Berita Nasional
Biaya Kereta Cepat Bengkak Kini Lebih Mahal daripada Tawaran Jepang, Indonesia Terjebak
Selain itu, proyek tersebut terancam mangkrak karena biaya pengerjaanya membengkak menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp 114,24 triliun.
TRIBUNSUMSEL.COM - Kereta cepat Jakarta Bandung menuai polemik.
Proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung tengah jadi sorotan.
Ini karena beberapa BUMN yang menggarap proyek tersebut kondisi keuangannya tengah mengap-mengap.
Selain itu, proyek tersebut terancam mangkrak karena biaya pengerjaanya membengkak menjadi 8 miliar dollar AS atau setara Rp 114,24 triliun.
Padahal sebelumnya, PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) melakukan estimasi biaya pembangunan Kereta Cepat Jakarta Bandung adalah sebesar 6,07 miliar dollar AS.
Dengan demikian, setelah perkiraan pembengkakan anggaran mencapai 8 miliar dollar AS, artinya terdapat kenaikan sekitar 1,9 miliar dollar AS atau setara Rp 27,09 triliun.
Sebagai rencana menyelamatkan proyek kerja sama Indonesia-China itu, Presiden Joko Widodo (Jokowi) kemudian meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021 yang merupakan perubahan atas Perpres Nomor 107 Tahun 2015, tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Cepat Jakarta Bandung. Dapatkan informasi, inspirasi dan insight di email kamu.
Dalam Pasal 4 Perpres Nomor 93 Tahun 2021, Jokowi mengizinkan penggunaan dana APBN untuk membiayai Kereta Cepat Jakarta Bandung.
Padahal sebelumnya, Jokowi beberapa kali tegas berjanji untuk tidak menggunakan uang rakyat sepeser pun untuk mega proyek tersebut.
Menilik ke belakangan, proyek Kereta Cepat Jakarta Bandung sebenarnya pertama kali diajukan Jepang.
Negeri Sakura itu menawarkan proposal pembangunan ke pemerintah Jokowi melalui Japan International Cooperation Agency (JICA).
Saking seriusnya menawarkan proyek tersebut, JICA bahkan telah menggelontorkan modal sebesar 3,5 juta dollar AS sejak 2014 untuk mendanai studi kelayakan.
Nilai investasi kereta cepat berdasarkan hitungan Jepang mencapai 6,2 miliar dollar AS, di mana 75 persennya dibiayai oleh Jepang berupa pinjaman bertenor 40 tahun dengan bunga 0,1 persen per tahun.
Belakangan di tengah lobi Jepang, tiba-tiba saja China muncul dan melakukan studi kelayakan untuk proyek yang sama.
Hal itu rupanya mendapat sambutan baik dari Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) saat itu, Rini Soemarno.