Hari Guru 2019
Siti Komaria Setia Mengajar Meski 2 Tahun tak Digaji, Cerita Perjuangan Guru di Perbatasan Palembang
Satu-satunya guru yang setia mendidik dan mengajari mereka meski dengan gaji kecil yang terkadang hanya diambil kalau sudah kepepet
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG-Dengan segala keterbatasan, 25 orang siswa dan siswi SD Muhammadiyah 4 Filial dari kelas 1 sampai kelas 6 tetap semangat belajar.
Mereka beruntung, karena memiliki guru seperti Siti Komariah.
Satu-satunya guru yang setia mendidik dan mengajari mereka meski dengan gaji kecil yang terkadang hanya diambil kalau sudah kepepet.
Bahkan Komaria pernah dua tahun tak ambil gaji.
Mendengar nama SD Muhammadiyah 4 Filial, mungkin banyak masyarakat Palembang dan daerah sekitarnya belum tahu.
SD tersebut lokasinya memang jauh di di RT 36 Dusun IV Desa Saluran, Kecamatan Talang Kelapa, Kabupaten Banyuasin.
SD Muhammadiyah 4 Filial belakangan menyita perhatian karena kondisi bangunannya yang sangat tidak laik.
Rabu (20/11/2019), Tribun mendatangi SD Muhammadiyah 4 Filial yang memakan waktu perjalanan sekitar satu jam dari pusat kota Palembang.
Perjalan melalui Kecamatan Sako, menelusuri Jalan Sematang Borang sepanjang 6 kilometer hingga menjumpai Jembatan Sematang Borang II.
Menurut warga sekitar, Desa Saluran diakses melalui pertigaan jalan persis sebelum Jembatan Semarang Borang II.
"Masuk ke dalam kira-kira 3 kilometer ke Desa Saluran," kata seorang warga yang melintas di pertigaan jalan tersebut.
Mengendarai sepeda motor, wartawan Tribun melewati jalanan tanah menuju Desa Saluran.
Sepanjang perjalanan, di kanan-kiri jalan tampak banyak pembanguan perumahan di wilayah tersebut.
Semakin ke dalam, jalan semakin sempit dengan 'diapit' tanaman-tanaman sawit di kanan-kiri jalan.
Setelah melewati perkebunan sawit, sampailah di Desa Saluran lokasi SD Muhammadiyah 4 Filial.
Begitu melihat bangunan SD tersebut, cukup membuat terperangah. Terkesan mirip rumah pembuatan batu bata jika dilihat dari luar.
Dinding bangunan SD memang terbuat dari batu bata, namun tidak diplester sedikit pun. Atap bangunan berupa seng tampak berkarat dan banyak sekali bolongnya. Tiang penyangga atap di teras bangunan pun terbuat dari empat batang kayu yang mulai lapuk digerogoti rayap.
Bangunan sepanjang 20 meter dan lebar 7 meter itu dikelilingi pepohonan dan tanaman liar di sekitarnya.
Ada beberapa rumah di sekitar SD, namun letaknya sangat jarang antara satu dan lainnya.
Begitu masuk ke dalam ruangan kelas, tampak aktivitas belajar-mengajar sedang berlangsung. Karena sudah menunjukkan pukul 10.30, siswa yang belajar tinggal 10 orang.
Adapun siswa lainnya telah lebih dahulu pulang.
Siti Komariah, satu-satunya guru di SD Muhammadiyah 4 Filial mengatakan, ada total 25 orang siswa anak didiknya.
"Siswa dari kelas 1 sampai kelas 6 semuanya ada 25 orang," kata Komariah.
Ya, seluruh siswa dari 6 kelas belajar di satu ruangan tersebut. Setiap hari dari Senin hingga Sabtu, siswa belajar selama 3 jam, mulai pukul 08.00 hingga pukul 11.00.
Komariah mengungkapkan, kondisi ruangan belajar tersebut sudah dimaklumi anak-anak didiknya.
"Beginilah kondisinya. Kalau sedang hujan, atap bocor, suara air jatuh terdengar berisik karena atap seng. Kalau sedang panas, terasa sekali panasnya di dalam ruangan ini," ujar Komariah.
"Tapi alhamdulilah, anak-anak sangat antusias belajar, mereka tidak pernah mengeluh. Itu juga yang membangkitkan saya untuk semangat mengajar," imbuh wanita 29 tahun tersebut.
Setiap hari, ada dua hingga tiga mata pelajaran yang diajarkan. Siswa kelas 1 hingga kelas 6 dibedakan berdasarkan barisan tempat duduk.
Miskomunikasi antara Komariah dan anak-anak didiknya seolah menjadi hal biasa dalam kegiatan belajar-mengajar.
Betapa tidak, siswa dari enam tingkatan kelas belajar di dalam satu ruangan.
"Tapi secara umum, anak-anak tertib," ucap Komariah.
Menurutnya, berdasarkan keterangan warga setempat, bangunan SD Muhammadiyah 4 Filial selesai dibangun tahun 2002 dengan menggunakan dana swadaya dari masyarakat Desa Saluran.
"Warga patungan, bangun SD ini pun gotong-royong dan memang seadanya bentuk bangunannya. Saya berharap pemerintah dapat merenovasi bangunan SD ini karena kasihan anak-anak mau belajar," harap Komariah.
Dua Tahun tak Ambil Gaji
Tanggung jawab menjadi guru tunggal bagi siswa-siswi SD Muhammadiyah 4 Filial, sudah dijalani Komariah sejak empat tahun lalu.
Pada tahun 2014, Komariah dihubungi Kepala SD Muhammadiyah 4 Palembang untuk mengajar di SD Muhammadiyah 4 Filial.
Komariah menyanggupi. Lulusan SMA tersebut mulai mengajar bersama lima orang guru lainnya.
"Awalnya ada enam orang guru, termasuk saya yang ngajar di SD ini. Namun tidak berapa lama saya setelah saya bergabung, tiga orang guru mengundurkan diri karena kata mereka, SD ini mau ditutup," ungkap Komariah.
Tinggallah Komariah dan dua orang guru lainnya yang mengajar.
Satu tahun kemudian, pada 2015, dua orang guru lainnya mengundurkan diri dengan alasan yang sama seperti dilakukan ketiga guru rekan mereka.
"Yang dua orang guru ini ikut berhenti mengajar juga karena kata mereka takut sekolah ini mau ditutup. Entah kabar dari mana itu," kata Komariah.
Sejak saat itulah hingga sekarang, Komariah mengajar seorang diri di SD Muhammadiyah 4 Filial dengan gaji sebesar Rp 20 ribu per hari.
Itu pun Komariah tidak dapat mengambil gaji secara teratur karena keterbatasan dana bagi guru.
"Gaji saya Rp 20 ribu per hari. Misalnya ngajar 100 hari, artinya gajinya Rp 2 juta. Saya baru bisa ambil jumlah segitu kalau saya sudah kepepet betul, itu pun tidak bisa diambil semua. Sisa pembayaran gaji saya biasanya disimpan atau piutang saya," jelas wanita yang telah berumah tangga dan memiliki dua orang anak itu.
Cobaan lebih berat datang pada Komariah karena selama 2 tahun. Ia sempat tidak digaji.
"Itu dari tahun 2017 sampai akhir 2018 saya tidak menerima gaji sepeser pun," ungkap Komariah.
Tidak adanya alokasi dana bagi tenaga pengajar, ditengarai menjadi penyebabnya.
Namun Komariah beruntung memiliki keluarga di rumah dan di sekolah yang membuatnya tetap tegar dan semangat untuk mengajar.
Adalah suami Komariah yang menjadi penyemangat utama dirinya saat dirundung permasalahan karena bekerja tanpa digaji.
"Saya tanya suami 'gimana ini saya kerja gak digaji'? 'Ya udah Mama lanjut aja gak apa-apa. Papa ridho'," kata Komariah menirukan ucapan suaminya.
"Ya tentu saya jalan saja, terus mengajar ini. Tidak apa karena saya berharap semoga ini jadi ladang pahala ibadah saya," tuturnya.
Ujian bagi Komariah mereda saat SD Muhammadiyah 4 Filial menginduk pada SD Muhammadiyah 4 Palembang pada Januari lalu.
Dengan demikian, kebijakan gaji bagi tenaga pengajar sedikit menguntungkan Komariah karena ada peningkatan.
"Akhirnya saya digaji Rp 500 ribu sejak awal 2019. Itu pun saya ambil gaji setiap tiga bulan sekali karena harus ambil uang tunai di rumah kepala sekolah di Balai Makmur. Lokasinya itu nyeberang sungai naik perahu sekitar 2 jam, ongkos perginya saja Rp 100 ribu," kata Komariah.
"Kalau pulang-pergi jadinya ongkos Rp 200 ribu," imbuhnya.
Dengan segala keterbatasan dan beban tanggung jawab yang diembannya, Komariah bertekad tetap mengajar karena ia prihatin tidak adanya tenaga pengajar di wilayah tempat tinggalnya.
"Tidak ada tenaga pengajar di Desa Saluran ini kecuali saya," kata dia.
Jika ia mengikuti jejak rekannya untuk berhenti mengajar, lanjut Komariah, maka akan menyulitkan anak-anak di Desa Saluran yang ingin menimba ilmu.
Mereka harus menempuh perjalanan jauh dan tentunya biaya sekolah yang lebih tinggi jika sekolah di luar desa.
Lalu sampai kapan Komariah akan tetap mengajar di SD Muhammadiyah 4 Filial?
"Sampai kapan? Selamanya saya mau ngajar di sini. Tapi pertanyaannya justru menurut saya, SD Muhammadiyah ini mau sampai kapan seperti ini?" katanya. (Melisa/ Agung)