Saat Solat Wajib Tiba-tiba Ada yang Menepuk Pundak, Apakah Langsung Jadi Imam, Begini Jawabannya

Saat Solat Wajib Tiba-tiba Ada yang Menepuk Pundak, Apakah Langsung Jadi Imam. Hal itu kerap terjadi pada seseorang

Penulis: Siemen Martin |
TRIBUNNEWS.COM
Sujud saat salat 

TRIBUNSUMSEL.COM - Saat Solat Wajib Tiba-tiba Ada yang Menepuk Pundak, Apakah Langsung Jadi Imam.

Hal itu kerap terjadi pada seseorang yang umumnya tengah melaksanakan solat wajib bukan berjamaah.

Biasanya hal itu terjadi di Masjid maupun Musola, biasanya rentang waktu antara sehabis Zuhur maupun sesudah Ashar.

Banyak yang bertanya-tanya, apakah saat ditepuk pundak oleh makmum masbuk kita langsung menjadi Imam.

Terkadang juga pengalaman penulis malah membatalkan solat karena mengira ada dalam keadaan bahaya.

Apa yang harus dilakukan bila mengalami atau menjaga-jaga saat solat agar tahu ada makmum yang mengajak berjamaah.

Niat Solat Dhuha Dilengkapi Bahasa Latin dan Artinya Serta Tata Cara, dan Doa Setelah Solat Dhuha

Doa Solat Hajat: Bacaan dan Niat Solat Hajat Lengkap Beserta Doa dan Keutamaannya

Mengutip dari situs NU.or.id (Sumber Di Sini) salah satu hal yang lazim dilakukan dalam solat sehubungan dengan proses jamaah.

Adalah menjadikan seseorang sebagai imam dengan cara menepuk pundaknya di tengah-tengah shalat.

Secara fiqih hal ini dibolehkan (mubah).

Bahkan disunnahkan jika tepukan itu memberi tanda bahwa yang bersangkutan telah didaulat menjdi imam. Sebagaimana diterangkan dalam Fathul Mu’in

(وَنِيَّةُ إِمَامَةٍ) أَوْ جَمَاعَةٍ (سُنَّةٌ لِإِمَامٍ فِيْ غَيْرِ جُمُعَةٍ) لِيَنَالَ فَضْلَ جَمَاعَةِ. وَإِنْ نَوَاهُ فِيْ الأَثْنَاءِ حَصَلَ لَهُ الفَضْلُ مِنْ حِيْنَئِدٍ, أَمَّا فِيْ الجُمُعَةِ فَتَلْزَمُهُ مَعَ التَحَرُّمِ.

“Niat menjadi imam atau berjama’ah bagi imam adalah sunah, di luar shalat jum’ah, karena untuk mendapatkan keutamaan berjama’ah. 

Seandainya ia niat berjama’ah di tengah mengerjakan shalat maka ia mendapatkan keutamaan itu. Adapun dalam shalat jum’ah wajib baginya niat berjama’ah saat takbiratul ihram”.      

Dalil di atas menunjukkan kesunnahan niat sebagai imam walaupun niatnya baru ada di tengah shalat. Karena bagaimanapun juga shalat Jama’ah jauh lebih utama dari pada shalat sendirian.

Akan tetapi jika sekiranya tepukan di pundak itu terlalu keras hingga mengagetkan imam dan membatalkan shalatnya, maka hukumnya menjadi haram. Sebagaimana diterangkan dalam kitab Mauhibah Dzil Fadl

 (وَيَحْرُمُ) عَلَى كُلِّ أَحَدٍ (اَلْجَهْرُ) فِي الصَّلاَةِ وَخَارِجِهَا (إِنْ شَوَّشَ عَلَى غَيْرِهِ) مِنْ نَحْوِ مُضِلٍّ أَوْ قَارِئٍ أَوْ نَائِمٍ لِلضَّرَرِ وَيَرْجِعُ لِقَوْلِ الْمُتَشَوِّشِ وَلَوْ فَاسِقًا ِلأَنَّهُ لاَ يَعْرِفُ إِلاَّ مِنْهُ. وَمَا ذَكَرَهُ مِنَ الْحُرْمَةِ ظَاهِرٌ لَكِنْ يُنَافِيْهِ كَلاَمُ الْمَجْمُوْعِ وَغَيْرِهِ. فَإِنَّهُ كَالصَّرِيْحِ فِي عَدَمِهَا إِلاَّ أَنْ يَجْمَعَ بِحَمْلِهِ عَلَى مَا إِذَا خَفَّ التَّشْوِيْشُ. (قَوْلُهُ عَلَى مَا إِذَا خَفَّ التَّشْوِيْشُ) أَيْ وَمَا ذَكَرَهُ الْمُصَنِّفُ مِنَ الْحُرْمَةِ عَلَى مَا إِذَا اشْتَدَّ. وَعِبَارَةُ الإِيْعَابِ يَنْبَغِي حَمْلُ قَوْلِ الْمَجْمُوْعِ وَإِنْ آذَى جَارَهُ عَلَى إِيْذَاءٍ خَفِيْفٍ لاَ يُتَسَامَحُ بِهِ بِخِلاَفِ جَهْرٍ يُعَطِّلُهُ عَنِ الْقِرَاءَةِ بِالْكُلِّيَّةِ فَيَنْبَغِي حُرْمَتُهُ.

 “Haram bagi siapa pun bersuara keras jika mengganggu jama’ah yang lain, baik di dalam shalat maupun di luar shalat karena membahayakan, seperti (memperingatkan) orang yang sesat,

orang yang membaca atau orang yang tidur. Tidak boleh mengganggu walaupun terhadap orang yang fasik karena kefasikan itu tidak ada yang tahu kecuali dirinya.

Pendapat yang mengharamkan tersebut itu jelas, namun bertentangan dengan pendapat dalam kitab al-Majmu’ dan sesamanya. Tidak diharamkannya jika kesemuanya tidak terlalu mengganggu.

(Pengertian tidak haram jika gangguannya ringan), yakni yang dimaksud oleh mushannif (pengarang) adalah haram jika sangat mengganggu.

Dalam ungkapan kitab al-I’ab bahwa keterangan dalam kitab al-Majmu’ (yang tidak mengharamkan) adalah jika tidak terlalu mengganggu kepada orang lain sehingga dapat ditoleransi,

berbeda jika suara keras tersebut sampai membatalkan bacaan (shalat) secara keseluruhan, maka hukumnya haram”. 

Solat Sunnah Tiba-tiba ‘Ditepuk Pundak’ Menjadi Imam Solat Fardhu

Mengutip dari nulampung.or.id (Sumber Di Sini)Dalam masalah ini ada beberapa hal yang penting diperhatikan.

Pertama, kita memantapkan diri bahwa shalat demikian sah, sehingga tidak perlu memberitahukan kepadanya perihal shalat kita.

Ini mengikuti Mazhab Syafiiyah yang membolehkan kita melaksanakan shalat fardhu dengan bermakmum kepada orang yang shalat sunnah.

Demikian sebaliknya, orang yang shalat fardhu tertentu juga sah untuk bermakmum kepada orang yang shalat fardhu lainnya (seperti orang shalat zuhur kepada orang shalat ashar).

Imam As-Syirazi dalam Kitabnya Al-Muhadzdzab menerangkan sebagai berikut:

وَيَجُوْزُ أَنْ يَأْتَمَّ الْمُفْتَرِضُ بِالْمُتَنَفِّلِ، وَالْمُفْتَرِضُ بِمُفْتَرِضٍ فِيْ صَلَاةٍ أُخْرَى؛}  لِمَا رَوَى جَابِرُ بْنِ عَبْدِ اللهِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا أَنَّ مُعَاذًا رَضِيَ اللهُ عَنْهُ كَانَ يُصَلِّيْ مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ﷺ اَلْعِشَاءَ الْأَخِرَةَ ثُمَّ يَأْتِيْ قَوْمَهُ فِيْ بَنِيْ سَلِمَةَ فَيُصَلِّيْ بِهِمْ هِيَ لَهُ تَطَوُّعٌ وَلَهُمْ فَرِيْضَةُ الْعِشَاءِ {وَلِأَنَّ اْلِاقْتِدَاءَ يَقَعُ فِي الْأَفْعَالِ الظَّاهِرَةِ، وَذَلِكَ يَكُوْنُ مَعَ اخْتِلَافِ النِّيَّةِ…

Artinya, “Boleh seorang yang shalat fardhu bermakmum kepada orang yang shalat sunnah, dan orang yang shalat fardhu bermakmum kepada  orang yang shalat fardhu dalam shalat yang lain berdasarkan hadits yang

diriwayatkan oleh Jabir bin Abdullah RA bahwa Mu’adz RA melakukan shalat Isya’ di waktu akhir bersama Rasulullah SAW, kemudian ia mendatangi kaumnya di Bani Salimah lantas menjadi imam shalat bersama

mereka, shalat itu baginya (hukumnya) merupakan shalat sunnah, sementara bagi mereka merupakan shalat Isya’ fardhu; di samping itu karena bermakmum tersebut terjadi dalam perbuatan-perbuatan yang zahir, padahal

perkara itu berbeda niatnya… (Lihat Imam As-Syirazi, Al-Muhadzdzab dalam An-Nawawi, Al-Majmu’, [Jeddah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 167).

Kedua, niat imamah, yakni niat menjadi imam dalam shalat ini agar mendapatkan fadhilah shalat jamaah. Niat imamah dalam shalat berjamaah hukumnya sunnah, kecuali dalam shalat Jumat hukumnya wajib.

يَنْبَغِي لِلْإِمَامِ أَنْ يَنْوِيَ الْإِمَامَةَ فَإِنْ لَمْ يَنْوِهَا صَحَّتْ صَلَاتُهُ وَصَلَاةُ الْمَأْمُومِينَ وَالصَّوَابُ : أَنَّ نِيَّةَ الْإِمَامَةِ لَا تَجِبُ، وَلَا تُشْتَرَطُ لِصِحَّةِ الِاقْتِدَاءِ وَبِهِ قَطَعَ جَمَاهِيْرُ أَصْحَابِنَا، وَسَوَاءٌ اقْتَدَى بِهِ رِجَالٌ أَمْ نِسَاءٌ ، لَكِنْ يَحْصُلُ فَضِيلَةُ الْجَمَاعَةِ لِلْمَأْمُوْمَيْنِ، وَفِيْ حُصُوْلِهَا لِلْإِمَامِ ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ

Artinya, “Seyogianya imam niat menjadi imam, jika ia tidak niat menjadi imam, maka sah shalatnya dan shalatnya makmum. Yang benar adalah bahwa niat imamah tidaklah wajib, dan niat imamah tidaklah disyaratkan untuk

keabsahan bermakmum, pendapat ini telah ditetapkan oleh Jumhur madzhab Syafiiyah, tidak disyaratkan niat imamah tersebut, baik makmumnya para pria, maupun makmumnya para wanita, meskipun demikian mereka

tetap mendapatkan fadhilah berjamaah. Tetapi mengenai imam mendapatkan fadhilah jamaahnya atau tidak, ada tiga pendapat, (tidak mendapat fadhilah jamaah, mendapat fadhilah jamaah, mendapat fadhilah jamaah jika

tahu dan lalu pasang niat imamah). (Lihat An-Nawawi, Al-Majmu’ [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz IV, halaman 98).

Ketiga, bacaan shalatnya. Perhatikan ketentuan mengenai bacaan surat Al-Fatihah dan surat setelahnya dibaca jahar (keras, nyaring) atau sirr (tidak keras, tidak nyaring), sebagai berikut:

وَأَمَّا نَوَافِلُ النَّهَارِ فَيُسَنُّ فِيْهَا الْإِسْرَارُ بِلَا خِلَافٍ، وَأَمَّا نَوَافِلُ اللَّيْلِ غَيْرَ التَّرَاوِيْحِ فَقَالَ صَاحِبُ التَّتِمَّةِ: يُجْهَرُ فِيْهَا، وَقَالَ الْقَاضِيْ حُسَيْنٌ وَصَاحِبُ التَّهْذِيْبِ: يُتَوَسَّطُ بَيْنَ الْجَهْرِ وَالْإِسْرَارِ، وَأَمَّا السُّنَنُ الرَّاتِبَةُ مَعَ الْفَرَائِضِ : فَيُسَرُّ بِهَا كُلِّهَا بِاتِّفَاقِ أَصْحَابِنَا . وَنَقَلَ الْقَاضِيْ عِيَاضٌ فِي شَرْحِ مُسْلِمٍ عَنْ بَعْضِ السَّلَفِ الْجَهْرَ فِي سُنَّةِ الصُّبْحِ، وَعَنِ الْجُمْهُوْرِ الْإِسْرَارَ كَمَذْهَبِنَا

Artinya, “Adapun dalam shalat sunnah siang hari, maka disunnahkan dibaca sirr tanpa ada khilaf (perbedaan pendapat). Adapun shalat sunnah malam hari selain shalat Tarawih, maka penulis kitab at-Tatimmah

mengatakan: dibaca jahar (keras, nyaring); tetapi Al-Qadhi Husain dan penulis Kitab At-Tahdzib berkata bahwa bacaan dilakukan secara sedang antara jahar (keras, nyaring) dan sirr (tidak keras, tidak nyaring). Sementara

shalat-shalat sunnah rawatib yang mengiringi shalat fardhu: maka dilakukan dengan bacaan sirr, berdasarkan kesepakatan para kolega kami (madzhab Syafiiyah). Al-Qadhi ‘Iyadh dalam Syarah Shahih Muslim mengutip

pendapat sebagian ulama salaf mengenai menjaharkan bacaan dalam shalat sunnah rawatib subuh, dan pendapat mayoritas ulama bahwa bacaan dalam shalat sunnah subuh tetap sirr (tidak nyaring), sama seperti

pendapat madzhab kami (Syafiiyah).” (Lihat An-Nawawi, al-Majmu’, [Jedah, Maktabah Al-Irsyad: tanpa catatan tahun], juz III, halaman 357).

Demikian penjelasan singkat ini, semoga keterangan ini bisa dipahami dengan baik. Kami terbuka menerima masukan dari pembaca yang budiman. Wallahul muwaffiq ila aqwamith thariq. Wassalamu ‘alaikum wr. wb

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved