Donald Trump Mencak-mencak dan Mengutuk DPR Amerika Setelah Dimakzulkan, Sebut Bunuh Diri Politik
Setelah dimakzulkan lewat keputusan DPR melalui pemungutan suara, Rabu (18/12) malam waktu Washington. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump
Laporan Reporter Kontan, SS. Kurniawan
TRIBUNSUMSEL.COM, MICHIGAN - Donald Trump Mencak-mencak dan Mengutuk DPR Amerika Setelah Dimakzulkan, Sebut Bunuh Diri Politik
Setelah dimakzulkan lewat keputusan DPR melalui pemungutan suara, Rabu (18/12) malam waktu Washington. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengutuknya.
"Pemakzulan partisan yang melanggar hukum dan ini adalah pawai bunuh diri politik untuk Partai Demokrat," kata Trump dalam kampanye untuk pemilihannya kembali sebagai calon Presiden di Michigan.
Trump menyatakan kebanggaannya terhadap Partai Republik di DPR yang bersatu sebagai oposisi terhadap pemakzulannya, dan atas tiga anggota parlemen asal Demokrat yang juga memilih untuk menentang impeachment.
Trump menyebutkan, Ketua DPR Nancy Pelosi dan Demokrat telah memberi diri mereka "tanda malu abadi", dan puluhan juta orang akan muncul tahun depan untuk menurunkan kontrol Demokrat atas DPR juga memilih Pelosi keluar dari Capitol Hill, kantor DPR AS.
"Mereka adalah orang-orang yang harus dimakzulkan, masing-masing dari mereka," tegas Trump tentang Pelosi dan anggota DPR dari Demokrat.
Tidak ada tanda-tanda dari pendukung yang hadir dalam kampanye di Michigan yang antusiasme mereka berkurang terhadap Trump pasca pemakzulannya oleh DPR AS. "Empat tahun lagi!" teriak mereka serentak.
Trump menunggu DPR memulai proses pemungutuan suara sebelum naik ke panggung untuk berpidato di hadapan ribuan pendukung yang bersorak-sorai, dan menyiapkan gambar layar terpisah untuk menonton langsung hasil voting di parlemen.
Kasusnya sekarang ada di tangan Senat, tempat McConnell bersumpah pemakzulan akan gugur. McConnell, sekutu dekat Trump, merencanakan persidangan pada awal Januari 2020 dan telah meyakinkan Gedung Putih bahwa Trump tidak bakal lengser dari jabatannya.
Untuk memakzulkan Trump di level Senat, butuh 67 suara dari total 100 senator. Ini berarti, Demokrat harus membujuk setidaknya 20 Republikan untuk bergabung dengan mereka untuk mengakhiri kepemimpinan Trump.
Sekretaris Pers Gedung Putih Stephanie Grisham merilis pernyataan setelah pemungutan suara DPR yang menyatakan keyakinan bahwa Trump akan "sepenuhnya bebas" dari pemakzulan.
Artikel ini tayang di Kontan dengan judul Dimakzulkan, Trump kutuk keputusan DPR AS
Dari total 435 anggota DPR AS yang mengikuti voting, 230 suara menyetujui pemakzulan.
Voting digelar atas dua dakwaan pemakzulan yakni penyalahgunaan kekuasaan dan menghalangi Kongres AS.
"Kita untuk membela demokrasi bagi rakyat," ujar Ketua DPR AS, Nancy Pelosi.
Voting DPR ini datang empat bulan setelah Whistleblower meniup skandal Trump menekan Presiden Ukraina untuk menyelidiki dan mengumumkan penyelidikan yang mendiskreditkan rival politiknya, Joe Biden.
Dalam catatan sejarah AS, Donald Trump adalah presiden ketiga setelah Andrew Johnson (1868), dan Bill Clinton (1998) yang dimakzulkan oleh DPR AS.
Pasal pemakzulan dan duduk perkara
DPR AS menyetujui dua pasal pemakzulan terhadap presiden 73 tahun itu.
Pasal pertama: Penyalahgunaan Kekuasaan, mendapat dukungan 230, dengan 197 politisi House of Representatives.
Adapun jumlah minimal dukungan yang diperlukan di DPR AS guna membawa proses pemakzulan Trump ke level Senat adalah 216.
Sementara pasal 2: Menghalangi Penyelidikan Kongres menerima dukungan 229, dalam hasil yang dibacakan Ketua DPR AS Nancy Pelosi.
Trump pun menjadi presiden setelah Andrew Johnson (1868), dan Bill Clinton (1998) yang dimakzulkan di level DPR AS.
Setelah ini, tahap selanjutnya dalam proses pemakzulan adalah membawa resolusi tersebut ke level Senat, di mana mereka akan membahasnya tahun depan.
Di tahap ini, kecil kemungkinan Trump bakal dilengserkan karena 53 dari 100 kursi senator dipegang oleh Partai Republik.
Tanggapan Trump
Presiden Donald Trump menuding, pemakzulan yang terjadi terhadap dirinya adalah "serangan terhadap AS".
Pada Rabu waktu setempat (18/12/2019), DPR AS menggelar sidang paripurna untuk meloloskan dua pasal yang dipakai memakzulkan sang presiden.
Dua pasal pemakzulan itu adalah penyalahgunaan kekuasaan, dan upaya menghalangi penyelidikan yang dilakukan Kongres AS.
Setelah sesi debat yang dipaparkan kedua kubu, dua pasal itu diprediksi bakal lolos karena Demokrat menjadi mayoritas.
Trump merespons sidang paripurna itu dengan serangkaian kicauan di Twitter, di mana dia menuduh Demokrat melakukan kebohongan.
"INI ADALAH SERANGAN TERHADAP AS DAN SERANGAN TERHADAP PARTAI REPUBLIK!!!!" sembur Trump seperti diwartakan AFP.
Kemudian dia menyindir Ketua DPR AS, Nancy Pelosi, yang akan dianggap sebagai pemimpin paling buruk dalam sejarah legislasi AS.
Pada malam sebelumnya, presiden berusia 73 tahun itu mengirimkan surat yang mengkritik proses pemakzulan dirinya.
Dalam suratnya itu, presiden ke-45 AS tersebut membandingkan sidang yang dilakukan DPR AS dengan pengadilan penyihir di Salem.
Dia mengklaim telah "dicabut dari proses dasar Konstitusi AS melalui pemakzulannya", dengan haknya untuk menyajikan bukti disanggah.
Klaim tersebut dibantah Wali Kota Salem, Kim Driscoll, di Twitter dengan menyebut korban dalam pengadilan penyihir Salem tidak boleh menyajikan bukti.
Nancy Pelosi kepada awak media menuturkan, dia belum membaca surat itu. Namun, dia bisa menerka isinya "sangat memuakkan".
Dalam pidato pembukaannya, Pelosi mengatakan Trump tidak memberikan DPR AS pilihan karena sudah menjadi ancaman nasional AS.
"Sangat tragis karena kecerobohan presiden sendiri yang membuat pemakzulan ini perlu diadakan," katanya yang disambut tepuk tangan politisi Demokrat.
Jika lolos, Trump bakal menjadi presiden ketiga setelah Andrew Johnson (1868) dan Bill Clinton (1998) yang dibawa ke hadapan Senat.
Di tahap ini, kecil kemungkinan Trump bakal dilengserkan karena 53 dari 100 kursi senator dipegang oleh Partai Republik.
Dalam konferensi pers pasca-pemungutan suara, Ketua Komite Yudisial Jerry Nadler mengatakan, Trump memang layak dimakzulkan.
Dia menjelaskan, presiden ke-45 AS tersebut secara nyata sudah menampilkan bahaya nyata bagi sistem pemilihan dan pembagian kekuasaan di AS.
"Seorang Presiden AS tidak diperkenankan untuk menjadi diktator," ucap Nadler dalam keterangannya sebagaimana diberitakan BBC.
Trump menjalani sidang pemakzulan buntut percakapan teleponnya dengan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky pada 25 Juli lalu.
Dalam percakapan itu, Trump dituduh menekan Zelensky guna menyelidiki Joe Biden, calon rivalnya dalam Pilpres AS 2020 mendatang.(*)
Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com dengan judul Alasan DPR AS Makzulkan Donald Trump,