Pilkada Serentak 2020
Melihat Fenomena Borong Partai di Pilkada Serentak di Sumsel, Ini Analisis Joko Siswanto
Kecenderungan kandidat tunggal bisa saja karena kapitalsasi politik, mengingat kandidat memilik uang sehingga diborongnya partai
Penulis: Arief Basuki Rohekan | Editor: Wawan Perdana
"Seperti di lingkungan istana yang keluarga nyalon (Solo dan Medan), mau tidak mau ada pengaruhnya pusat, hampir semua memanfaatkan dan politik dinasti tidak bisa dihindari karena partai ingin menang. Selain itu, kultur kita masih melihat tokoh-tokoh itu jadi sandaran untuk mengarahkan pemilih, memilih orang dari kerabat orang itu dan undang- undang juga tidak membatasi saat ini," tandasnya.
Mantan komisioner KPU Sumsel Ahmad Naafi menilai, peran parpol sangat dominan sebagai kendaraan politik kandidat untuk maju di Pilkada dari jalur parpol mendaftar ke KPU.
Dimana pencalonan minimal 20 persen kursi di DPRD setempat atau gabungan suara sah pileg 25 persen.
"Demokrasi parpol tidak akan hilang dan menjadi utama bagi syarat pencalonan bapaslon. Dimana ini diatur di undang- undang pilkada dan PKPU No 5/ 2020 tentanf pencalonan kepala daerah. Kita tidak pungkiri, memang ada parpol yang menguasai sehingga tidak ada ruang interaksi yang berimbang dalam dukungan, sehingga hilang makna Pilkada yaitu kontestasi, sebab Pilkada itu setidaknya minimal ada 2 Bapaslon atau lebih yang diamanati dalam undang- undang," pungkasnya.