Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim Sebut Pandemi Covid-19 Memengaruhi Keselamatan Penerbangan
Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim Sebut Pandemi COVID-19 Memengaruhi Keselamatan Penerbangan
TRIBUNSUMSEL.COM - Dunia penerbangan Indonesia saat ini tengah berduka.
Pesawat Sriwijaya Air dengan nomor penerbangan SJ 182 rute Jakarta – Pontianak dikonfirmasi jatuh di perairan Kepulauan Seribu pada Sabtu (09/01).
Pesawat jenis Boeing 737-524 yang membawa 50 penumpang umum dan 12 kru pesawat tersebut hilang kontak tak lama setelah lepas landas dari Bandara Soekarno Hatta, Tangerang, Banten.
Banyak dugaan muncul terkait sebab terjadinya kecelakaan, bahkan tidak sedikit yang menyamakan insiden SJ 182 dengan Air Asia QZ 8501 pada tahun 2014.
Dugaan jatuhnya pesawat akibat gagal mesin ditepis Pengamat Penerbangan dari Pusat Studi Air Power Indonesia, Marsekal TNI (Purn) Chappy Hakim, yang menilai segala dugaan atau analisis sejauh ini hanya bersifat spekulatif.
"Kalau saya lebih kepada menunggu pernyataan dari Komisi Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), karena kecelakaan yang total loss atau tidak ada yang selamat itu sebenarnya kita tidak akan pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi sampai nanti KNKT mengeluarkan hasil akhir dari investigasinya,” ujar Chappy ketika dihubungi DW Indonesia, Senin (11/01).
Chappy mengungkapkan faktor pandemi COVID-19 sedikit banyak mempengaruhi keselamatan penerbangan.
"Misalnya saja sudah puluhan maskapai yang bangkrut, adanya pengurangan karyawan, dan paling terlihat jelas adalah banyak pesawat yang tidak terbang. Banyaknya pesawat yang tidak terbang ini merupakan persoalan sendiri dan saya pikir itu juga jadi catatan bagi KNKT untuk melihat atau mengambil data-data awal investigasi kecelakaan secara keseluruhan,” ungkapnya.
Pembentukan mahkamah penerbangan
Maskapai Sriwijaya Air telah menegaskan pesawat yang digunakan dalam penerbangan menuju Pontianak sudah laik terbang. Namun, berkaca pada beberapa insiden yang pernah terjadi di Indonesia, Chappy menilai sudah seharusnya pemerintah membentuk Mahkamah Penerbangan.
"Dari hasil KNKT seharusnya ada tindak lanjut semacam Mahkamah Penerbangan untuk corrective action (pembenahan -red.)sehingga mungkin ke depan kita bisa lebih baik. Tetapi badan ini juga belum dibentuk walaupun sejak 2009 sudah ada di undang-undang nomor 1 tentang penerbangan bahwa badan itu harus dibentuk. Karena kalau investigasi kecelakaan berhenti di KNKT, maka bisa berulang kesalahan sejenis yang mungkin saja terjadi, tidak dilihat ada sanksi dan sebagainya,” papar Chappy.
Mantan Kepala Staf TNI Angkatan Udara itu menjelaskan hasil dari International Civil Aviation Organization (ICAO) yang menyebutkan nilai efektif implementasi keselamatan penerbangan Indonesia mencapai 81,15% pada tahun 2018 harus menjadi pegangan bagi setiap maskapai.
"Jadi kita harus berasumsi bahwa semua prosedur, termasuk pernyataan laik atau tidak laik terbang terutama dalam konteks Sriwijaya Air ini memang sudah benar. Sampai nanti hasil penyelidikan menyebutkan lain,” ungkapnya.
Indonesia lalai soal keamanan penerbangan?
Berdasarkan data Aviation Safety Network, sedikitnya 46 kecelakaan pesawat terjadi di Indonesia dalam kurun satu dekade terakhir. Bahkan, Badan Penerbangan Federal Amerika Serikat (FAA) sempat melarang maskapai Indonesia untuk beroperasi di negaranya dari tahun 2007-2016 karena dinilai memiliki masalah keselamatan. Uni Eropa juga pernah memberlakukan kebijakan serupa dari tahun 2007-2018.
