Kapolda Makassar Bongkar Siapa Dalang Demo Anarkis Tolak UU Cipta Kerja, Ternyata Ini Kelompoknya

Akhirnya terbongkar juga nama-nama oknum dan kelompok yang selama ini diduga mendalangi demo UU Cipta Kerja Omnibus Law yang berakhir rusuh di Makassa

Editor: Moch Krisna
Tribunsumsel.com
Ilustrai Demo Tolak UU Cipta Kerja 

TRIBUNSUMSEL.COM -- Akhirnya terbongkar juga nama-nama oknum dan kelompok yang selama ini diduga mendalangi demo UU Cipta Kerja Omnibus Law yang berakhir rusuh di Makassar, Sulawesi Selatan.

Hal ini diungkapkan Kapolda Sulsel, Irjen Pol Merdisyam. Dia menyebutkan, kericuhan yang terjadi saat aksi tolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di Makassar, lantaran ditunggangi kelompok tertentu.

"Kita bisa katakan ini adalah dari massa anarko," kata Merdisyam saat diwawancara di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar, Sulsel, Kamis (8/10/2020) malam.

Merdisyam mengatakan memang ada kelompok-kelompok anarko itu yang memancing kericuhan terjadi saat unjuk rasa menolak Omnibus Law yang digelar di beberapa titik di Kota Makassar.

Namun, dia mengungkapkan, pihaknya kini sudah berhasil mendorong para pengunjuk rasa yang melakukan tindakan anarkis dan terlibat bentrok dengan polisi di Jalan sekitar kantor DPRD Sulsel dan flyover di Jalan Urip Sumoharjo, Makassar.

tribunnews
Ratusan ribu orang yang terdiri dari buruh, petani, dan mahasiswa diklaim akan menggelar demonstrasi serentak di depan gedung DPR/DPRD dan pemerintah daerah di 30 kota menolak pengesahan RUU Cipta Kerja. (ANTARA FOTO)

"Ada yang menumpang oleh kelompok-kelompok tertentu salah satunya yang kita deteksi yang membuat onar. Yang memancing kerusuhan. Makanya kami berpesan jangan terpancing, terprovokasi kepada pihak-pihak yang ingin melakukan provokasi," ujar Merdisyam.

Sebelumnya diberitakan, bentrokan kembali terjadi di hari ketiga aksi demo tolak pengesahan Omnibus Law Undang-undang Cipta Kerja di sekitar kantor DPR Sulsel di Jalan Urip Sumoharjo, Kecamatan Panakkukang, Makassar, Kamis (8/10/2020) sore.

Bentrok antarpolisi dan pengunjuk rasa tersebut terjadi tidak lama setelah kericuhan pertama yang membuat polisi menembakkan gas air mata setelah dilempar batu oleh massa aksi.

Dalam bentrokan kedua ini, sebuah pos polisi lalu lintas yang berada di sekitar flyover Makassar dilempari bom molotov oleh seseorang dengan menggunakan masker yang diduga massa aksi.

Alasan Pemerintah Paksakan Omnibus Law UU Cipta Kerja

Di tengah lantangnya penolakan berbagai elemen masyarakat sipil, Omnibus Law UU Cipta Kerja resmi disahkan menjadi undang-undang melalui rapat paripurna DPR RI, Senin (5/10/2020).

UU Cipta Kerja terdiri atas 15 bab dan 174 pasal.

Di dalamnya mengatur mengenai ketenagakerjaan hingga lingkungan hidup.

Pemerintah yang diwakili Menko Perekonomian Airlangga Hartarto menyampaikan alasan pentingnya UU Cipta Kerja.

UU Cipta Kerja diperlukan untuk meningkatkan efektivitas birokrasi dan memperbanyak lapangan kerja.

Menurut dia, UU Cipta Kerja akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan pemerintah.

"Kita memerlukan penyederhanaan, sinkronisasi, dan pemangkasan regulasi. Untuk itu, diperlukan UU Cipta Kerja yang merevisi beberapa undang-undang yang menghambat pencapaian tujuan dan penciptaan lapangan kerja," ujar Airlangga Hartarto.

"UU tersebut sekaligus sebagai instrumen dan penyederhanaan serta peningkatan efektivitas birokrasi," lanjut dia.

Sementara itu, Ketua DPR RI Puan Maharani mengatakan, UU Cipta Kerja akan mampu membangun ekosistem berusaha yang lebih baik.

Menurut Puan, pembahasan UU Cipta Kerja yang dimulai DPR dan pemerintah sejak April hingga Oktober dilakukan secara transparan dan cermat.

Dia menegaskan, muatan UU Cipta Kerja mengutamakan kepentingan nasional.

"RUU ini telah dapat diselesaikan oleh pemerintah dan DPR melalui pembahasan yang intensif dan dilakukan secara terbuka, cermat, dan mengutamakan kepentingan nasional, baik dalam jangka pendek maupun dalam jangka panjang," kata dia.

 

Kompas.com mencatat beberapa poin pasal krusial atau pasal kontroversial dalam Bab IV tentang Ketenagakerjaan UU Cipta Kerja, di antaranya sebagai berikut:

* Pasal 59

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak.

* Pasal 59 ayat (4)

UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu, dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja waktu tertentu diatur dengan peraturan pemerintah.

Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun.

Ketentuan baru ini berpotensi memberikan kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak tanpa batas.

* Pasal 79

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam UU Ketenagakerjaan dipangkas.

Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan.

Selain itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan masa kerja enam tahun.

tribunnews
Ilustrasi: aksi demo buruh. Apa Itu Omnibus Law yang Jadi Kontroversi hingga Buruh Menolak Mati-matian? (kompas.com)

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus.

Pasal 79 Ayat (4) menyatakan, pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Kemudian, Pasal 79 ayat (5) menyebutkan, perusahaan tertentu dapat memberikan istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

* Pasal 88

UU Cipta Kerja mengubah kebijakan terkait pengupahan pekerja.

Pasal 88 Ayat (3) yang tercantum pada dalam Bab Ketenagakerjaan hanya menyebut tujuh kebijakan pengupahan yang sebelumnya ada 11 dalam UU Ketenagakerjaan.

Tujuh kebijakan itu, yakni upah minimum; struktur dan skala upah; upah kerja lembur; upah tidak masuk kerja dan/atau tidak melakukan pekerjaan karena alasan tertentu; bentuk dan cara pembayaran upah; hal-hal yang dapat diperhitungkan dengan upah; dan upah sebagai dasar perhitungan atau pembayaran hak dan kewajiban lainnya.

Beberapa kebijakan terkait pengupahan yang dihilangkan melalui UU Cipta Kerja tersebut, antara lain upah karena menjalankan hak waktu istirahat kerjanya, upah untuk pembayaran pesangon, serta upah untuk perhitungan pajak penghasilan.

Pasal 88 Ayat (4) kemudian menyatakan, "Ketentuan lebih lanjut mengenai kebijakan pengupahan diatur dengan Peraturan Pemerintah".

Pasal-pasal UU Ketenagakerjaan yang dihapus

Aturan mengenai sanksi bagi pengusaha yang tidak membayarkan upah sesuai ketentuan dihapus lewat UU Cipta Kerja.

Pasal 91 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur pengupahan yang ditetapkan atas kesepakatan antara pengusaha dan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh tidak boleh lebih rendah dari ketentuan pengupahan yang ditetapkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Kemudian Pasal 91 ayat (2) menyatakan, dalam hal kesepakatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) lebih rendah atau bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, kesepakatan tersebut batal demi hukum, dan pengusaha wajib membayar upah pekerja/buruh menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Selain tercantum pada Pasal 91, aturan soal larangan membayarkan besaran upah di bawah ketentuan juga dijelaskan pada Pasal 90 UU Ketenagakerjaan.

Namun, dalam UU Cipta Kerja, ketentuan dua pasal di UU Ketenagakerjaan itu dihapuskan seluruhnya.

Selain itu, UU Cipta Kerja menghapus hak pekerja/buruh mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja (PHK) jika merasa dirugikan oleh perusahaan.

 

Pasal 169 ayat (1) UU Ketenagakerjaan menyatakan, pekerja/buruh dapat mengajukan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial jika perusahaan, di antaranya menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam.

Pengajuan PHK juga bisa dilakukan jika perusahaan tidak membayar upah tepat waktu selama tiga bulan berturut-turut atau lebih.

Ketentuan itu diikuti ayat (2) yang menyatakan pekerja akan mendapatkan uang pesangon dua kali, uang penghargaan masa kerja satu kali, dan uang penggantian hak sebagaimana diatur dalam Pasal 156.

Namun, Pasal 169 ayat (3) menyebutkan, jika perusahaan tidak terbukti melakukan perbuatan seperti yang diadukan ke lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial, hak tersebut tidak akan didapatkan pekerja.

Pasal 169 ini seluruhnya dihapus dalam UU Cipta Kerja. (*)

Artikel ini telah tayang di TribuTimur.com: https://makassar.tribunnews.com/2020/10/08/terungkap-siapa-penunggang-demo-ruu-cipta-kerja-omnibus-law-yang-rusuh-di-makassar-kata-kapolda?page=all

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved