang tidak dibatasi waktu, tidak dibatasi sebab, dan bilangannya tidak terbatas.

Shalat hajat adalah shalat yang dilaksanakan saat kita memiliki keinginan (hajat) tertentu, termasuk hajat li daf'il makhuf (menolak hal-hal yang dikhawatirkan).

Shalat Hajat Li Daf'il Bala' atau Shalat Hajat Li Daf'il Makhuf pernah dijelaskan KH Maimoen Zubair semasa hidup.

"Allah menurunkan Bilhi (bala), supaya selamat minta kepada Allah, Shalat Hajat. Niat Shalat Hajat Li Daf'il Bala' :

نَوَيْتُ صَلاَةَ الْحَاجَةِ لِدَفْعِ الْبَلَاءِ

Nawaitu Sholatal Khaajati Lida'fi lbalaai

Shalat terdiri dari empat rakaat, ada tahiyat awalnya sama seperti shalat Isya," jelas KH Maimoen Zubair.

Baca berita lain di Google News TribunSumsel

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved