Berita Palembang
Penjelasan Prof Yuwono Ahli Mikrobiologi Soal Varian Baru Covid-19, Vaksin Keempat?
Prof Dr dr Yuwono M Biomed Ahli Mikrobiologi menjelaskan kehadiran varian baru Covid-19 BA.4 dan BA.5
Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Yohanes Tri Nugroho
Laporan Wartawan Tribunsumsel.com, Linda Trisnawati
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG- Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mendeteksi subvarian baru Covid-19, yakni omicron BA.4 dan BA.5.
Bahkan varian ini sudah masuk di Indonesia.
Menurut Ahli Mikrobiologi Prof Dr dr Yuwono M Biomed, BA.4 dan BA.5 ini ditemukan di Afrika Selatan.
BA.4 pertama kali ditemukan di Afrika Selatan pada Januari dan pada April meningkat 20 persennya.
Lalu BA.5 sebulan kemudian atau pada February.
Lalu pada April juga menjadi 20-30 persen, dari total yang mendominasi varian Covid-19 yang ada di Afrika Selatan.
"Tapi dunia global, sehingga BA.4 dan BA.5 mudah menyebar ke berbagai negara termasuk di Indonesia katanya sudah ada," kata Profesor Yuwono saat diwawancarai secara langsung di Sekolah Alam Palembang, Selasa (14/6/2022).
Profesor Yuwono menjelaskan, penyebaran virus itu sesuatu yang pasti, apalagi BA.4 dan BA.5 ini termasuk bagian dari omicron.
Perbedaannya hanya pada mutasi pada gen spike (S).
Omicron sudah ada BA.1, BA.2 dan BA.3, yang ngetop BA.2 karena mudah menyebar.
Jadi kalau BA.4 dan BA.5 mudah menyebar hal yang wajar, karena sebelumnya juga ada BA.2 yang enam kali lipat penyebarannya.
Untuk pengobatan, dan dampaknya hampir sama seperti BA2.
Vaksin turun 30 persen gara-gara omicron, maka pengobatannya agar survival tetap pada imunitas.
Pemerintah sudah menyampaikan,tidak usah khawatir adanya varian BA.4 dan BA.5, namun satu sisi sudah diumumkan masuk di Indonesia.
Jadi ini dua kata yang kontradiktif, dan kalau orang awam bisa salah mengartikannya.
"Maka saya luruskan, secara ilmu virus ini tidak berbahaya dan gejalanya ringan. Jangan disimpulkan terlalu dini, setiap varian bergejala. Di Indonesia juga begitu, ada yang tidak bergejala, dan ada yang bergejala ringan," katanya
Menurutnya, kalaupun menyebar wajar saja, tapi rasa tidak karena rata-rata sudah divaksin. Apalagi dosis lengkap sudah diatas 60 persen, itu sudah bagus.
Artinya kalau pakai bahasa awal yang disepakati, sudah herd immunity dong. Kalau itu tidak dipercayai ya untuk apa vaksin.
"Terkait wacana vaksin ke empat, Israel sudah melakukan uji coba vaksin keempat pada akhir tahun 2021. Hasilnya justru menghilangkan efek vaksinasi sebelumnya," katanya
Masih kata Profesor Yuwono, jadi gini kalau booster terbukti bagus meningkatkan 30-40 persen dan juga mengcover omicron, tapi kalau keempat tidak lagi begitu divaksin ke empat dampaknya akan menurun.
"Kalau booster silahkan tapi kalau vaksinasi keempat nggak usah. Saya sebagai warga, tolong kehalalannya vaksin dijamin," pesannya
Menurut Prof Yuwono, sesuatu yang tidak halal bukan hanya berbahaya untuk muslim tapi semua orang.
Karena kehalalan ditentukan oleh zatnya, kenapa disebut tidak halal karena ada komponen yang bisa memicu hal-hal yang tidak baik dalam tubuh jadi tidak mengenal musilm atau tidak.
"Vaksinasi bukan utamanya untuk mengatasi penyakit infeksi, utamanya imunitas. Saya tidak pernah bosan mengingatkan kuncinya yaitu tidur 6-8 jam per hari, enakan makan, beraktivitas dan positif thinking," katanya
Menurutnya, Indonesia telah menandatangani bersama WHO tentang perjanjian pandemi, isinya apa saja kurang begitu tahu.
Katanya tentang manajemen vaksin, tapi ada juga yang lain seperti menentukan akhir pandemi atas restu WHO.
"Yang mengawali dan menentukan mengakhiri pandemi itu sebaiknya pemerintah. Di kita dengan indikator seperti vaksin sudah berhasil, lalu Jokowi menyatakan di ruang terbuka boleh tidak pakai masker, kegiatan di longgarkan, kejadian penambahan hanya sekitar 500 per hari itu kecil dibandingkan demam berdarah, diare dan lain-lain yang setiap hari ada saja," katanya
Baca juga: Update Covid-19 14 Juni 2022 : Ada Tambahan Sebanyak 930 Kasus Baru di Indonesia
Menurut Profesor Yuwono, memang terlihat ada kegamangan, namun tidak boleh curiga sana sini.
Kegamangan ada, tapi sebaiknya pemerintah tegas dan gamblang mengedukasi masyarakat.
"Kalau berdasarkan keilmuan saya ini bukan pandemi. Artinya mau disebut endemi silakan, new normal, atau adaptasi kebiasaan baru (AKB) juga boleh. Kalau saya senang disebut AKB, jadi kebiasaan lama yang jelek tinggalkan saja," ungkapnya