Arti Ruwahan dalam Bahasa Jawa, Tradisi Kirim Doa yang Sudah Meninggal Menjelang Bulan Ramadan
Arti Ruwahan dalam Bahasa Jawa, Tradisi Kirim Doa yang Sudah Meninggal Menjelang Bulan Ramadan
Penulis: Abu Hurairah | Editor: Abu Hurairah
TRIBUNSUMSEL.COM - Saat ini umat muslim di Indonesia telah memasuki bulan Syaban 1443 Hijriah atau bulan kedelapam dalam kalender Hijriah
Adapun bulan Syaban bagi kebanyakan masyarakat muslim di Jawa, dipercaya sebagai bulan yang paling tepat untuk mengenang para leluhur.
Pada umumnya, masyarakat mengisinya dengan berbagai ritual untuk mengenang dan mendo’akan arwah para leluhur.
Mulai dari tahlilan dan sedekah kubur, membersihkan kuburan, nyekar ke makam leluhur hingga ziarah ke makam para wali.
Bisa kita lihat pada setiap bulan Sya’ban, kuburan terlihat ramai pengunjung, terlebih makam para wali.
Itu sebabnya, bulan Sya’ban disebut Ruwah, dan tradisi mengenang dan mendoakan leluhur itu disebut dengan Ruwahan.
Baca juga: 6 Bacaan Sholawat Nabi Terbaik, Amalam Dibaca Malam Nisfu Syaban 1443H/2022
Kata Ruwah sering diasosiasikan dengan kata arwah. Menurut Raden Tumenggung Tondonagaro, budayawan yang juga abdi dalem Keraton Surakarta, kata Ruwah berasal dari kata “meruhi arwah”.
“Meruhi arwah” dapat diartikan dengan mengunjungi atau ziarah kepada orang tua, saudara, atau leluhur yang telah bersemayam di alam barzah.
Ritual ini merupakan salah satu upaya spiritual untuk mendo’akan arwah para leluhur agar dosa-dosanya diampuni oleh Allah Swt.
Banyak yang percaya bahwa di bulan Sya’ban, para ahli kubur menunggu kedatangan anak cucu dan sanak saudaranya untuk mendo’akan mereka.
Ziarah kubur di bulan Sya’ban juga sering dimaknai sebagai bentuk sungkeman anak cucu kepada para leluhur dan para wali sebelum mengarungi bulan Ramadhan.
Namun demikian, aktifitas Ruwahan di bulan Sya’ban hendaknya tidak hanya dimaknai sebagai ritual kirim do’a atau sungkeman kepada leluhur semata.
Baca juga: Arti Nisfu Syaban 2022 Adalah? Ini Amalan Utama dan Doa Malam Nisfu Syaban
Ruwah atau arwah yang berarti sukma sejatinya adalah simbol dari kematian dan akhirat.
Oleh karenanya, bulan Sya’ban dan berbagai ritual arwah di dalamnya harus dimaknai sebagai peringatan akan kematian dan alam akhirat.
Tahlilan ataupun nyekar ke makam para leluhur hendaknya tidak dipahami sebagai ritual kirim do’a semata, tetapi juga harus dipahami sebagai upaya untuk membangkitkan kesadaran pada kematian dan kehidupan setelahnya.
Hal ini sebagaimana disampaikan Rasulullah Saw, bahwa substansi ziarah kubur adalah mengingatkan kematian dan akhirat.(HR. at-Turmudzi).
Dengan demikian, di balik manfaat berupa mendo’akan arwah leluhur, jika kita sadari ternyata ziarah kubur dan ritual semacamnya sejatinya memberikan hikmah yang tak kalah penting, yaitu mengingatkan dan membangkitkan kesadaran diri bahwa kita semua akan kembali kepada-Nya.
Hukum Ruwahan dalam pandangan Islam
Bagaimana Islam Nemandang Tradisi Ruwahan? Dilansir dari rumaysho.com, tidak diketahui pasti kapan tradisi ruwah ini dimulai.
Beberapa warga desa yang ditemui juga tidak dapat menjelaskan karena tradisi itu telah ada sebelum mereka dan selanjutnya terus diadakan sampai mereka punya anak dan cucu.
Sumber artikel : https://ftk.unisnu.ac.id/memaknai-bulan-ruwah