Saat Diisolasi Nangis-nangis, Cerita 3 Pasien yang Sembuh dari Corona: Tujuh Hari Saya Ketakutan
Tak pelak, keadaannya makin hancur gara-gara serangan yang menderanya sana-sini melalui dunia maya.
"Saya merasa badan saya dikirim ke seluruh Indonesia rasanya. Kita hidup di dunia patriarki di mana saat seperti itu, tubuh perempuan jadi milik bersama untuk dihujat," ungkap dia.
Mental Sita kian terpuruk ketika Covid-19 yang mereka bertiga derita justru jadi sasaran perundungan warganet.
Privasi media sosial
Ilustrasi Wabah Virus Corona. (Kolase TribunNewsmaker - KOMPAS.com/Akbar Bhayu Tamtomo dan Koki Kataoka/The Yomiuri Shimb)
Hal yang membuat muak adalah, warganet menghakimi mereka dengan fitnah menghina soal profesi yang mereka geluti.
Predikat "penari", di benak warganet, mengalami peyorasi makna membuat mereka bertiga dicap buruk oleh warganet berpikiran sempit.
"Tapi yang bikin sakit hati lagi bukan hanya fitnah soal pekerjaan saya dan mereka menghujat ibu saya," ujar dia.
"Waktu itu saya merasa sudah menularkan Covid-19 ke ibu saya, waktu itu saya nangis-nangis," lanjut Sita dengan suara tercekat menahan tangis.
"Whatsapp dan Twitter saat itu sangat buruk ke saya."
Kondisi mental yang buruk akhirnya berpengaruh pada kesehatan tubuhnya.
Sita mengaku berulang kali menggigil dan gemetar di ruang isolasi.
Sebuah hal yang buruk lantaran Covid-19 akan gampang menyerang saat tubuh lemah.
"Stigma orang-orang ke ibu dan Sita jelek banget di luar. Mereka lalu mem-private media sosialnya," ujar Ratri, yang merupakan penyintas kasus 03 Covid-19, dalam kesempatan yang sama.
Tak pelak, keadaannya makin hancur gara-gara serangan yang menderanya sana-sini melalui dunia maya.
Sita memutuskan mengunci akun-akun media sosialnya agar tak dapat diakses publik.