Rumah Sakit Diduga Tahan Bayi
Buruh di Prabumulih Tahan Rindu Gendong Bayinya, Ada Tunggakan Rumah Sakit Belum Boleh Pulang
Akibat tak bisa menebus biaya rumah sakit, bayi berumur 4 bulan buah hati pasangan ini belum boleh dibawa pulang
Penulis: Edison | Editor: Wawan Perdana
TRIBUNSUMSEL.COM, PRABUMULIH-Febriyanto (27 tahun) dan Yul Armi Kurniati (23 tahun), suami istri warga Kelurahan Muaradua Kecamatan Prabumulih Timur kota Prabumulih saat ini sangat bingung.
Akibat tak bisa menebus biaya rumah sakit, bayi berumur 4 bulan buah hati pasangan ini belum boleh dibawa pulang.
Bayi malang bernama Delfa Barqi Abbasy lahir pada 23 September 2019 lalu.
Akibat keterbatasan biaya untuk menebus sang bayi, Febryanto dan istri terpaksa menahan rindu berhari-hari untuk menggendong si buah hati.
Tak hanya itu, kedua pasangan yang merupakan keluarga tidak mampu itu terpaksa harus bolak-balik rumah sakit untuk melihat sang anak Delfa Barqi Abbasy.
Ironisnya, akibat tak memiliki uang bahkan keduanya pasangan itu terpaksa mengemis meminta donatur dan mencari dermawan untuk mengumpulkan uang agar bisa menebus sang buah hati.
Kepada wartawan Febriyanto menceritakan, anaknya Delfa Barqi Abbasy lahir dengan kakak kembarannya Dilfa yang lebih dulu dipanggil sang maha kuasa.
Kelahiran kedua anak kembarnya itu dalam keadaan prematur atau Sepsis Neonatorum yang disebabkan oleh Virus dan Bakteri sehingga kedua bayi harus dirawat intensif di dalam inkubator agar bisa bertahan hidup di luar rahim dan mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan baru.
Diduga akibat perawatan intensif itulah yang membuat biaya perawatan dua bayi kembar tersebut membengkak mencapai Rp 34 juta.
Sementara Febriyanto hanya mengandalkan keuangan dari menjadi kuli bangunan sehingga untuk makan saja susah apalagi untuk membayar biaya rumah sakit.
Selanjutnya, sebulan mendapatkan perawatan Dilfa meninggal dunia dan belum sempat berkumpul dengan keluarga serta belum sempat merasakan hangatnya pelukan ayah dan ibunya.
Kesedihan, rasa haru dan rasa bersalah karena keterbatasan ekonomi tak bisa menebus kedua anaknya hingga meninggal membuat Febriyanto serta Yul Armi mengalami sedih berkepanjangan dan merasa berdosa.
Selain sedih karena kepergian anaknya dan tak bisa menebus Delfa karena tak punya uang.
Febriyanto dan istri juga sedih karena tertekan dengan adanya perjanjian dari pihak rumah sakit dimana jika tidak melunasi dibawah tanggal 17 Januari 2020 maka anak kesayangannya harus direlakan untuk diadopsi orang lain.
Bulan terus berjalan sampai saat ini sang bayi pun sudah mulai aktif belajar merangkak namun belum pernah dan tak mengenal hangatnya pelukan ayah dan manisnya air susu ibu (ASI).
Dari bulan ke bulan, Febri dan keluarga besar terus melakukan upaya untuk melunasi utang perawatan sang anak dengan mencicil dari uang bantuan para donatur.
Saat ini jumlah hutang yang harus ia tanggung tinggal sekitar Rp 17 juta untuk bisa mengambil buah hatinya dari rumah sakit.
"Anak kami itu lahir kembar namun kakaknya meninggal dunia usia 1 bulan karena sakit dan ditebus senilai Rp 2,7 juta sehingga bisa dibawa pulang, lalu diurus BPJS untuk Delfa namun dari pihak rumah sakit tidak berlaku. Hingga saat ini sudah tertahan 3 bulan lebih, biaya sudah membengkak yang awalnya mencapai Rp 34 juta," ujar Febriyanto kepada wartawan.
Febriyanto mengaku, dari total tunggakan itu telah dibayar dari bantuan dinas kesehatan Rp 3 juta, Rp 2 juta dicicil keluarga dan Rp 12 juta subsidi rumah sakit sehingga tersisa Rp 17 juta.
"Kemana saya harus mencari uang sebanyak itu, saya hanya buruh. Pernah minta pertolongan kepada Walikota namun katanya itu rumah sakit swasta jadi diluar program pemerintah tapi diarahkan ke Dinas Kesehatan dan dibantu Rp 3 juta," bebernya.
Awalnya menurut Febri, pihak rumah sakit meminta jaminan sertifikat tanah ataupun BPKB motor namun karena tidak ada hanya tersisa motor jelek sehingga rumah sakit tidak mau.
"Akhirnya bikin perjanjian yang diminta oleh pihak Rumah sakit dengan tertanda diatas materai 6000 akan menebus administrasi paling lambat 17 Januari 2020 ini, jika lewat maka terpaksa saya harus mencarikan pengadopsi anakku,"
"Saat ini saya meminta bantuan Lembaga Sosial Kemasyarakatan Yayasan Insan Merdeka Indonesia untuk dicarikan donatur," tuturnya.
Rumah Sakit Bantah Menahan
Direktur RS Fadillah, drg Mariska didampingi Humas, Puji Ramadini membantah pihaknya menahan bayi.
Apalagi kabar yang menyebutkan belum memperbolehkan diambil jika belum menyelesaikan administrasi tunggakan yang masih tersisa sekitar Rp 17 juta.
"Kami membantah rumah sakit menahan karena kami tidak menahan, tapi kami belum memberikan izin karena administrasi belum diselesaikan dan dari sekian banyak kebijakan kami berikan baik pemotongan biaya dan lainnya hingga saat ini dari pihak keluarga belum ada kesepakatan bagaimana cara penyelesaiannya," ungkap drg Mariska.
Mariska menceritakan, awal sang ibu Yul Armi dan Febriyanto datang ke rumah sakit untuk persalinan.
Sang ibu dijamin oleh BPJS mandiri sementara dua anaknya setelah tergolong tidak normal memiliki berat 1,5 kilogram sehingga harus dirawat di tabung inkubator.
"Setelah lahir satu bayi meninggal dunia dan ada billing tagihan Rp 2,6 juta lalu dibayar keluarga dan bayi yang meninggal dibawa pulang untuk dimakamkan."
"Kami kemudian memberi saran agar keluarga mengurus BPJS sehingga perawatan bayi tidak kena biaya dan pihak rumah sakit merujuk ke RSUD Prabumulih, namun ayah bayi tidak mau dirujuk dan agar tetap di RS Fadillah," katanya.
Mariska mengatakan, pihak rumah sakit telah menemui kedua keluarga si bayi dan nenek serta lainnya untuk penyelesaian administrasi karena dari 23 September hingga 2 Desember biaya tunggakan telah mencapai Rp 33 juta.
"Kita temui tapi tidak ada solusi, sebetulnya kami hanya ada konfirmasi dari keluarga mengenai penyelesaian administrasi karena baik ibu dan ayah si bayi sangat susah dihubungi,"
"Sudah tiga kali dilakukan pertemuan baik dengan dinas dan para RT, RW, Lurah dan hasilnya keluarga menyatakan tidak mampu membayar," katanya.
Padahal rumah sakit sudah melakukan pemotongan biaya baik dari bantuan donatur maupun dari potongan rumah sakit, dari total Rp 33 juta tinggal Rp 17 juta karena di diskon Rp 10 juta.
"Bayi ini sebetulnya sudah layak pulang tapi dari keluarga belum ada konfirmasi bagaimana mengambil bayi ini, terakhir kami bertemu bersama lurah, RT dan RW ada kesepakatan dari sang ayah bayi jika dirinya akan menyelesaikan administrasi hingga 17 Januari 2020"
"Ayahnya mengaku tidak sanggup akan mencarikan sendiri orang yang akan mengadopsi, jadi adopsi bukan kami," bebernya.
"Rumah sakit sudah membantu meringankan beban sang ayah dengan diskon senilai Rp 10 juta, kami sudah kurangi sekian banyak bahkan billing kami tutup 2 Desember lalu dan dari sana kami rawat sendiri anak itu dengan bantuan popok dan susu dari pegawai secara gratis," lanjutnya.
Terkait Adopsi, Mariska menegaskan, Febriyanto yang merupakan ayah bayi mengeluarkan pernyataan kalau ada temannya yang ingin mengadopsi anaknya sehingga ditunggu karena banyak pegawai rumah sakit mendengar akan diadopsi banyak yang mau.
"Jadi surat pernyataan itu dibuat sendiri dan disaksikan RT, RW dan lurah, kami sebetulnya siap melepas bayi ini namun siapa yang akan bertanggungjawab karena kedua orang tua dihubungi untuk beli popok dan susu saja tidak pernah aktif handphonenya,"
"Kami juga kasian karena bayi sudah sehat sudah layak dibawa pulang dan rumah sakit rentan penyakit tapi keluarga tidak ada yang konfirmasi," bebernya.
Pantauan Tribunsumsel.com, bayi Delfa Barqi Abbasy dirawat di ruang Neonatus dan mendapatkan perhatian serius dari petugas medis.
Dinkes Tidak Bisa Berbuat Banyak
Kepala Dinas Kesehatan Pemerintah Kota Prabumulih, dr Happy Tedjo melalui Sekretaris dr Hesty Widianingsih mengungkapkan pihaknya tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah terkait bayi yang ditahan pihak rumah sakit swasta karena orang tua bayi belum bisa membayar administrasi.
"Kami tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bisa pasrah, karena memang saat ini bayi dalam keadaan sudah sehat dan rumah sakit sudah mempersilahkan membawa pulang dengan catatan asal administrasi dibayar," ungkap Hesty ketika dihubungi wartawan melalui telpon, Senin (13/01/2020).
Hesty menuturkan, pihak dinas kesehatan sendiri sebelumnya telah membantu sebesar Rp 3 juta dari dana pribadi dan sumbangan seluruh pegawai disebabkan untuk membantu secara kedinasan tidak ada regulasi yang memperbolehkan.
"Kenapa tidak bisa kita bantu karena bayi sudah tidak lagi dalam perawatan medis tapi sudah sehat, kecuali ketika dua atau tiga hari setelah dilahirkan atau ketika menjalani perawatan menghubungi kita maka bisa kita upayakan bantuan," katanya.
Lebih lanjut Hesty menuturkan pihak keluarga dengan dibantu salah satu lembaga sosial masyarakat memberitahu dan menghubungi pihaknya setelah perawatan selesai dan tinggal penyelesaian biaya rumah sakit.
"Kalau saat dirawat tentu akan kita upayakan bantuan melalui program-program kesehatan, sekarang ini sudah sehat tapi tidak ditebus keluarga dan kita tidak ada regulasi mengeluarkan anggaran untuk itu, makanya kita sumbangan secara pribadi memberikan bantuan," katanya.
Disinggung mengapa Dinas Kesehatan tidak menjamin bayi agar bisa dibawa pulang sembari orang tua mencicil, Hesty menuturkan pihak rumah sakit mengungkapkan kepada dinas kesehatan kasus semacam itu sudah sering terjadi dan pihak keluarga tidak bertanggungjawab.
"Menurut mereka orang tua bayi ini susah dihubungi dan tidak ada yang mau menjamin, rumah sakit ini swasta dan mereka mempunyai tuntutan untuk manajemen apalagi katanya bisa dicicil asal ada yang jamin, kita sendiri tidak bisa berbuat apa-apa tapi kita akan upayakan meminta bantuan donatur-donatur," katanya.