Korupsi Muaraenim
Ini Tanggapan JPU atas Eksepsi Ahmad Yani, JPU KPK: Tidak Berdasar dan Seharusnya Ditolak
Tidak banyak hal yang disampaikan JPU KPK dalam menyikapi eksepsi yang pada sidang sebelumnya telah disampaikan Bupati Muara Enim Ahmad Yani
Penulis: Shinta Dwi Anggraini | Editor: Prawira Maulana
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Tidak banyak hal yang disampaikan JPU KPK dalam menyikapi eksepsi yang pada sidang sebelumnya telah disampaikan Bupati Muara Enim Ahmad Yani melalui kuasa hukumnya.
Termasuk dalam menyikapi isi eksepsi yang menyebut bahwa kasus dugaan suap di dinas PUPR Muara Enim adalah bagian dari rencana jahat pimpinan KPK yang lama untuk menjatuhkan Firli Bahuri sebagai pemimpin baru dari lembaga anti rasuah itu.
JPU hanya berfokus dan menganggap bahwa isi eksepesi sangat tidak berdasar dan seharusnya ditolak oleh majelis hakim.
"Karena jika penasehat hukum yang memahami itu eksepsi, tetapi tidak meletakkan substansi hukum ke tempat yang benar artinya dalil ini bukanlah lingkup eksepsi. Tetapi tetap dimasukkan dalam materi eksepsinya," ujar JPU KPK membacakan isi tanggapan Penuntut Umum atas eksepsi yang diajukan terdakwa pada sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Palembang, Senin (14/1/2020).
Kembali hadir dengan setelan kemeja lengan panjang putih dan celana dasar hitam, seperti biasa, Ahmad Yani tampak terlihat tenang saat mengikuti jalannya persidangan.
Meskipun begitu, ia terlihat mencatat isi tanggapan eksepsi yang dibacakan JPU KPK.
Tampak pula istri dan beberapa anggota keluarganya juga kembali hadir di pengadilan.
Sidang Ahmad Yani sendiri hanya berlangsung sekira 15 menit sebab hanya beragendakan mendengar pendapat Penuntut Umum atas eksepsi yang diajukan terdakwa.
Setelah selesai, bupati Muara Enim non aktif itu langsung berlalu meninggalkan ruang sidang tanpa bersedia memberikan sedikitpun komentar pada awak media yang berusaha mendekatinya.
Sebelumnya, pada sidang lanjutan atas kasus suap yang menjerat Bupati Muara Enim non aktif Ahmad Yani, ikut menyeret nama ketua KPK Firli Bahuri.
Secara lantang, kuasa hukum Ahmad Yani, Mahdir Ismail mengatakan bahwa perkara ini merupakan salah satu cara yang dilakukan petinggi KPK sebelumnya untuk menjatuhkan Firli Bahuri sebagai ketua KPK yang baru.
"Klien kami adalah tumbal dari petinggi KPK yang lama sebagai salah satu cara untuk menjatuhkan Firli Bahuri yang baru terpilih menjadi ketua KPK," ujarnya saat ditemui usai sidang dengan agenda eksepsi yang diajukan Ahmad Yani, Selasa (7/1/2020).
Dalam eksepsi yang dibacakan dihadapan majelis hakim, kuasa hukum Ahmad Yani menyebut soal uang dolar Amerika sebesar USD 35 ribu.
Uang ini diketahui ikut menjadi bukti ketika Robi Okta Fahlevi dan A.Elfin MZ Muchtar terjaring OTT KPK pada (2/9/2019) lalu.
Namun dalam persidangan ini, kuasa hukum Ahmad Yani menyebut bahwa uang tersebut rencananya akan diberikan kepada Firli Bahuri atas inisiatif terdakwa A. Elfin MZ Muchtar dengan alasan yang belum diketahui.
Meskipun diketahui kemudian bahwa pemberian uang itu batal.
Sebab Erlan yang merupakan keponakan dari Firli Bahuri, secara tegas menolak iming-iming terdakwa A.Elfin MZ Muchtar dengan cara memutus komunikasi.
Menurutnya, hal ini diketahui dari BAP dan hasil penyadapan terhadap Robi dan Elfin.
"Inikan ada proses bagaimana mereka mau mencekal pak Firli. Bahkan kalau kita lihat dengan jelas didalam BAP, tegas betul bagaimana proses penyadapan dilakukan," ujarnya.
Kuasa hukum Ahmad Yani juga mempertanyakan perihal tidak adanya upaya konfirmasi dari KPK terhadap sejumlah pihak termasuk Firli Bahuri yang disebut akan masuk dalam daftar penerima uang fee dalam proyek di Dinas PUPR Muara Enim.
Dalam eksepsi disebutkan, terdakwa A. Elfin MZ Muchtar mengatakan bahwa untuk merealisasikan pemberian uang kepada Firli, dia mencoba menghubungi ajudan Kapolda.
Dari situ, ia kemudian diberi nomor kontak Erlan yang merupakan keponakan
Firli Bahuri.
Kembali Mahdir menyebut bahwa keterangan itu terungkap dari BAP maupun penyadapan terhadap terdakwa A. Elfin MZ Muchtar dan terdakwa Robi Okta Fahlevi.
"Tapi pertanyaannya, kenapa tidak ada upaya dari KPK untuk meminta konfirmasi kepada pihak-pihak yang namanya disebut dalam keterangan itu. Bahkan Firli Bahuri juga tidak dimintai konfirmasi," ujarnya.
Hal itulah yang sangat disayangkan oleh pihak Ahmad Yani.
Mahdir berujar, seharusnya antara penegak hukum seperti KPK dan kepolisian sudah seharusnya memiliki sinergi bersama untuk dapat saling berkoordinasi.
"Minimal mereka bisa memberitahu pada Kapolri bahwa ada Kapoldanya yang diduga akan diberi uang dari pejabat daerah. Tapi itu tidak dilakukan bahkan juga kepada Firli yang jelas namanya disebut, juga tidak dilakukan konfirmasi terhadapnya," kata Mahdir.
Terkait pertemuan antara Ahmad Yani dan Firli Bahuri, Mahdi tidak menampik adanya hal tersebut.
Menurutnya, pertemuan itu adalah sesuatu yang wajar. Sebab ia berujar bahwa kliennya hanya sebatas memperkenalkan diri sebagai salah satu pejabat daerah kepada Firli Bahuri yang saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumsel.
"Pertemuan itu hanya silaturahmi yang biasa saja. Sebab sejak Kapolda dilantik, beliau belum pernah bertemu. Jadi beliau menemui Firli untuk memperkenalkan diri sebagai salah seorang pejabat daerah di Sumsel ini," ujarnya.
"Sedangkan terkait permintaan uang USD 35 ribu itu tidak pernah ada. Yang menyinggung soal itukan Elfin yang meminta uang kepada Robi. Sementara Firli tidak pernah menyebut itu. Kapolda tidak pernah meminta uang, begitupun dengan Ahmad Yani yang tidak pernah menjanjikan pemberian uang kepada Kapolda," ujarnya.