Pilkada Serentak 2020
Pelaku Money Politic di Pilkada Licin Sehingga Sulit Ditindak, Bawaslu Sumsel Beberkan 4 Modusnya
Menurut anggota Bawaslu Sumsel Divisi Pengawasan dan Hubungan antar lembaga (Hubal) A Junaidi, pelaku money politik selama ini licin
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Wawan Perdana
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Pencoblosan Pilkada serentak tahun 2020, menunggu hari yaitu 9 Desember 2020.
Jelang hari pencoblosan, isu money politic atau politik uang terus membayangi.
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) provinsi Sumatera Selatan (Sumsel) sudah memetahkan kerawanan dan banyak modus yang akan dikakukan paslon ataupun timnya untuk melakukan hal itu.
Menurut anggota Bawaslu Sumsel Divisi Pengawasan dan Hubungan antar lembaga (Hubal) A Junaidi, pelaku money politik selama ini licin dan sulit menindaknya.
Oleh sebab itu Bawaslu butuh peran masyarakat untuk menjadi saksi.
Hal ini berkaca pada Pilkada sejak 2013, 2015, 2017 dan 2018, yang pelakunya diproses masih sedikit.
"Sekarang Pilkada 2020, selalu dibayangi racun demokrasi, salah satunya terkait money politic atau politik uang," kata Junaidi.
Bawaslu susah mendapatkan atau menangkap pemberi atau penerima karena mereka sangat licin dan sangat sulit melakukan pengawasan saat pelanggaran itu.
Junaidi menjelaskan, modus perbuatan politik uang selalu mengalami perubahan atau bertransformasi, sehingga sulit untuk ditindak.
"Na, modusnya kalau dulu dibagikan kepada pemilih, dengan janji tertentu (uang atau barang), kemudian yang bersangkutan menerima uang dengan dalil nanti akan memilih calonnya."
"Sekarang kadang-kadang tidak seperti itu lagi, dengan mengumpulkan orang dari kelompok orang tertentu, komunitas, dihitung orangnya oleh ketuanya dan kami punya sekian lalu diajukan proposal," jelasnya.
Modus kedua diungkapkan Junaidi, terkadang pelaku politik uang secara terselubung melakukannya dengan cara bagi- bagi kartu, seperti kartu berobat gratis atau sembako yang dilakukan oleh agen-agen atau sales kepada masyarakat.
"Ketiga, biasanya petahana atau calon menggunakan orang- orang sebagai tim sukses bayangan, lalu orang itu mendata ke rumah- rumah, agar data tersebut dijadikan data otentik nantinya siapa saja yang memiliki hak pilih memilih kita atau tidak, dengan catatan semacam uang untuk transport dan lain- lainnya," bebernya.
Terakhir dijelaskan Junaidi, terkadang mereka melibatkan ASN (Aparatur Sipil Negara) khusunya dari petahana, melalui RT (Rukun Tetangga) sebagai tim sukses bayangan.
"Jadi modus- modus ini kemungkinan terjadi, oleh karena itu bawaslu himbau kepada seluruh paslon, tim sukses dan ASN menghindari namanya politik uang," tegasnya.
Ditambahkan Junaidi, dalam mengantasi hal itu jajarannya, khusus Bawaslu 7 Kabupaten yang melaksanakan Pilkada serentak 2020, akan membuat tik patroli disetiap titik yang rawan terjadi money politik.
"Insya Allah, dalam waktu dekat kita melakukan patroli keliling dalam mencegah politik uang. Terakhir pada H-3 pencoblosan, kita kerahkan patroli dan pengawasan disetiap tingkatan, baik desa hingga kabupaten dalam upaya mencegah terjadinya politik uang tersebut," ujarnya.
Dikatakan Junaidi, sesuai indeks kerawanan pemilu yang dikeluarkan Bawaslu dalam kurun waktu 10 hari sekali, memang politik uang berada diurutan ke 5.
Sedangkan diperingkat 1 masalah Daftar Pemilih (DPT).
Namun, tidak menutup kemungkinan money politik kedepan akan menjadi rangking pertama, apabila penyelenggara dan stakehokder yang ada tidak melakukan upaya- upaya edukasi.
"Money politik ini susah dan sulit dideteksi atau ditangkap Bawaslu, karena harus memenuhi syarat- syarat tertentu. Misal ada pemberi, penerima, saksi dan barang bukti. Jadi keempatnya menyatu jadi satu kesatuan, jika satu saja tidak terpenuhi, maka tidak bisa masuk dalam kategori money politik," tuturnya.
Junaidi sendiri mencatat, sepanjang pelaksanaan Pilkada serentak 2018 di 9 Kabupaten/ kota plus tingkat provinsi se Sumsel, ia hanya mengetahui ada 2 pelanggaran politik uang dan kemudian dilakukan penindakan tepatnya di Lahat hingga pidana pemilu.
"Saya umpamakan, money politik ini terdengar tapi tidak terlihat, tercium tapi tidak berbau. Kalau hanya mengandalkan Bawaslu saja maka tidak akan efektif dan sesuai harapan."
"Jadi setiap orang wajib juga menindak money politik ini, misal ibu PKK, Karang Taruna, Dosen, guru ikut berperan. Paling tidak kita berprinsip no money politik, tidak akan menerima uang. Kalau ada prinsip itu tidak akan terjadi, sebab kalau tidak ada yang menerima tidak terjadi meski ada yang memberi sogok menyogok," paparnya.
Ia pun berpesan, agar masyarakat yang akan menggunakan hak pilihnya pada 9 Desember mendatang, untuk jangan pernah menerima sogokan paslon.
Sebab akan terdampak terhadap selama 5 tahun kedepan, di mana suara pemilih telah dibeli dan program nanti tidak jelas.
Sehingga masyarakat tidak bisa meminta apa- apa kepada paslon yang jadi, karena kita sudah tergadai.
"Jadilah pemilih yang cerdas, dengan melihat visi misi calon, baru kita menentukan pilihan. Jangan karena iming- iming atau faktor lainnya," pungkas Junaidi.