Berita Palembang
Termasuk Gubernur, Jabatan 10 Kepala Daerah di Sumsel Berakhir 2022 dan 2023, Ini Kata Pengamat
10 jabatan kepala daerah di Sumsel mulai dari Bupati, Walikota hingga Gubernur akan habis sebelum digelar pelaksanaan Pilkada pada 2024
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Yohanes Tri Nugroho
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Sepuluh jabatan kepala daerah di Sumsel mulai dari Bupati, Walikota hingga Gubernur akan habis pada kurun waktu tahun 2022 hingga 2023 ini, sebelum digelar pelaksanaan Pilkada pada 2024 mendatang.
Satu dari Kabupaten adalah Bupati Musi Banyuasin (Muba) yang dijabat Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Beni Hernedi yang akan berakhir pada Mei tahun ini.
Kepala Pusat Penerangan Kementerian Dalam Negeri Benni Irwan mengatakan, kekosongan jabatan para gubernur itu diselesaikan dengan pengangkatan penjabat kepala daerah.
Hal tersebut merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 yang telah disempurnakan menjadi UU Nomor 6 Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota.
Para penjabat gubernur, bupati, dan wali kota bertugas hingga terpilihnya kepala daerah definitif melalui Pilkada serentak 2024.
"(Untuk mengisi kekosongan jabatan), diangkat penjabat gubernur, penjabat bupati, dan penjabat wali kota sampai dengan terpilihnya gubernur/wagub, bupati/wabup, serta wali kota/wakil wako melalui pemilihan serentak nasional pada tahun 2024," kata Benni beberapa waktu lalu.
Adapun secara total, ada 101 kepala daerah yang akan habis masa jabatannya pada tahun ini.
Selain tujuh gubernur, juga ada 76 bupati dan 18 wali kota.
Menyikapi tersebut pengamat politik dari Universitas Sriwijaya (Unsri) Dr Febrian mengatakan, semua kandidat yang akan bertarung dalam kontestasi Pilkada 2024 di Sumsel memiliki peluang sama.
Sedangkan bagi para petahana, meskipun tidak menjabat lagi sebagai kepala daerah saat pelaksanaan Pilkada 2024, namun bakal calon dari petahana itu tetap memiliki peluang untuk kembali terpilih, asalkan memiliki basis massa selama ini.
"Kalau tidak punya basis massa yang cukup baik, maka akan kesulitan. Jadi segogyanya kepala daerah itu memiliki basis massa, track record yang baik dan hasil kerja yang baik," kata Febrian, Selasa (11/1/2022).
Menurut Febrian, tiga poin itu akan diukur untuk bisa menjadikan seseorang terpilih sebagai kepala daerah nantinya, dan bisa saling melengkapi.
"Kalau basis massa tidak baik bisa ditutupi dengan kinerjanya selama ini baik, dan tiga hal itu jadi dasar. Selanjutnya paling pokok keempat cost politik, jadi orang akan melihat kandidat tersebut dari elektabilitasnya," cap Febrian.
Dijelaskan Dekan Fakultas Hukum Unsri ini, adanya kekosongan menjabat petahana itu, karena jangka waktu (kosong) akan menggerus elektabilitas paslon, yang artinya ia melakukan kegiatan dalam rentan waktu kedepan harus dua kali lipat, jika tidak akan turun dizona netral sama dengan kandidat umum lainnya.
"Yang dikhawatirkan petanaha seperti itu (zona netral) sehingga yang bisa dikondisikan kepala daerah yang menjabat saat ini, misalnya para aparatur sipil negara (mengamankan kedepan). Kalau netral balik normal perlu kerja keras lagi, meski portopolio ia sudah punya hasil. Jadi waktu satu tahun itu lumayan menguras elektabilitas calon dan dia harus jaga, baik- baikan lagi bahasa umumnya. Jadi siapa yang diuntungkan, yang diuntungkan walaupun ia tidak menjabat nanti tetap petahana tetapi jika tidak bisa meminitnya dengan baik bisa saja elektabilitasnya anjlok," tukasnya.