Cerita Khas Palembang
Masjid Lawang Kidul Disebut Duplikat Masjid Agung Palembang Dalam Bentuk Mini
Masjid Lawang Kidul Disebut Duplikat Masjid Agung Palembang Dalam Bentuk Mini
Penulis: Melisa Wulandari |
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Kota Palembang di bagian Ulu dan Ilir dihubungkan oleh Jembatan Ampera
Palembang juga memiliki sungai Musi yang merupakan sungai terpanjang di Sumatera yakni sepanjang 750 kilometer.
Sungai Musi tak hanya menjadi denyut nadi ekonomi namun juga menjadi pusat pengembangan agama Islam seperti berdirinya masjid berumur ratusan tahun yakni masjid Lawang Kidul Palembang.
Kiai Muara Ogan yang memiliki nama asli Massagus Haji Abdul Hamid ini selain membangun masjid Kiai Muara Ogan juga membangun masjid Lawang Kidul Palembang ini.
Untuk menuju ke sini bisa melalui jalur darat yakni dari jalan Slamet Riadi Lima Ilir Palembang, atau juga bisa melalui jalur Sungai Musi.
Arsitektur Masjid Lawang Kidul memiliki ciri khas yakni menara masjid yang memiliki tiga undakan pada bagian tubuh menara, kemudian material masjid terdiri atas campuran batu kapur, putih telur dan pasir.
"Bahan-bahan inilah yang membuat masjid ini bertahan lama. Pilar utama masjid yang terdiri dari empat soko guru setinggi 8 meter, dengan 12 pilar pendamping setinggi 6 meter," jelas Ketua Masjid Lawang Kidul, Ki Agus M Fauzi Aroni
Seluruh tiang masjid berbentuk segi-delapan terbuat dari kayu unglen yang disusun tanpa sambungan.
Kemudian terdapat juga mimbar yang diukir kuning keemasan juga terus dipertahankan.
Di masjid ini juga terdapat banyak pintu masuk, pintu utama tepat berada di pinggiran sungai Musi yang menghadap ke arah Selatan.
"Maka dari itu masjid ini disebut Lawang Kidul, Lawang berarti pintu dan kidul itu Selatan, di Selatan ini mengarah ke laut (orang Palembang biasa menyebut sungai dengan sebutan laut)," jelasnya.
"Masjid ini didirikan pada 1881 Masehi oleh Kiai Masagus Haji Abdul Hamid bin Mahmud alias Kiai Muara Ogan.
Berdasarkan catatan yang ada pada prasasti di salah satu pejok mimbar masjid Lawang Kidul yang bertanggal pada 28 Safar 1310 H," jelasnya.
Masjid ini selesai dibangun pada tanggal tersebut, yang kemudian diwakafkan oleh Masagus Haji Abdul Hamid pada 6 Syawal 1310 H atau 23 April 1893 Masehi bersama-sama dengan Masjid Muara Ogan.
Masjid Lawang Kidul maupun Masjid Muara Ogan dibangun dengan biaya sendiri 100 persen oleh Masagus Haji Abdul Hamid Bin Mahmud.
"Hal ini wajar saja karena beliau adalah seorang pengusaha kaya yang sukses pada waktu itu," ujarnya. (Elm)
---
Duplikat Masjid Agung Palembang dalam bentuk mini
Masjid Lawang Kidul adalah semacam duplikat Masjid Agung Palembang dalam bentuk mini, kecuali menaranya yang unik.
Lokasi masjid ini strategis, diapit Sungai Musi dan Sungai Lawang Kidul. Masjid ini dibangun dengan biaya sebesar NF 20.000,00.
Untuk dapat berfungsi sebagai Masjid Jami' masjid ini mengalami sejarah yang sangat berat, panjang serta kompleks. Sebuah kasus yang menarik bagi penulis penulis Barat dan Indonesia untuk membahasnya.
DR H Aqib Suminto dalam bukunya "Politik Islam Hindia Belanda" (LP3S) Jakarta, 1985, hlm. 172/173 menulis:
Pada tahun 1893, di Palembang terjadi perselisihan tentang pembangunan masjid baru setelah adanya Masjid Agung. Di satu pihak, peradilan agama membenarkan inisiatif Masagus Haji Abdul Hamid mendirikan masjid baru tersebut, dan Residen Palembang merestui keputusan Peradilan Agama itu.
Tetapi di pihak lain pendukung Masjid Agung diperkuat oleh Sayid Oesman, yang dalam karyanya Jami'ui fawaid menegaskan bahwa pembangunan masjid baru tersebut tidak bisa dibenarkan, bahkan menilai masjid semacam ini sebagai Masjid Dhirar.
Perjuangan agar Masjid Lawang Kidul. diizinkan untuk meiaksanakna sholat Jum'at, memakan waktu yang cukup panjang bahkan sampai saat wafatnya Kiai Muara Ogan pada 1319 H atau 1901 M larangan tersebtu masih belum dicabut.
Barulah pada masa putra beliau yaitu Masagus Haji Abumansur di tahun 1914 pelarangan tersebut dicabut.
Masjid lawang kidul juga telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah Kota Palembang. (Elm)