Kisah di Makam Mbah Datuk Banjir Penggagas 'Lubang Buaya', Anjuran Khusus untuk Aparat yang Datang

Mbah Datuk Banjir dikenal sebagai alim ulama dan pejuang melawan penjajahan Belanda pada abad ke 7 silam.

Editor: Weni Wahyuny
TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA
Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Cipayung, alim ulama pencetus nama Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu (17/4/2021). 

Laporan Wartawan TribunJakarta.com, Bima Putra

TRIBUNSUMSEL.COM, CIPAYUNG - Kisah di makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah penggagas nama Lubang Buaya di Jakarta Timur.

Makamnya menjadi salah satu tempat wisata religi di Jakarta.

Lokasi makam Mbah Datuk Banjir ada di di Jalan Kramat RT 04/RW 02, Kelurahan Lubang Buaya, Kecamatan Cipayung.

Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah dikeramatkan dan ada pantangan khusus bagi aparat yang ingin berziarah. Bila melanggar maka bisa sial hingga kepala benjol.

Meski aksesnya hanya jalan tanah setapak, bahkan sulit dilalui sepeda motor, makam Mbah Datuk Banjir tak pernah sepi peziarah.

Setiap hari selalu ada peziarah ke makam Mbah Datuk Banjir.

Mbah Datuk Banjir dikenal sebagai alim ulama dan pejuang melawan penjajahan Belanda pada abad ke 7 silam.

Bahkan, Mbah Datuk Banjir juga dikenal sebagai penggagas nama Lubang Buaya yang kini menjadi salah satu wilayah di Jakarta Timur.

Karenanya, nama Mbah Datuk Banjir begitu melegenda di kawasan Lubang Buaya.

Yanto Wijoyo (45) pengurus makam, mengatakan makam Mbah Datuk Banjir memang hampir tak pernah sepi dari para peziarah.

Siapa pun diperbolehkan berziarah.

Baca juga: Siapa Habib Abdurrahman atau Habib Cikini, Makamnya Semprotkan Air saat akan Digusur, Disebut Obat

Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Cipayung, alim ulama pencetus nama Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu (17/4/2021).
Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Cipayung, alim ulama pencetus nama Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu (17/4/2021). (TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA)

Namun, ada ada satu pantangan yang berlaku di makam Mbah Datuk Banjir.

Yakni, untuk aparat TNI maupu Polri tak boleh mengenakan seragamnya ketika berziarah ke makam Mbah Datuk Banjir.

"Kalau misalnya mau datang kemari enggak boleh pakai seragam, khususnya tentara dan polisi," ucap keturunan kesembilan Mbah Datuk Banjir ini, Sabtu (17/4/2021).

"Setahu saya yang dilarang itu seragam aparat. Bukan enggak boleh, tapi dianjurkan jangan memakai seragam," imbuh dia.

Pantangan tersebut merupakan pesan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah sebelum meninggal dunia kepada keturunannya.

Tidak diketahui pasti alasan Mbah Datuk Banjir menetapkan pantangan.

Yanto menduga hal itu tidak lepas dari perjuangan leluhurnya sebagai pejuang saat mengusir penjajah.

"Mungkin karena terjadi perang, kekejaman segala macam dipesan seperti itulah. Kalau (pantangan ziarah) yang umum ya kan istilahnya kalau perempuan lagi datang bulan kan enggak boleh ziarah. Kalau di sini ya pantangan ketika ziarah enggak boleh pakai seragam atribut kedinasan aparat," ujarnya.

Sebagai pejuang kemerdekaan Mbah Datuk Banjir tidak hanya bekerja sama dengan alim ulama dari berbagai daerah yang dikenal memiliki kesakitan di luar nalar manusia.

Semasa hidup mbah Datuk Banjir mengajarkan ilmu bela diri kepada warga Lubang Buaya.

Kala itu Lubang Buaya masih berupa kampung, belum berstatus kelurahan sebagaimana sekarang di zaman modern.

Pun kebanyakan warga Lubang Buaya kala itu merupakan petani.

Perlawanan yang dipimpin Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah cukup membuat kewalahan penjajah Belanda.

"Pernah ada yang aparat yang datang mau ziarah, sudah dianjurkan untuk melepas seragam tapi enggak mau."

"Akhirnya ada saja yang istilahnya kena yang kurang bagus. Seperti dia jalan masuk terus jatuh, benjol," tuturnya.

Dalam kasus lain, ada aparat merasa seolah-olah dirinya tenggelam saat masuk ke area makam karena mengabaikan pantangan untuk melepas seragam dinasnya.

Lalu ada peziarah yang merasa kakinya seperti terperosok ke dalam lantai karena menolak mengikuti pantangan sesuai permintaan Mbah Datuk Banjir.

"Kita kan sudah bilang baik-baik. Artinya apa salahnya, kalau memang kita enggak cocok (dengan pantangan melepas seragam dinas saat ziarah) ya pulang."

"Di sini kan amanah, bukan profesi. Makannya saya benar-benar menertibkan banget orang yang pada ziarah," lanjut Yanto.

Selain makam Mbah Datuk Banjir, di area makam terdapat delapan pusara keturunan Mbah Datuk Banjir yang jadi juru kunci makam.

Tapi hanya makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah yang dikeramatkan, lokasinya berada dalam satu ruang dengan lebar sekitar 3 meter dan panjang 4 meter.

Untuk memasuki ruang makam Mbah Datuk Banjir yang terdapat satu kelambu, dan dua guci di bagian kanan dan kiri peziarah harus lebih dulu menemui Yanto pemilik kunci ruangan.

"Kalau pusaka Mbah Datuk Banjir ada di ruang lain, tapi enggak boleh diambil foto. Kalau kereta kuda di bagian belakang dulu digunakan untuk transportasi membawa hasil tani," ucap dia.

Bertarung dengan Buaya Siluman

Ia mengatakan pencetusan nama Lubang Buaya itu berawal saat leluhurnya melakukan perjalanan ke Jakarta pada abad 7.

"Menurut cerita kake knenek saya, sebelum sampai kemari melakukan perjalanan melalui rute Kali Sunter. Mengendarai kendaraan dari bambu, disebut getek kalau enggak salah," kata Yanto.

Dalam perjalanannya itu, getek yang digunakan Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah seolah tersedot ke lubang hingga menyentuh bagian dasar Kali Sunter.

Namun, Mbah Datuk Banjir tidak sampai terseret ke lubang, dia berhasil tiba di daratan.

"Memang di Kali Sunter itu ada penguasanya zaman dulu. Ya selain buaya-buaya biasa ada penguasa gaib yang disebut siluman buaya putih," ujarnya.

Merujuk keterangan leluhurnya, buaya putih penguasa Kali Sunter tersebut dikisahkan bernama Pangeran Gagak Jakalumayung yang memiliki anak berjuluk Mpok Nok.

Mpok Nok berwujud buaya tanpa ekor atau disebut warga buaya buntung.

Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Cipayung, alim ulama pencetus nama Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu (17/4/2021).
Makam Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah di Cipayung, alim ulama pencetus nama Lubang Buaya, Jakarta Timur, Sabtu (17/4/2021). ((TRIBUNJAKARTA.COM/BIMA PUTRA))

Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah pun lalu berkelahi dengan keduanya.

"Mbah Datuk Banjir kan datang kemari sebagai pendatang. Masuk di kampung ini berhadapan dengan halangan-halangan daripada jin, penguasa Kali Sunter. Akhirnya bisa ditaklukkan dan akhirnya bisa dijadikan, bahasa kasarnya santrinya lah," tuturnya.

Setelah menaklukkan 'penguasa' Kali Sunter, Mbah Datuk Banjir mencetuskan nama Lubang Buaya.

Dalam menyebarkan agama Islam, Mbah Datuk Banjir disambut baik warga setempat yang kala itu bertani padi sebagai profesi utamanya.

Warga Lubang Buaya diajarkan ilmu bela diri untuk melawan penjajah Belanda yang datang menaklukkan Jakarta.

"Mbah Datuk Banjir secara enggak langsung melindungi Kampung Lubang Buaya ini dengan bentuk kesakitan dan karmahnya. Sehingga kampung ini terlihat seperti laut, tidak bisa diinjak penjajah Belanda, enggak bisa masuk," lanjut Yanto.

Dikisahkan, Mbah Datuk Banjir memiliki sejumlah senjata pusaka yang digunakan untuk berperang.

Dua di antaranya Golok Si Bule dan Keris Bengkok. Kedua benda pusaka ini kini tersimpan di area pemakaman Mbah Datuk Banjir Pangeran Syarif Hidayatullah.

"Meninggalnya bukan saat berperang, kalau bahasa spiritualnya memang sudah harus pindah," sambung Yanto.

Artikel ini telah tayang di Tribunjakarta.com dengan judul Makam Mbah Datuk Banjir Leluhur Lubang Buaya, Pantangan Khusus untuk Aparat, Bila Melangggar Benjol

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved