Kisah Sartono Meraba Membuat Patung, Mata Tak Dapat Melihat Sejak SD Kelas 3, Ada Cerita di Baliknya
Sartono adalah seorang seniman tunanetra yang membuat patung asal Kampung Sekalekan, Kelurahan Klaten, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten.
Laporan Wartawan TribunSolo.com, Rahmat Jiwandono
TRIBUNSUMSEL.COM, KLATEN - Matanya tak dapat melihat, tapi Sartono dapat menciptakan keindahan lewat patung yang dibuatnya.
Pria 58 tahun itu mengisahkan dirinya yang sejak kecil tak dapat melihat karena kecelakaan.
Ditemui di tempat ia berkreasi, Sartono sedang duduk jongkok, di atas jari kakinya terdapat tumpukan kertas-kertas berwarna cokelat. Di sebelah kaki kanannya ada sebuah wadah berisi lem.
Di hadapannya ada sebuah patung berbentuk Soekarno, tangan kanannya nampak meraba-raba patung tersebut sembari memegang potongan kertas yang sudah dilumuri lem.
Telapak tangannya menempel sisa-sisa lem yang sudah mengering yang sudah bercampur dengan debu sehingga berwarna hitam.
Sartono adalah seorang seniman tunanetra yang membuat patung asal Kampung Sekalekan, Kelurahan Klaten, Kecamatan Klaten Tengah, Kabupaten Klaten.
Ia menceritakan bagaimana ia kehilangan indra pengelihatannya.
"Dulu kalau cerita dari orang tua saya, saat saya berumur tiga tahun pernah jatuh dari ketinggian 1,5 meter. Saat itu saya sedang bermain dengan kakak saya," papar Sartono, Senin (7/6/2021) lalu.
Akibat jatuh dari ketinggian itu, giginya hancur semua hingga mengeluarkan darah.
"Selain gigi saya tanggal semua, ternyata efek dari jatuh itu berpengaruh pada penglihatan saya," katanya.
Saat duduk di kelas 3 SD, Sartono benar-benar kehilangan indra penglihatannya.
"Sejak itu saya sudah benar-benar tidak bisa melihat. Jadi gelap semua," katanya.
Baca juga: Calon Mama Mertua Minta Uang Hantaran Rp103 Juta, Pria Ini Terpaksa Lepaskan Pacar, Curhatnya Viral
Baca juga: Hukum Mati Saja Anakku, Teriak Ibu Sambil Menangis, Kecewa Anaknya Divonis 12 Tahun Penjara
Baca juga: Misteri Pembakar Pengemudi Ojol Hidup-hidup Terungkap, Dibakar saat Pingsan, Sempat Dipukul di Motor

Belajar Membuat Patung
Perkenalannya dengan seni patung saat Sartono menginjak usia remaja.
"Saat itu pada 1979 atau umur 16 tahun saya mulai belajar membuat patung secara otodidak," ucapnya.
Dia mengatakan, awal mula dia belajar membuat patung yaitu mengetahui tetangganya ada yang membuat patung.
"Dari situ saya mau belajar cara bikin patung tapi saya enggak bisa melihat prosesnya," katanya.
Meski ia sudah tidak bisa melihat lagi, hal itu tak menyurutkan niatnya untuk belajar membuat patung.
"Kemudian saya minta izin sama yang membuat patung agar diizinkan untuk merabanya dan akhirnya diizinkan untuk meraba," katanya.
Dengan meraba patung, Sartono belajar memahami aneka bentuk-bentuk patung.
"Setelah merasakan bentuk luar patungnya seperti apa, saya berinisiatif untuk membuat patung sesuai dengan keinginan saya," tuturnya.
Sejak itulah dia serius untuk menekuni membuat patung-patung dengan aneka bentuk seperti hewan ataupun manusia.
Namun, niat Sartono untuk menjual hasil karyanya baru berjalan selama 12 tahun terakhir.
"Baru saya pasarkan selama 12 tahun ini karena dahulu tidak yakin karya saya bisa laku untuk dijual," ujarnya.
Sehingga dari tahun 1979 hingga 2009, ia hanya membuat patung untuk mengisi waktu luang.
"Selama itu hanya untuk iseng-iseng saja," selorohnya.
Meraba
Sartono mengaku butuh waktu sekitar 20 sampai 30 hari untuk merampungkan sebuah patung berukuran besar.
"Pengerajaan patung pun tergantung dengan panas sinar matahari. Kalau sedang mendung bisa lebih lama proses pembuatannya," ujar dia.
Untuk bahan-bahan membuat patung dia menggunakan barang bekas seperti kertas karton hingga kertas semen.
"Bahan-bahannya ada yang beli dan dapat dari rongsokan," jelasnya.
Hasil patung yang dia buat lumayan detail meski dia tidak bisa melihatnya.
"Kenapa bisa lumayan detail, misal untuk bagian kaki, tangan, atau muka karena saya rasakan dengan cara meraba," terangnya.
Namun, untuk bagian wajah, menurutnya, dia sedikit menemui kendala.
"Memang untuk bagian muka saya belum bisa terlalu detail karena terkendala pengelihatan," katanya.
Kekinian, harga satu patung ia banderol Rp 400 ribu.
"Dahulu sih harganya Rp 250 ribu tapi harga bahan-bahannya juga naik, jadi harganya juga ikut naik," tambahnya.
Dia menyebutkan, bahwa pernah mendapat tawaran dari orang Bali untuk membuat patung-patung dan dijual di Pulau Dewata.
"Saya diminta untuk membuat empat patung dalam waktu sebulan tapi tawaran itu saya tolak karena kondisi saya yang begini (tidak bisa melihat)," paparnya. (*)