Cerita Mahasiswa Sumsel di Yogyakarta Tahan Rindu Jumpa Orangtua, Banyak Warung Tutup

Dia mengatakan Yogyakarta tidak menerapkan lockdown secara keseluruhan hanya karantina beberapa wilayah.

Penulis: Melisa Wulandari | Editor: Wawan Perdana
Tribunsumsel.com/Khoiril
Ilustrasi Mahasiswa Sumsel di Yogyakarta 

TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Lockdown lokal telah diterapkan pemerintah kota Tegal mulai 30 Maret lalu hingga 30 Juli mendatang.

Semua akses ditutup kecuali jalan provinsi dan nasional.

Beberapa daerah lain juga menerapkan karantina wilayah seperti di Yogyakarta, dengan adanya karantina wilayah ini juga membuat anak rantauan atau mahasiswa dari Sumsel seperti M Hasan Fajri harus menahan diri untuk tidak mudik ke kampung halamannya.

"Ya terpaksa tidak pulang kampung karena mengingat keadaan yang seperti sekarang ini namun orangtua sudah saya kabari agar tidak terlalu khawatir," kata pria asli Siring Agung Kecamatan Semende Darat Ulu, Kabupaten Muara Enim ini.

Dia mengatakan Yogyakarta tidak menerapkan lockdown secara keseluruhan hanya karantina beberapa wilayah.

"Dan dengan beberapa pertimbangan, untuk saat ini saya memilih bertahan. Saya sekarang tinggal di daerah Pogung Lorr," jelasnya.

"Karena wabah Corona ini masalah utama agak kesulitan buat cari makan, warung-warung pada tutup. Saya juga lebih dominan masak sendiri, dengan sesekali pesan via Gofood," katanya yang saat ini kuliah di Universitas Gajah Mada (UGM) ini.

Akses bahan mentah diakui pria yang ambil jurusan Bussiness Management ini sudah agak sulit.

"Sejumlah daerah seperi di Pogung, Kelebengan dan beberapa daerah kecil telah menutup akses sendiri dengan menurunkan palang," jelasnya.

"Saya berharap kepada pemerintah untuk tegas dalam menyikapi masalah ini, pertimbangan yang dilakukan jangan terlalu economics behavior karena ini terkait nyawa," ujarnya.

Dari yang dia amati, sejauh ini ada 2 kebijakan yang efektif dalam memberantas corona yaitu Lockdown atau karantina wilayah, dan tes massal.

"Karena dua kebijakan tersebut dapat diukur kinerjanya, budgetnya, bahkan waktu penyelesaiannya."

"Sementara kebijakan pemerintah dalam hal ini pembatasan sosial berskala besar (PSBB) itu hanya terkesan melegalitas social distancing dan low cost policy bahkan kebijakan gratisan," ujarnya.

Untuk budget dia menyarankan dengan cara pemotongan 50 persen gaji petinggi-petinggi negara seperti presiden dan para menteri, eslon-eslon 1, para anggota DPR, para dirut, manajer puncak, dan dewan komisaris.

"Dana lainnya bisa dialokasikan dari dana pembangunan ibukota baru yang untuk saat ini belum begitu urgent," katanya.

Selain Hasan, mahasiswi Univeritas Muhammadiyah Jakarta (UMJ) Delfina Yanti juga merasa sedikit kesulitan selama wabah Corona ini apalagi Jakarta merupakan tempat terbanyak pasien terjangkit Corona.

"Saya tinggal di sini di Sumur Batu, kalau kuliahnya di Cempaka Putih di UMJ. Di sini agak sepi sih, soalnya jalannya udah pada ditutup juga," kata mahasiswi jurusan Arsitektur ini.

Dia mengaku tak ingin pulang kampung ke Padang karena takut menjadi carier bagi warga di kampungnya.

"Kalau mudik sekarang gak ya, soalnya saya juga mau sidang skripsi nanti 14 April mendatang," katanya.

"Saya juga takut kalau mudik, takut membawa virus ke kampung, kampung saya di Pasaman Barat," ujarnya.

Selama di kosan, Delfina mengaku kalau keluar kosan dua hari sekali buat beli makanan.

"Ya keluar cuma buat beli makan buat persedian gitu, soalnya di kosan aku ga boleh masak selain masak nasi," katanya.

"Dan alhamdulillah di sini warung-warung masih pada buka, kayak minimarket juga masih pada buka," tutupnya.

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved