Liputan Investigasi: Inilah Modus Caleg Curi Suara Demi Dapat Kursi (Bagian 1)
Colong mencolong dan sulap menyulap suara Calon Legislatif (Caleg) begitu santer terdengar. Kasak-kusuknya ada, tapi ada pula yang bilang ini hanya is
TRIBUNSUMSEL.COM, PALEMBANG - Colong mencolong dan sulap menyulap suara Calon Legislatif (Caleg) begitu santer terdengar.
Kasak-kusuknya ada, tapi ada pula yang bilang ini hanya isu yang dihembuskan Caleg yang gagal dan sakit hati.
Untuk menguji hipotesa ini, Tribun Sumsel melakukan penelusuran selama proses perhitungan suara saat ini.
Seorang Caleg incumbent dengan torehan suara besar akhirnya mau buka mulut dan bersedia diwawancarai.
“Syaratnya jangan tulis nama saya. Istilahnya itu Caleg kucing garong,” katanya.
Ia membeberkan modus bagaimana teman-temannya sesama caleg menggelembungkan suara.
“Cuma ada teman separtai yang suaranya tiba-tiba melejit. Tapi tak masalah selama tak mengganggu suara saya, lagi pula yang dilakukan menguntungkan partai saya karena suara partai tambah besar,” katanya.
Ia menduga teman separtainya itu ada main di level Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK).
Modusnya dengan mengambil alokasi dari suara tidak sah atau suara caleg lain yang tak terlalu peduli karena bakal tak lolos.
Ceritanya sumber Tribun ini, ia merasa aneh dengan perhitungan suara di PPK Kertapati Palembang.
Di PPK lainnya utusannya bisa mendapatkan dan DAA1 Plano. DAA1 plano merupakan form rekap manual sebelum diturunkan dalam bentuk DA1 sertifikat yang ditandatangani oleh semua saksi dan panitia penghitungan.
Rujukan dari DA1 adalah DAA1 plano.
“Jadi DAA1 plano itu harus cocok dengan DA1 sertifikat yang ditandatangani. Sementara di PPK Kertapati saya tak bisa melihat DAA1 plano,” katanya.
Dari sini muncullah kecurigaan. Ia menduga DAA1 plano memang disembunyikan.
Misal, di TPS tertentu yang saksinya dikendalikan caleg salah satu partai, seharusnya ia memperoleh suara 102 saja di C1 dan DAA1 plano, namun yang dicatat malah jadi 245 di DA1, dan saat ditotal perolehan suaranya ternyata tidak sinkron.
Penggelembungan ini dijelaskannya tidak terjadi di surat suara presiden-wakil presiden, dan nasional, tapi hanya di lingkup legislatif daerah yang terjadi.
“Kalau DPD, DPR RI sama pilpres sulit untuk dimanipulasi yang legislatif penghitungannya terakhir. Nah itu mulai permainan penggelembungan, bermain di mana-mana. Ada Caleg partai tertentu kepengin meraih suara terbesar dengan cara itu,” klaimnya.
Ia sendiri awalnya mengaku tidak percaya dengan perubahan hasil rekap perolehan suara caleg tersebut, karena jika ingin mengubah data yang ada melibatkan pihak- pihak terkait seperti PPK, Panwascam, Kepolisian, operator dan restu KPU. Selain itu, untuk satu suara sendiri bisa dihargai Rp 300 ribu hingga Rp 500 ribu per suara.
Kenapa saksi dari partai diam saja saat perubahan suara itu terjadi? Sumber Tribun ini bilang, saksi yang datang berdasarkan mandat dari partai masing-masing. Tugas utamannya menjaga perolehan suara caleg dari partai yang mengutusnya.
“Saat suara dari partai atau calegnya tidak berkurang saksi ya diam saja. Lantas mereka nggak aware (perhatian) dengan suara tidak sah sebelumnya yang tiba-tiba masuk ke nama tertentu. Apalagi data rujukan DAA1 Plano tak ada,” katanya.
Penuturan Saksi
Tribun memwawancarai seorang saksi untuk menguji lagi perkara ini. Ia buka mulut dan bilang memang diperintahkan caleg tertentu untuk mengawal suara yang memberi mandat, jika dirasa rekap menguntungkan calegnya ia tidak akan komplain dan cenderung tutup mata.
"Sekarang tergantung di lapangan, jika ingin mengubah atau memindahkan jumlah suara caleg se partai di dapil yang sama, kita harus melibatkan PPK dan Panwascam juga, karena ini banyak kaitannya," tuturnya.
Ditambahkan mantan aktivis ini, terkadang untuk mengubah hasil suara signifikan dengan cara penggelembungan suara itu, dan yang dikeluarkan tidak kecil bisa mencapai Rp 300 juta.
"Saya dapat kabar, jika caleg yang mengutus saya sudah mengkondisikan oknum PPK dan Panwasca, dan biasanya sudah disiapkan beberapa data DA1. Bisa saja setiap TPS ada DAA1 nya 4 buah yaitu abal- abal, tergantung yang mana akam disepakati," terangnya.
Setali tiga uang dengan Sumber Tribun tadi, seorang Caleg lainnya mengaku lebih apes lagi. Suaranya malah ikut disikat. Modusnya sama, hasil penghitungan suara di DAA1 plano dan DA1 tidak singkorn.
"Puluhan saya hilang di TPS tertentu, dan di satu sisi caleg se dapil saya suaranya bertambah, kalau hilang sedikit saya tidak masalah. Tapi kalau setiap TPS banyak maka suara saya akan tergerus terus," singkatnya.
Sehari usai penutuan sumber Tribun ini, Tribun Sumsel mendatangi PPK Kertapati untuk mengkonfirmasi dugaan ini. Tribun mewawancarai Ketua PPK Kertapati Hamid Saleh.
Selasa (30/4) pagi itu Hamid tengah sibuk memulai proses rekapitulasi suara. Di PPK Kertapati, penghitungan sudah masuk tahap caleg DPRD Kota Palembang.
Hamid bilang memang tak ada DAA1 Plano.
Alasannya PPK Kertapati tak mendapatkan logistik lengkap. DAA1 Plano salah satu item logistik yang tak ada.
“Pertama, kami memang tidak dapat plano dari KPU. Jadi kami tidak pakai plano, kami langsung pakai infocus,” kata Hamid.
Mengenai saksi perwakilan caleg yang tidak bisa mendapatkan hasil rekapitulasi yang dituangkan lewat C1 dan DAA1 plano, menurut Hamid justru pihaknya telah menerapkan peraturan yang berlaku dan bekerja sesuai prosedur.
Ketika diminta menunjukkan data C1 dan DAA1 plano untuk membandingkannya dengan DA1 sertifikat, Hamid mengaku tidak bisa menunjukkannya karena semua data sudah diberikan kepada para saksi.
“Bagaimana mau kami tunjukkan, itu kan data sudah kami kembalikan kepada para saksi” ucapnya.
Kemudian terkait dugaan PPK Kertapati menggelembungkan jumlah suara caleg tertentu dengan memanfaatkan data dari suara tidak sah, Hamid kembali memberikan klarifikasi.
“Tugas PPK memfasilitasi proses rekapitulasi. Proses (rekapitulasi) itu kan sudah disaksikan para saksi. Begitu selesai rekapitulasi, form ditandatangani para saksi. Berarti para saksi setuju dengan hasil rekapitulasi. Ada Panwaslu, ada saksi-saksi yang mengawasi,” paparnya.
“Mungkin ada caleg yang melakukan penghitungan suara secara pribadi. Ketika dia bandingkan dengan hasil rekapitulasi, ternyata tidak sesuai. Saya rasa itu wajar-wajar saja,” ucapnya mengakhiri penjelasan.
Dijelaskannya, saksi yang berhak masuk ke dalam ruangan rekapitulasi adalah saksi yang diberi mandat partai, bukan dari caleg.
“Jadi kalau satu partai, cuma dapat satu form C1 untuk satu saksi perwakilan caleg saja. Jadi kalau saksi dari caleg lain, walaupun dia satu partai, dia minta konfirmasi saja dari saksi caleg yang mereka sama partainya,” jelas Hamid.
“Kalau seandainya empat saksi dari satu partai kami beri semua form C1 itu, dari mana biayanya kami. Misal 16 partai, artinya 16 rangkap form C1 itu, ditambah lagi empat saksi perpartai, sudah berapa itu biayanya,” imbuhnya.
Maka dari itu, lanjut Hamid, pihaknya membatasi jumlah saksi dari beberapa caleg dalam satu partai.
“Saksi yang hanya dapat mandat dari caleg, tidak kita izinkan masuk. Sebab panduannya itu, saksi yang mendapat mandat resmi itu yang dari partai politik, bukan caleg,” tegasnya.
(arf/mad)
Saling Sikut Sudah Biasa
PEMERHATI politik Sumsel Bagindo Togar menyatakan, medan tarung politik para caleg tergolong berat, dalam merebut dan menghimpun dukungan para pemilih, agar tercapai jumlah standar teraman untuk lolos sebagai anggota legislatif berdasarkan metode hitung sainte league.
"Bersaing tidak saja dalam dapil, juga dalam partai politik pengusungnya. Dimana sejatinya antar Caleg, tidak sedikit yang tak saling kenal secara personal apalagi emosional, jadi terkesan tak memiliki resistensi ketika ada upaya atau celah untuk berbuat unfair," capnya.
Bahkan dikatakan Bagindo, ironisnya "biasa- biasa saja" untuk saling sikut. Apalagi bila mempertimbangkan aspek cost atau modal finansial, juga sosial yang telah dipertaruhkan untuk menggapai prestise di institusi politik formal pemerintahan.
Sehingga tak heran para caleg itu all out memperjuangkannya.
Lebih jauh, modus untuk memindahkan pilihan warga yang bukan merupakan haknya, membutuhkan kerja extra , terselubung dan konspiratif yang dapat dikatakan mustahil bila tidak melibatkan penyelenggara dilevel KPPS, PPK dan Panwas bahkan para saksi internal parpol itu sendiri.
"Sebab tradisi, proses serta formasi Pleno wajib ditempuh," ungkapnya.
Dilanjutkan Bagindo, bisa dikatakanlah terjadi kecurangan " berjamaah ", menjadi Keharusan untuk dipatuhi oleh sang Caleg untuk menang.
"Saat inilah, kredibilitas penyelengara, Panwas, Parpol dan Kwalitas diuji Equitas, maupun keberadaan berikut tanggung jawab jabatan yang diemban, guna perkembangan derajat maupun manfaat sistem demokrasi yang terus butuh evaluasi dalam implementasinya," pungkas Bagindo.(arf)