Perempuan Dalam Islam

Bolehkah Perempuan Menjadi Saksi Nikah, Ini Penjelasan Ulama 4 Mazhab, Juga Hukum di Indonesia

Selama ini saksi nikah umumnya dua orang lelaki. Lantas, sebenarnya bolehkah perempuan menjadi saksi nikah.

Penulis: Vanda Rosetiati | Editor: Vanda Rosetiati
tribunsumsel.com/khoiril
Ilustrasi Bolehkah Perempuan Menjadi Saksi Nikah. Berikut ini penjelasan ulama 4 mazhab, juga hukum di Indonesia. 

TRIBUNSUMSEL.COM - Saksi merupakan salah satu bagian penting yang harus ada dan hadir dalam majelis pernikahan. Saksi tersebut bertugas memberikan kesaksian bahwa perkawinan itu benar-benar dilakukan oleh kedua pihak yang beraqad dan menyatakan dengan tegas sah atau tidaknya ijab qabul yang diucapkannya.

Adanya saksi dalam perkawinan ini akan dapat dijadikan sebagai alat bukti akan dapat menghilangkan keragu-raguan dan juga dengan keyakinan masyarakat terhadap telah berlangsungnya aqad nikah.

Selama ini saksi nikah umumnya dua orang lelaki. Lantas, sebenarnya bolehkah perempuan menjadi saksi nikah, ini penjelasan ulama 4 mazhab, juga hukum di Indonesia.

Menurut ulama dari kalangan mazhab Maliki, Syafii dan Hambali, salah satu syarat untuk menjadi saksi nikah adalah harus berjenis kelamin laki-laki. Adapun perempuan tidak boleh dan tidak sah untuk menjadi saksi nikah.

Oleh karena itu, jika hanya perempuan saja yang menjadi saksi nikah, atau satu laki-laki dan dua perempuan, maka nikah tersebut dinilai tidak sah karena belum memenuhi syarat persaksian, yaitu zukurah atau semua saksi harus laki-laki.

Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Syaikh Wahbah Azzuhaili dalam kitab al-Fiqhul Islami wa Adillatuhu berikut;

الذكورة: شرط عند الجمهور غير الحنفية، بأن يكون الشاهدان رجلين، فلا يصح الزواج بشهادة النساء وحدهن ولا بشهادة رجل وامرأتين، لخطورة الزواج وأهميته

“(Syarat saksi nikah) harus laki-laki. Kebanyakan ulama, selain ulama Hanafiyah, mengharuskan dua saksi nikah harus terdiri dua orang laki-laki. Karena itu, akad nikah tidak sah jika hanya perempuan saja yang menjadi saksi, atau satu laki-laki dan dua perempuan. Hal ini karena akad nikah sangat penting untuk diperhatikan.”

Adapun menurut ulama Hanafiyah, dua perempuan boleh menjadi saksi nikah asal masih ada satu saksi laki-laki. Jika yang menjadi saksi nikah adalah satu laki-laki dan dua perempuan, maka nikah tersebut sudah dinilai sah. Adapun jika semuanya perempuan, maka tidak sah. Hal ini karena dua perempuan bisa menggantikan satu laki-laki dalam persaksian, termasuk dalam nikah.

Ulama Hanafiyah mendasarkan pendapat tersebut pada firman Allah surah al-Baqarah ayat 282 berikut;

فَإِن لَّمْ يَكُونَا رَجُلَيْنِ فَرَجُلٌ وَامْرَأَتَانِ مِمَّن تَرْضَوْنَ مِنَ الشُّهَدَاء أَن تَضِلَّ إْحْدَاهُمَا فَتُذَكِّرَ إِحْدَاهُمَا الأُخْرَى

“Jika tak ada dua orang laki-laki, maka seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kalian ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya.”

Dalam kitab al-Ghayah Syarh al-Hidayah disebutkan sebagaimana berikut;

وَلَا يَنْعَقِدُ نِكَاحُ الْمُسْلِمِينَ إلَّا بِحُضُورِ شَاهِدَيْنِ حُرَّيْنِ عَاقِلَيْنِ بَالِغَيْنِ مُسْلِمَيْنِ أَوْ رَجُلٌ وَامْرَأَتَيْنِ عُدُولًا كَانُوا أَوْ غَيْرَ عُدُولٍ

“Nikah kaum Muslim tidak sah kecuali dengan hadirnya dua saksi yang merdeka, baligh, Muslam, hadirnya saksi seorang laki-laki dan dua perempuan, baik mereka adil atau tidak.”

Namun demikian, pada implementasinya, kesaksian wanita dalam pernikahan tidak pernah dijumpai karena Kompilasi Hukum Islam tidak membolehkannya.

Kedudukan Saksi Nikah

Deni Firman Nurhakim, penghulu dari KUA Kecamatan Cilebar Kab. Karawang, Jawa Barat dikutip dari jabar,kemenag,go,id memuat pengertian saksi nikah adalah orang yang melihat, mendengar, atau mengetahui sendiri suatu peristiwa/kejadian akad nikah antara wali nikah/wakilnya dengan calon suami/wakilnya dengan tujuan mereka kelak dapat memberikan keterangan yang diperlukan guna kepentingan perkara tentang pernikahan yang diketahuinya itu.

Menurut jumhur ulama, saksi nikah bukan termasuk rukun nikah, melainkan syarat sah nikah. Dalam pandangan mayoritas ulama, rukun nikah itu ada empat: a. shigat (ijab qobul), b. isteri, c. suami, dan d. wali (Wahbah Zuhaeli, Juz 7, 1989: 36-37).

Adapun saksi dikelompokkan sebagai syarat sah nikah seperti halnya maskawin.

Namun demikian, ada sebagian ahli fiqh yang menganggap saksi sebagai rukun nikah. Dan pandangan terakhir inilah yang kemudian diadopsi oleh Kompilasi Hukum Islam (KHI):

“Saksi dalam perkawinan merupakan rukun pelaksanaan akad nikah” (pasal 24:1), sehingga, “Setiap perkawinan harus disaksikan oleh dua orang saksi” (pasal 24:2).

Ketentuan KHI soal saksi nikah di atas, juga sebelumnya diatur dalam pasal 10 ayat 3 PP No. 9/1975 tentang Pelaksanaan UU No 1/1974 tentang Perkawinan: “Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan di hadapan Pegawai Pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi”.

Alhasil, terlepas dari perbedaan pendapat antara saksi sebagai syarat nikah atau saksi sebagai rukun nikah, yang jelas saksi menempati posisi penting dalam akad nikah. Karena Nabi SAW memerintahkan kita mengumumkan pernikahan yang terjadi, dengan sabdanya: “A’linuu an-Nikaah...” (HR. Ahmad).

Berdasarkan hadits ini, hikmah suatu kesaksian adalah untuk mengumumkan (I’lan) telah terjadinya suatu pernikahan dan mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan di masa mendatang bila terjadi pengingkaran nikah (Wahbah Zuhaeli, 1989: 73).   

Saksi Pengesah Akad Nikah?

Sebagaimana tercantum dalam pasal 2:1 UU No 1/1974 tentang perkawinan, “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu”. Dengan demikian, yang menjadi penentu sah/tidaknya suatu pernikahan orang Islam adalah bisa dilacak dari ketentuan-ketentuan hukum Islam (fiqh Islam) soal itu.

Dalam ketentuan fiqh Islam yang masyhur yang kemudian diadopsi dalam pasal 14 KHI, secara singkat dapat ditegaskan bahwa pernikahan itu sah apabila telah terpenuhi 5 rukun nikah (calon suami, calon isteri, wali nikah, dua orang saksi, dan ijab qobul), berikut syarat-syarat yang mengiringinya.

Melihat fungsi saksi dalam akad nikah sebagaimana yang telah diuraikan di atas, saksi bukan pihak yang berhak mengesahkan akad nikah.

Keberadaannya memang penting, karena di masa sekarang (sesaat setelah akad nikah) fungsinya adalah untuk mengumumkan telah terjadi suatu pernikahan. Dan di masa mendatang, fungsinya adalah untuk mengukuhkan tetapnya suatu pernikahan bila terjadi pengingkaran pernikahan.  

Sedangkan penghulu adalah pihak yang berhak menyatakan dan menetapkan sah tidaknya setiap tahapan dalam proses pernikahan, mulai dari pendaftaran, pemeriksaan, pengumuman kehendak nikah, dan pelaksanaan akad nikah menurut hukum Islam yang dilakukan oleh warga negara/penduduk Indonesia yang beragama Islam.

Penetapan penghulu sebagai pihak yang berhak menyatakan sah atau tidaknya pernikahan ini didasarkan pada Pasal 1:7 Peraturan Menteri PAN dan RB No. 9 Tahun 2019 tentang Jabatan Fungsional Penghulu yang menjelaskan kedudukan penghulu sebagai pihak yang diberi tugas, tanggung jawab, wewenang, dan hak untuk melakukan kegiatan pelayanan dan bimbingan nikah atau rujuk, pengembangan kepenghuluan, dan bimbingan masyarakat.

Itulah sebabnya, di setiap akhir prosesi akad nikah, penghulu diminta untuk mengumumkan bahwa upacara akad nikah telah selesai dan kedua pengantin telah sah menurut hukum sebagai suami isteri (lihat Departemen Agama RI, 2008: h. 17). Wallaahu a’lam bis showaab.

Ikuti Kami di Google Klik

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved