Berita Viral
6 Mahasiswa Unila Aibnya Dibongkar Hakim MK, Palsukan Tanda Tangan Saat Gugat IKN, Bisa Dipidana ?
Enam aib mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) dibongkar hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
TRIBUNSUMSEL.COM - Enam aib mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Lampung (Unila) dibongkar hakim Mahkamah Konstitusi (MK).
Aib enam mahasiswa Unila itu terkuak saat sidang judicial review UU Ibu Kota Negara (IKN).
Hakim MK Arief Hidayat mendapati kejanggalan. Ini foto tampang mahasiswa Unila Lampung yang tertangkap basah palsu tanda tangan gugatan.
Untuk diketahui enam mahasiswa Fakultas Hukum Unila mengajukan permohonan uji materil Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 ke Mahkamah Konstitusi. Para mahasiswa memberikan penilaian, UU yang disahkan pada 15 Januari diduga telah melanggar hak konstitusional warga negara Indonesia.
Permohonan uji materi itu sudah memasuki masa persidangan baru-baru ini. Namun, dalam sidang gugatan, hakim MK justru membongkar aib mahasiswa Unila.
Adapun enam mahasiswa Universitas Lampung (Unila) yang mengajukan permohonan uji materiil UU IKN di Mahkamah Konstitusi adalah M. Yuhiqqul Haqqa Gunadi (Perdata’19), Hurriyah Ainaa Mardiyah (HTN’19), Ackas Depry Aryando (HAN’19), Rafi Muhammad (Perdata’19), Dea Karisna (Pidana’19). Nanda Trisua Hardianto (Pidana 2019).
Terkini, aib mahasiswa yang mengajukan judicial review UU Ibu Kota Negara (IKN) malah dibongkar hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Rupanya, mereka ketahuan memalsu tanda tangan pemohon. Berkas pun dicabut karena bisa berujung ke proses pidana.
Dalam proses persidangan majelis MK jeli dengan adanya kejanggalan tanda tangan berkas.
"Ada beberapa hal yang perlu saya minta konfirmasi. Ini Saudara tanda tangannya betul atau tanda tangan palsu ini? Kalau kita lihat, tanda tangan ini mencurigakan, bukan tanda tangan asli dari Para Pemohon," kata hakim konstitusi Arief Hidayat dalam sidang kepada para pemohon yang tertulis dalam situs web MK, Jumat (15/7/2022).
Awalnya, para pemohon menjawab bahwa tanda tangan mereka itu asli. Bahkan mereka menegaskan tanda tangannya berupa tanda tangan digital. Menanggapi jawaban para pemohon yang terkesan menyembunyikan sesuatu, Arief Hidayat menekankan akan memproses kepada pihak kepolisian terkait tanda tangan palsu.
"Coba kita lihat di KTP Dea Karisna, tanda tangannya beda antara di KTP dan di permohonan. Gimana ini Dea Karisna? Mana Dea Karisna? Terus kemudian, tanda tangan Nanda Trisua juga beda. Ini jangan bermain-main, lho. Rafi juga beda.
Pengajuan secara online tersebut, menggugat 5 pasal yang ada dalam UU No. 3 Tahun 2022 yang disahkan bulan Januari lalu. Beberapa pasal yang digugat melalui laman simpel.mkri.id diantaranya Pasal 1 Ayat (2), Pasal 4 Ayat (1) huruf b, Pasal 5 Ayat (4), Pasal 9 Ayat (1), Pasal 13 Ayat (1).
Salah satu perwakilan dari tim pemohon mahasiswa Hukum Tata Negara, Hurriyah Ainaa Mardiyah mengkritik kerancuan dalam definisi struktur IKN.
Menurut Hurriyah, dalam Pasal 1 Ayat (2) dijelaskan bahwa Ibu Kota Negara (IKN) adalah pemerintah daerah khusus setingkat provinsi. Namun, sebaliknya, dalam Pasal 4 Ayat (1) justru menyebut IKN setingkat dengan Kementerian.
“Kenapa pasalnya memuat definisi yang berbeda? Jadi IKN setingkat provinsi atau kementerian? Ini harus diperjelas karena akan berpengaruh pada penyelenggaraan pemerintahan IKN ke depannya,” jelas Hurriyah Ainaa dalam rilis.
Yang kedua, kepala otorita yang dipilih, ditunjuk, diangkat, dan diberhentikan oleh presiden tanpa melalui mekanisme pemilihan umum. Para pemohon menilai hal ini mencederai demokrasi dan bertentangan dengan pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945.
“Kami menilai hal ini (Pasal 5 Ayat 4 dan Pasal 9 Ayat 1) mencederai demokrasi dan bertentangan dengan Pasal 18 Ayat 4 dan Pasal 13 Ayat 1 UUD NRI 1945. Padahal, sudah jelas di UUD 1945 Pasal 18 Ayat 3 (dijelaskan) bahwa pemerintah daerah memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui pemilu,” ujarnya.
Yang ketiga adalah IKN Nusantara hanya melaksanakan pemilu presiden dan wapres, DPR, dan DPD, tanpa ada pemilu DPRD. Padahal, di dalam UUD NRI 1945 pasal 18 ayat (3) bahwa pemerintah daerah memiliki DPRD yang anggotanya dipilih melalui pemilu.
Pengajuan permohonan pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN ini dilatarbelakangi oleh keresahan para mahasiswa hukum Universitas Lampung atas proses regulasi yang ada.
Untuk prosesnya sendiri Hurriyah dan tim mendaftar di simpel.mkri.id yakni memasukkan tim pemohon, kuasa hukum jika ada, tim ahli, bukti-bukti, dan draft permohonan. Semua itu hanya membutuhkan waktu kurang dari sebulan.
"Jadi, draft permohonan itu disusun dulu. Setelah jadi lalu diajukan, kalau draftnya sudah diterima MK. Nanti kami menerima konfirmasi lewat Whatsapp atau email," tuturnya.
Para pemohon yang notabene adalah mahasiswa hukum mengamati proses penyusunan, perumusan, hingga pengesahan UU IKN yang menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat, membuat mereka memutuskan untuk melanjutkan kajian diskusi kelompok mereka tersebut ke dalam bentuk permohonan uji materil ke MK.
Pengujian Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang IKN oleh mahasiswa ini diharapkan dapat terus memacu napas perjuangan dan menjadi indikator ada mahasiswa yang menjaga idealisme dan bergerak menyampaikan aspirasi rakyat Indonesia.
Bagi Hurriyah dan tim ini merupakan bentuk perjuangan mahasiswa sama seperti parlemen jalanan atau demonstrasi mahasiswa. "Ini sebenarnya adalah perjuangan mahasiswa memperjuangkan aspirasi masyarakat lewat formal negara," ungkapnya.
Menurutnya, ketidaktransparanan dalam penyusunan UU IKN membuat ia dan teman-temannya tergerak untuk mengajukan uji materil di Mahkamah Konstitusi. "Negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak konstitusional setiap warga negaranya," tutupnya.
Pada akhirnya, Hurriyah Ainaa Mardiyah mengungkapkan perihal tanda tangan rekan-rekannya. Ia menyebut, dari enam pemohon, dua pemohon tidak menandatangani perbaikan permohonan tersebut. Pemohon meminta maaf kepada MK.
"Baik, Yang Mulia, izin menjawab. Sebelumnya mohon maaf, karena tidak semuanya tanda tangan sama dengan yang ada di KTP. Tanda tangan Dea Karisna dan Nanda Trisua itu memang sebenarnya sudah dengan atas kesepakatan dari yang bersangkutan. Karena yang bersangkutan tidak sedang berada bersama kami saat perbaikan permohonan tersebut. Begitu, Yang Mulia," jelas Hurriyah.
Setelah mempertimbangkan lebih jauh, Arief Hidayat memberikan pilihan pemohon agar para pemohon mencabut permohonan. "Kemudian, kalau Saudara akan mengajukan permohonan kembali, silakan mengajukan permohonan dengan tanda tangan yang asli, atau yang memalsukan dan yang dipalsukan kita urus ke kepolisian. Bagaimana? Yang Saudara mau? Jadi Anda itu mahasiswa harus tahu persis, apalagi mahasiswa fakultas hukum. Anda itu berhadapan dengan lembaga negara.
Ini Mahkamah Konstitusi itu lembaga negara. Anda memalsukan tanda tangan, ini perbuatan yang tidak bisa ditolerir. Itu sesuatu hal yang tidak sepantasnya dilakukan oleh mahasiswa fakultas hukum karena itu merupakan pelanggaran hukum," ujar Arief Hidayat dengan nada tegas.
"Bagaimana? Kalau kita bertiga sepakat ini Anda cabut, nanti Anda kalau mau mengajukan lagi, silakan mengajukan lagi," sambung Arief Hidayat.
Para pemohon menyatakan siap mencabut permohonan. Selanjutnya panel hakim meminta para pemohon secara resmi mencabut permohonan di depan persidangan dan mengajukan surat resmi untuk mencabut permohonan.
"Baik, Yang Mulia. Maka dengan ini, kami mohon maaf atas kesalahan kami dan kelalaian kami. Kami akan mencabut permohonan kami. Perkara Nomor 66/PUU-XX/2022 pada Rabu 13 Juli 2022," tandas Hurriyah selaku juru bicara para pemohon.