Perempuan Dalam Islam

Bolehkah Perempuan Berkhitan, Ini Penjelasan Imam 4 Mazhab, Ada yang Wajib juga Kemuliaan

Ada beda pendapat ulama fiqih terkait hukum khitan bagi wanita. Ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang itu pemuliaan.

Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
tribunsumsel.com/khoiril
Ilustrasi Bolehkah Perempuan Berkhitan. 

TRIBUNSUMSEL.COM - Khitan sering diartikan 'sunat' merupakan amalan atau praktek yang sudah dikenal di masyarakat manusia. Dalam berbagai kebudayaan khitan sering kali dipandang sebagai peristiwa sakral terutama khitan pada laki-laki yang umumnya dilakukan saat masih kanak-kanak. Meski tidak sesakral pada laki-laki tetapi khitan juga dilakukan pada perempuan.

Lantas sebenarnya bolehkah perempuan berkhitan, apa penjelasan sesuai Imam 4 Mazhab, Ada yang Wajib juga Kemuliaan seperti dihimpun Tribun dari beberapa sumber.

Ustadzah Aini Aryani, LC dari rumahfiqih menyampaikan khitan bagi anak perempuan jelas disyariatkan atau ada dasar untuk pelaksanaannya. Adapun dalilnya adalah  Alquran Surat An-Nahl ayat 23.

"Kemudian kami wahyukan kepadamu untuk mengikuti millah Ibrahim yang lurus".  (QS. An-Nahl: 23).

Selain itu Hadist Nabi SAW:

Dari Ibnu Abbas bahwa Rasulullah SAW, "Khitan itu sunnah buat laki-laki dan memuliakan buat wanita." (HR. Ahmad dan Baihaqi)

Dari Abi Hurairah ra. Berkata bahwa Rasulullah SAW bersabda : "Nabi Ibrahim as. Berkhitan saat berusia 80 tahun dengan qadur/kapak." (HR Bukhari dan muslim)

Dari Aisyah RA, Rasulullah bersabda : “Potonglah rambut kufur darimu dan berkhitanlah” (HR. Muslim)

Hukum Khitan Bagi  Wanita 

Ada perbedaan pendapat ulama fiqih terkait hukum khitan bagi wanita. Masing-masing imam empat mazhab memiliki pendapat, ada yang mengatakan wajib, tidak wajib, dan ada juga yang memandang itu pemuliaan atas perempuan.

1. Mazhab Al-Hanafiyah
Madzhab ini sepakat berkhitan tidak diwajibkan bagi perempuan, mayoritas ulama dari madzhab ini tidak memandangnya sebagai kemuliaan bagi perempuan.

Ibnul Humam (w. 681 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Fathul Qadir menuliskan sebagai berikut :

الختانان موضع القطع من الذّكر والفرج وهو سنّةٌ للرّجل مكرمةٌ لها
Khitan itu memotong sebagian dari zakar (kemaluan laki-laki) dan farji (kemaluan perempuan). Hukumnya Sunnah bagi laki-laki, dan bagi perempuan merupakan sebuah kemuliaan.

Az-Zaila’i (w. 743 H) salah satu ulama mazhab Al-Hanafiyah dalam kitab Tabyin Al-Haqaiq Syarh Kanzu Ad-Daqaiq menuliskan sebagai berikut :

وختان المرأة ليس بسنة، وإنما هو مكرمة للرجال لأنه ألذ في الجماع
Tidaklah sunnah bagi perempuan berkhitan, tetapi sebuah kemuliaan bagi laki-laki, karena dapat menambah keintiman dalam berhubungan suami istri.

2. Mazhab Al-Malikiyah

Al-Qarafi (684 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Adz-Dzakhirah sebagai berikut :

كرهه مالك يوم الولادة ويوم السابع لأنه من فعل اليهود قال وحد الختان الأمر بالصلاة من سبع سنين إلى عشر قال ابن حبيب الختان سنة للرجال مكرمة للنساء

Makruh bagi imam Malik mengkhitan anak pada hari kelahiran ataupun hari ke tujuh, Karena itu perbuatannya orang-orang Yahudi. Dan membatasi usia khitan ketika anak berumur 7 tahun, sebagaimana diperintah untuk mereka shalat dari umur tujuh tahun hingga sepuluh tahun. Ibnu Hubaib mengatakan, berkhitan bagi laki-laki sunnah, sedangkan bagi perempuan merupakan kemuliaan.

Al-Hathab Ar-Ru'aini (954 H), salah satu ulama di kalangan mazhab Al-Malikiyah menuliskan dalam kitabnya Mawahibul Jalil fi Syarhi Mukhtashar Khalil sebagai berikut :

وأما الخفاض فقال ابن عرفة والخفاض في النساء الرسالة مكرمة وروى
Adapun khitan bagi perempuan, Ibnu ‘Arafah mengatakan bahwa itu adalah syari’at yang mulia.

3. Mazhab Asy-Syafi’i

Madzhab ini memandang berkhitan bagi laki-laki dan perempuan itu hukumnya wajib. Sebagaimana penuturan di bawah ini:

An-Nawawi (w. 676 H) salah satu ulama dalam mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitabnya Minhaj At-Thalibin wa Umdatu Al-Muftiin fi Al-Fiqh menuliskan sebagai berikut :

ويجب ختان المرأة بجزء من اللحمة بأعلى الفرج والرجل بقطع ما يغطي حشفته بعد البلوغ ويندب تعجيله في سابعة
Wajib bagi perempuan berkhitan, dengan memotong sebagian daging kecil yang berada di bagian atas kemaluan, dan bagi laki-laki dengan menghilangkan sebagian kulit penutup bagian depan dari kemaluan, dan disunnahkan bagi laki-laki untuk menyegerakan khitan di umur tujuh tahun.

Zakaria Al-Anshari (w. 926 H) yang juga ulama mazhab Asy-syafi'iyah di dalam kitabnya Asnal Mathalib Syarah Raudhu Ath-Thalib menuliskan sebagai berikut.

(و) من (قطع شيءٍ من بظر المرأة) (الخفاض) أي اللّحمة الّتي في أعلى الفرج فوق مخرج البول تشبه عرف الدّيك، وتقليله أفضل
Dengan memotong sebagian daging kecil -yang berada di bagian atas farji, letaknya diatas tempat keluarnya urin, dan bentuknya menyerupai jengger ayam-, itu hukumnya afdhal (utama).

Ibnu Hajar Al-Haitami (w. 974 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Tuhafatu Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

ويجب أيضًا (ختان) المرأة والرّجل

Diwajibkan juga berkhitan bagi perempuan dan laki-laki .

Al-Khatib Asy-Syirbini (w. 977 H) salah satu ulama mazhab Asy-Syafi'iyah di dalam kitab Mughni Al-Muhtaj menuliskan sebagai berikut :

(ويجب ختان المرأة بجزءٍ) أي قطعه
Diwajibkan berkhitan bagi perempuan, dengan menghilangkan sebagian daging kecil di atas kemaluannya.

4. Mazhab Al-Hanabilah

Adapun madzhab Al-Hanabilah, hukum berkhitan dibedakan antara laki-laki dan perempuan. Wajib bagi laki-laki, dan tidak wajib bagi perempuan.

Ibnu Qudamah (w. 620 H) ulama dari kalangan mazhab Al-Hanabilah di dalam kitabnya Al-Mughni menuliskan sebagai berikut :

فأمّا الختان فواجبٌ على الرّجال، ومكرمةٌ في حقّ النّساء، وليس بواجبٍ عليهنّ
Diwajibkan bagi laki-laki berkhitan, sedangkan bagi perempuan tidaklah diwajibkan, melainkan hanya sebuah kemuliaan bagi yang mengerjakannya.

Itu tadi pembahasan mengenai Bolehkah Perempuan Berkhitan, Ini Penjelasan Imam 4 Mazhab, Ada yang Wajib juga Kemuliaan. Semoga informasi yang disampaikan ini bisa memberikan manfaat. Wallaahu a'lam bishshowab.

Waktu yang Tepat untuk Anak Dikhitan

Terdapat beberapa hadits menunjukkan waktu yang tepat untuk anak dikhitan adalah khitan dilaksanakan pada hari ke tujuh setelah kelahiran:

Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu’anhuma, Rsulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melaksanakan aqiqah Hasan dan Husain serta mengkhitan keduanya pada hari ketujuh.(HR. Thabrani dan Baihaqi)
Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhu berkata, “Terdapat tujuh perkara yang termasuk sunnah dilakukan bayi pada hari ketujuh: Diberi nama, dikhitan,…” (HR. Thabrani)

Dari Abu Ja’far berkata, “Fathimah melaksanakan aqiqah anaknya pada hari ketujuh. Beliau juga mengkhitan dan mencukur rambutnya serta menshadaqahkan seberat rambutnya dengan perak.” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

Namun, khitan boleh dilakukan sampai anak agak besar, sebagaiman telah diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhyallahu’anhu, bahwa beliau pernah ditanya, “Seperti apakah engkau saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggal dunia ?” Beliau menjawab, “Saat itu saya barusan dikhitan. Dan saat itu para sahabat tidak mengkhitan kecuali sampai anak itu bisa memahami sesuatu.” (HR. Bukhori, Ahmad, dan Thabrani).

Berkata Imam Al-Mawardzi, ” Khitan itu memiliki dua waktu, waktu wajib dan waktu sunnah. Waktu wajib adalah masa baligh, sedangkan waktu sunnah adalah sebelumnya. Paling bagus adalah hari ketujuh setelah kelahiran dan disunnahkan agar tidak menunda sampai waktu sunnah kecuali ada udzur.

Itu tadi pembahasan mengenai Bolehkah Perempuan Berkhitan, Ini Penjelasan Imam 4 Mazhab, Ada yang Wajib juga Kemuliaan. Semoga informasi yang disampaikan ini bisa memberikan manfaat. Wallaahu a'lam bishshowab.

Baca berita lainnya langsung dari google news

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved