Cerita dari Penjara: Dari Rindu Anak Sampai Makin Himpit-himpitan Saat Ada yang Diisolasi
Para ibu di penjara wanita benar-benar menantikan dibukanya lagi pintu bagi pembesuk. Ditambah lagi mereka berdesak-desakan di penjara saat pandemi.
Penulis: Prawira Maulana | Editor: Prawira Maulana
Para ibu di penjara wanita benar-benar menantikan dibukanya lagi pintu bagi pembesuk. Ditambah lagi mereka berdesak-desakan di penjara saat pandemi.
Oleh Prawira Maulana
RIUH rendah kumpulan suara manusia langsung terdengar saat pintu dalam Lembaga Permasyarakatatan (Lapas) Perempuan Kelas A II Palembang dibuka. Padahal, blok penjara terdekat masih dipisahkan selasar dan taman sementara blok terjauh dipisahkan lapangan seluas lapangan basket.
Penjara itu dirancang hanya untuk kapasitas 151 penghuni, namun kini ada 488 orang warga binaan yang mendekam di sana.
Senin (1/12) siang Tribun Sumsel masuk ke penjara yang berada di jantung Kota Palembang itu di Jalan Merdeka sekitar 400 meter dari Jembatan Ampera Palembang. Sama seperti penjara lainnya, sejak bulan Maret 2020, pintu penjara itu ditutup bagi pembesuk. Empat bulan lalu seorang warga binaan di situ terkonfirmasi positif Covid-19.
“Kita tidak bisa menerapkan social distancing di sini, baik di dalam kamar ataupun di kegiatan,” kata Tri Anna Ariyati, Kepala Lapas Perempuan Kelas II B Palembang.
Tri merinci lagi ikhwal social distancing tak bisa diperlakukan di sini. Sel kecil yang idealnya kapasitas 3 orang kini di isi 15 warga binaan. “Sementara sel besar yang harusnya 27 orang kini penghuninya 52 orang,” katanya. Langkah pencegahan penularan Covid-19 di sini lebih difokuskan pada orang luar yang jangan sampai membawa virus ke dalam. Seperti yang pernah terjadi pada bulan Juli lalu itu.
Kala itu seorang warga binaan yang berusia di atas 50 tahun dinyatakan positif Covid-19. Usut punya usut diduga warga binaan itu tertular oleh petugas Lapas. Tri menceritakan bagaimana mereka melakukan langkah mitigasi agar virus itu tak menyebar luas. “Warga binaan itu tetap kami rawat di sini. Diisolasi sampai sembuh,” katanya.
Belakangan, Lapas menerapkan standar ketat. Semua petugas pengamanan harus menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap setiap kali berada di kawasan blok warga binaan. Mulai dari masker sampai sarung tangan.
Selain itu, setiap warga binaan yang menunjukkan gejala langsung diisolasi selama 12 hari. “Setelah 12 hari lalu kita rapid test dan jika reaktif kita PCR,” katanya. Karena butuh ruang isolasi sendiri pada warga binaan yang bergejala, alhasil penjara itu makin tambah sesak. “Terpaksa makin himpit-himpitan,” katanya.
Tri mengakui bahwa imun warga binaan tentu lebih rendah ketimbang kita yang hidup di luar penjara. Mereka pun lebih rentan tertular. “Kalau sampai tertular dan terjadi apa-apa kita pasti disalahkan keluarga warga binaan, pimpinan juga,” katanya.
Sama seperti penjara lainnya di zona merah, Lapas Perempuan Kelas II Palembang juga menutup jadwal besuk bagi warga binaan. Tak hanya itu, penjara juga tak menerima kiriman barang dari orang luar.
Video Call Disadap
Akses orang luar pada warga binaan difasilitasi lewat perangkat telepon dan fasilitas panggilan video atau video call. Namun penerapan panggilan di sini lebih ketat.
Sebelumnya Tribun Sumsel sempat menurunkan tulisan tentang situasi penjara anak selama pandemi. Di penjara anak juga ditiadakan jadwal besuk lalu diganti dengan fasilitas video call. Namun di sana panggilan video yang disediakan cukup dengan fasilitas whatsapp yang diaplikasikan lewat komputer.
Di sini, semua panggilan baik telepon dan panggilan video harus direkam. Lapas Perempuan Kelas II B menggunakan aplikasi khusus bernama Iwartelsus. Menurut Tri, 90 persen warga binaan di sini adalah kasus narkoba. “Bayangkan kalau tidak direkam, bisa-bisa ada yang mengatur peredaran narkoba dari sini dengan alat itu,” katanya.
Belum lama ini ada seorang tahanan titipan yang melarikan diri saat di persidangan di Pengadilan Negeri Palembang. Warga binaan itu cepat ditangkap setelah rekaman percakapannya saat mengatur pelarian dibuka. “Itulah kenapa harus direkam,” katanya.
Ruangan Iwartelsus berada di pinggir lapangan tengah blok penjara dekat dengan kantor petugas. Selasa siang itu, beberapa warga binaan sedang menelepon dan beberapa menggunakan panggilan video. Panggilan video menggunakan perangkat tablet.
Rindu Anak
Rina (45) meminta putrinya mengelilingi seluruh penjuru rumah. Dari ruang depan sampai dapur dan kamar mandi. Ia ingin melihat rumahnya tertata rapi atau tidak. Sambil agak malas, anak remajanya itu mengikuti perintah. Wajahnya tampak sebel.
Sudah delapan bulan Rina tak bertemu langsung putrinya. Siang itu dia harus tiga kali mencoba sebelum berhasil terhubung dengan putrinya. “Kangen ingin peluk anak-anak. Tapi mau bagaimana lagi,” kata Rina.
Panggilan video itu bukan tanpa biaya. Biaya panggilan itu dibebankan ke warga binaan. Selain itu waktunya pun dibatasi paling lama lima menit saja. Rina mengaku uangnya tak banyak untuk setiap hari bisa mengaksesnya.
Menurut Rina, meski tak bisa bertemu langsung, lewat panggilan video ini ada keunggulan lain. “Kalau pakai video call saya bisa melihat isi rumah. Membayangkan rumah jadi lebih mudah,” katanya.
Sementara itu warga binaan lainnya, Ririn (36) mengingat-ingat saat dua anaknya menjenguk saban Sabtu atau Minggu. Biasanya kedua anak perempuannya yang masih sekolah itu datang menjenguknya berjam-jam. “Mereka bawa PR-nya dan sambil belajar di sini. Hampir setiap minggu,” katanya.
Diwawancarai Ririn siang itu menangis. Menurutnya sekarang hidupnya benar-benar terasa berat. Dipenjara sudah berat, kini ia tak bisa bertemu langsung putri-putrinya.
Ririn divonis 5 tahun 2 bulan penjara. Tahun 2017 lalu ia kedapatan jadi kaki tangan bandar narkoba mengantar sabu-sabu. Ia tak tahu pembelinya adalah polisi yang menyamar. Di Kawasan Lemabang Palembang, Ririn membawa pemilik narkoba bertemu dengan pembeli. “Setelah ditangkap saya sempat dituduh jadi cepu (informan, red) polisi,” katanya.
Sebagai ibu dan anak Ririn mengaku benar-benar merasa bersalah dan kini tak bisa berbuat banyak. Kedua putrinya yang masih berusia 16 dan 10 tahun kini dirawat neneknya. Biasanya ia memberi uang namun kini malah membebani.
Ririn sebenarnya kini lebih leluasa ketimbang warga binaan lainnya. Tiga tahun menjalani hukuman dan berkelakuan baik kini ia jadi warga binaan pendamping. Ia bisa lebih leluasa di sana. Perannya mendamping warga binaan lain dan jadi penghubung antara sipir dan warga binaan.
Kini waktu di di penjara lebih banyak dihabiskan dengan memberikan pelatihan. Utamanya sebagai instruktur senam. Sebelum dibui ia dulunya memang instruktur amatir dan bekerja di salon kecantikan. “Saat keluar nanti saya mau buat salon,” katanya.
Warga binaan mengharapkan pintu penjara kembali dibuka bagi pengunjung. Berharap Kota Palembang jadi zona hijau.
Namun, saat berita ini dirilis Kota Palembang kembali masuk zona merah Covid-19. Terjadi lonjakan pasien terkonfirmasi dalam sepekan. Dalam sehari 9-10 Desember 2020 saja terjadi penambahan 48 kasus. Total terakhir di tanggal 10 Desember tercatat 4521 terkonfirmasi, 3541 sembuh sementara 251 meninggal dunia.