Berita Palembang

Penjelasan Pengamat Hukum, Banyak Kasus Kekerasan Terjadi di Palembang Hingga Timbulkan Korban Jiwa

Di penghujung bulan Mei hingga awal Juni 2022 terjadi dua kasus kejahatan disertai dengan kekerasan yang menonjol di kota Palembang. 

Penulis: Shinta Dwi Anggraini | Editor: Slamet Teguh
IST
Ahli hukum pidana dari Universitas Muhamadiyah Palembang, Martini Idris SH, MH 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Di penghujung bulan Mei hingga awal Juni 2022 terjadi dua kasus kejahatan disertai dengan kekerasan yang menonjol di kota Palembang. 

Salah satunya bahkan mengakibatkan korban jiwa. 

Terhadap para pelaku dari dua kasus ini juga masih dilakukan pengejaran oleh kepolisian. 

Terkait hal tersebut, ahli hukum pidana dari universitas Muhamadiyah Palembang, Martini Idris SH, MH mengatakan, ada beberapa faktor yang mengakibatkan orang bisa berbuat tindak kejahatan. 

"Sebenarnya ada banyak faktor. Mayoritas penyebabnya adalah karena ekonomi yang membuat seseorang cepat tersinggung atau sensitif. Tapi bisa juga karena persoalan lain, misalnya utang piutang narkoba
atau urusan lama dan lain-lain," ujarnya, Minggu (5/6/2022). 

Adapun dua kasus menonjol tersebut, pertama menimpa seorang siswa SMA bernama Rafli (16) yang meregang nyawa karena diserang oleh tiga pengendara motor bonceng tiga saat melintas di Jalan Merdeka Kelurahan Talang Semut Kecamatan Bukit Kecil Palembang, Minggu, (29/5/2022) sekira 03.30 WIB

Para pelaku yang masih buron itu, membawa senjata tajam lalu menusukkannya ke bagian leher sebelah kanan menembus sebelah kiri hingga mengakibatkan remaja tersebut tewas di tempat. 

Dari keterangan FS (17) saksi mata sekaligus rekan korban, Rafli sempat lari ke gedung Aeki Jalan Merdeka untuk menghindari serangan pelaku. 

Namun nahas, ternyata ketiga pelaku masih menunggunya di pinggir jalan dan saat korban akan pergi karena merasa kondisi aman, terjadilah aksi penyerangan tersebut. 

Terbaru adalah kasus penyiraman air keras yang menimpa tujuh orang dan lima di antaranya satu keluarga warga  di Lorong Banten RT 21, Kelurahan Kemas Rindo, Kertapati Palembang,  Kamis malam, (2/6/2022) sekitar pukul 20.30 WIB. 

Dari keterangan salah seorang korban, sebelum penyiraman air keras, di kawasan tempat tinggalnya sempat terjadi perkelahian antar kelompok pemuda di kawasan tersebut. 

Hingga kini pengejaran terhadap pelaku juga masih dilakukan aparat kepolisian. 

Melihat dari keterangan dalam kronologi yang beredar, Martini mengungkapkan, pelaku bisa dijerat dengan pasal 170 KUHP karena telah melakukan tindak kejahatan secara bersama-sama. 

"Ancaman hukumannya diatas tujuh tahun penjara," ujarnya. 

Baca juga: Saya Cuma Ikut-ikutan Teman, Pemuda 19 Tahun Pelaku Pengeroyokan di Palembang Ditangkap Polisi

Baca juga: Tiba-tiba Masuk ke Rumah, Kesaksian Korban Penyiraman Air Keras di Palembang

Menyorot soal kasus yang terbaru, yakni penyiraman air keras di Kertapati, Martini menilai kuat adanya unsur kesengajaan dalam tindak kejahatan tersebut. 

Hal ini juga berdasarkan kronologi yang disampaikan oleh salah seorang korban. 

"Dalam teori hukum pidana terdapat dua unsur. Ada unsur subjektif dan objektif. Nah dalam persoalan ini, unsur objektif sepertinya tidak terpenuhi. Tapi pelaku menggunakan unsur subjektif atau kesengajaan," ucapnya. 

Kata Martini, undang-undang pidana di  Indonesia pada dasarnya telah memberlakukan hukum yang lama, sangat menjerat dan jelas bagi setiap pelaku kejahatan. 

Namun kembali lagi, bila sudah dipicu oleh faktor ekonomi, narkoba atau pemicu emosional lainnya, masyarakat terkadang mengabaikan risiko yang bakal dihadapi bila melakukan suatu tindak kejahatan. 

"Kalau bicara soal efek jera, sebenarnya bila pelaku kejahatan itu menyadari (hukum), maka tidak akan ada perilaku yang demikian. Tapi pelaku ini kadang-kadang tindakannya didasari dengan diluar kesadaran," ujarnya. 

Untuk itu, menurutnya, mesti ada langkah kongkret dari aparat penegak hukum termasuk kepolisian dalam menyikapi penyebab munculnya tindak  kejahatan. 

Martini mengatakan, pergerakan ekonomi yang sangat drastis saat ini juga bisa memacu tingkat stres bagi masyarakat. 

Dari perekonomian yang sebelumnya goyah akibat dilanda pandemi, namun kini sudah drastis bergerak menuju pulih. 

"Disitu masyarakat tingkat stresnya lebih tinggi. Dari sebelumnya ekonomi secara global terdampak pandemi, tapi sekarang  sudah berangsur pulih sehingga terjadi kenaikan harga dimana-mana. Belum ada kestabilan (perekonomian), makanya tingkat stress masyarakat bertambah. Sehingga mereka tidak lagi memikirkan, apakah perbuatannya akan melawan hukum atau tidak. Apakah akan berdampak terhadap korban atau pada dirinya sendiri sebagai pelaku," kata dia. 

"Maka mestinya aparat hukum bisa membaca watak sifat masyarakat kita yang sifatnya keras dan memang emosional. Kadang-kadang aparat kita agak menyepelekan hal-hal demikian. Padahal pemacu utama dari tingkat kriminalitas yang tinggi ini adalah ekonomi yang bergerak secara drastis," katanya menambahkan. 

Pendekatan untuk menanamkan musyawarah dalam menyelesaikan persoalan juga sangat perlu untuk dilakukan. 

"Saya rasa perlu juga dari penegak hukum untuk memberi imbauan dan edukasi ke aparat RT, tokoh masyarakat atau siapapun orang yang disegani di suatu wilayah. Perlu juga untuk memberi pemahaman dan edukasi untuk lebih menekankan musyawarah dari pada emosional kepada masyarakatnya dalam menyelesaikan suatu persoalan," ujarnya. 

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved