Wawancara Eksklusif Tribun Sumsel
Wawancara Eksklusif Tribun Sumsel dengan Ridwan Kamil (1), Ditanya Jadi Presiden, 'Bismillah Saja'
Untuk menjadi pemimpin nasional ada tiga, satu punya elektabilitas, kedua punya modal karena pasti mahal dan ketiga punya dukungan dari partai
Penulis: Linda Trisnawati | Editor: Vanda Rosetiati
Termasuk saya makan sayur rotan. Jadi rotan muda direbus dan saya makan, ternyata rasanya pahit, jadi harus dicocol dulu pakai sambal biar berasa. Untuk itu pepatahnya saya rubah. Tidak ada akar, rotan pun jadi.
* Apalagi tentang Palembang
Sungai Musi, apalagi saat ramah tama makan malam dengan Gubernur Sumsel Herman Deru saya ditagih. Sebelum Deru dilantik, saya pernah ngobrol secara informal.
Datanglah ke Palembang, kita tata Sungai Musi. Saya bilang siap. Ternyata beliau masih ingat, padahal saya sudah lupa jadi semalam ditagih
Setelah acara Rapat Kerja Nasional dan Sosialisasi Hasil Munas IV ADPMET gubernur akan nyetir sendiri membawa saya melihat lokasi yang akan dibangun Islamic Center, lalu ke Sungai Musi dan Pasar Cinde.
Mudah-mudahan kalau itu jadi, bisa buat hadiah saya untuk masyarakat Sumsel khususnya Palembang. Karena saya pernah mendesain masjid di Makasar di Pinggir laut, museum sunami dan lain-lain. Karena masih ada sekian persen eksistensi saya itu orang arsitek.
*Apakah Anda akan mengulang sejarah seperti Bung Karno yang seorang insinyur menjadi presiden
Saya juga heran makin ke sini pertanyaanya itu nggak pernah hilang. Selalu ada ditanya, maka saya jawab dengan sederhana untuk menjadi pemimpin nasional ada tiga, satu punya elektabilitas, kedua punya modal karena pasti mahal dan ketiga punya dukungan dari partai.
Nah saya dari tiga syarat itu tidak punya dua terakhir, tapi kalau elektoral bisa diupayakan. Sebab ada hubungannya dengan kerja, kalau kerja baik elektoral baik.
Untuk itu sekarang saya kerjanya yang sederhana, kerja maksimal, membereskan janji-janji sampai masa jabatan 2023. Kalau semua bagus maka elektoral kan akan naik.
Masalah nanti tiba-tiba dilamar oleh partai, atau ada yang mendukung modal itu nggak bisa diprediksi. Maka bahasa saya, kalau memang terbuka takdirnya untuk dua yang terakhir tadi ia saya bismillah saja.
Karena urutannya sudah pernah saya lewati, pernah jadi walikota, dan gubernur. Tapi kalau ternyata pintu-pintu itu belum terbuka ya saya tidak masalah.
Karena kepemimpinan itu hakikatnya sama, mengurusi masalah yang ada dan bermanfaat. Maka dalam berkepemimpinan saya gunakan syariat Islam, pertama bahwa menjadi gubernur atau pemimpin itu untuk ibadah, kedua bahwa memimpin itu sementara jadi jangan macam-macam dikesementaran ini, ketiga jadi pemimpin yang terbaik itu bermanfaat.
Karena ini niatnya ibadah, dan hanya sementara maka harus dimaksimalkan serta bermanfaat untuk masyarakat. Maka apapun judulnya bagi saya sama saja.
Kalau ditanya itu, ikhtiar ada, tapi saya punya dua politik yaitu politik akal sehat. Kalau baik dibilang baik, kalau kurang ya kita kritisi.
Misal soal impor beras itu sempat saya kritisi, karena untuk beras ini surplus. Apalagi seperti Sumsel ini penghasil berasnya cukup tinggi. Jadi kenapa harus import.