Berita Gerhana Bulan Total 28 Juli

Catat! Inilah Tahap dan Tata Cara Salat Gerhana Bulan Total Terlama Abad ini 28 Juli 2018

Tata cara dan niat Gerhana Bulan Total 'Blood Moon' 28 Juli 2018 yang disyariatkan Islam.

Tech2.org/IslamicNews
Salat Gerhana dalam Islam 

TRIBUNSUMSEL.COM-Tata cara dan niat Gerhana Bulan Total 'Blood Moon' 28 Juli 2018 yang disyariatkan Islam.

Gerhana Bulan Total terlama abad ini akan muncul pada tanggal 28 Juli.

Sebuah peristiwa gerhana bulan total 'Blood Moon' akan terjadi pada 27 Juli 2018.

Menurut lembaga antariksa Amerika Serikat NASA, gerhana bulan total tersebut merupakan yang terlama pada abad ini.

Gerhana Bulan adalah peristiwa terhalanginya cahaya Matahari oleh Bumi sehingga tidak semuanya sampai ke Bulan.

Mengutip laman BCS News, Senin (2/7/2018), gerhana bulan total ini akan bisa dilihat selama 1 jam 43 menit.

Namun sayang, gerhana bulan ini tidak bisa dilihat dari semua tempat di Bumi.

Hanya orang yang ada di sebagian Amerika Selatan, Afrika, Timur Tengah, Eropa, Australia, Selandia Baru, dan Asia yang bisa menyaksikan fenomena ini.

Semntara itu di Indonesia sendiri dilansir dari Gerhana Bulan Total menurut Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) akan terjadi pada tanggal 28 Juni 2018.

Lamanya durasi totalitas Gerhana Bulan Total 28 Juli 2018 tersebut disebabkan oleh tiga hal.

Penyebab pertama adalah saat puncak gerhana terjadi, posisi pusat piringan Bulan dekat sekali dengan pusat Umbra Bumi.

Penyebab kedua adalah Gerhana Bulan Total 28 Juli 2018 terjadi pada saat Bulan di sekitar titik terjauhnya dari Bumi, yang dikenal sebagai titik apoge.

Berdasarkan perhitungan, Bulan mencapai titik apoge pada 27 Juli 2018 pukul 12:44 WIB sejauh 406.223 km.

Empat belas jam kemudian, tepatnya ketika puncak gerhana terjadi, jarak Bumi-Bulan menjadi lebih dekat 270 km daripada saat di apoge tersebut.

Secara umum semakin jauh jarak Bumi-Bulan akan semakin kecil tampakkan ukuran Bulan.

Sehingga berpotensi untuk menyebabkan Bulan akan lebih lama berada di umbra Bumi jika dibandingkan dengan Bulan saat berada di daerah titik perigenya.

Dengan demikian, Gerhana Bulan Total pun berpotensi lebih lama.

Penyebab ketiga adalah pada bulan Juli Bumi sedang berada di sekitar titik terjauhnya dari Matahari, (aphelion), yaitu yang terjadi pada 6 Juli 2018 pukul 23:47 WIB dengan jarak 152 juta km.

Sementara itu dalam Islam munculnya Gerhana baik matahari dan bulan merupakan peristiwa alam yang amat luar biasa.

Bahkan Nabi Muhammad SAW menganjurkan pada umatnya untuk menunakikan salat sunnah Gerhana.

Dilansir dari NU Online berikut ini tata cara salat gerhana bulan dalam 4 Mahdzab, yakni Imam Maliki, Imam Hanafi, Imam Syafii dan Imam Hambali.

Rasulullah menganjurkan umat Islam untuk salat dua rakaat dengan dua Surat Al-Fatihah dan dua rukuk pada setiap rakaat dan disusul dengan dua khutbah.

Untuk salat gerhana matahari, ulama menyepakati hal ini sebagai tata caranya karena memang Rasulullah SAW mencontohkan demikian.

Adapun terkait cara salat gerhana bulan, para ulama berbeda pendapat.

Sebagian ulama menganalogikan cara salat gerhana bulan dengan cara salat gerhana matahari.

Sementara ulama lain menyatakan bahwa cara salat gerhana bulan sama saja dengan cara salat sunah lainnya, cukup dikerjakan sendiri-sendiri di rumah masing-masing.

Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki menjelaskan perbedaan pendapat ulama dalam Ibanatul Ahkam, Syarah Bulughul Maram sebagai berikut:

أما خسوف القمر فقالت الشافعية والحنابلة هي ركعتان في كل ركعة؛ ركوعان كصلاة كسوف الشمس في جماعة. وقالت الحنفية صلاة الخسوف ركعتان بركوع واحد كبقية النوافل وتصلى فرادى، لأنه خسف القمر مرارا في عهد الرسول ولم ينقل أنه جمع الناس لها فيتضرع كل وحده، وقالت المالكية: ندب لخسوف القمر ركعتان جهرا بقيام وركوع واحد كالنوافل فرادى في المنازل وتكرر الصلاة حتى ينجلي القمر أو يغيب أو يطلع الفجر وكره إيقاعها في المساجد جماعة وفرادى.

Artinya, “salat gerhana bulan, bagi kalangan syafiiyah dan hanbaliyah, adalah dua rakaat dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya persis seperti mengamalkan salat gerhana matahari secara berjamaah.

Kalangan Hanafi mengatakan, salat gerhana bulan itu berjumlah dua rakaat dengan satu rukuk pada setiap rakaatnya sebagai salat sunah lain pada lazimnya, dan dikerjakan secara sendiri-sendiri.

Pasalnya, gerhana bulan terjadi berkali-kali di masa Rasulullah SAW tetapi tidak ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasul mengumpulkan orang banyak, tetapi beribadah sendiri.

Kalangan Maliki menganjurkan salat sunah dua rakaat karena fenomena gerhana bulan dengan bacaan jahar (lantang) dengan sekali rukuk pada setiap kali rakaat seperti salat sunah pada lazimnya, dikerjakan sendiri-sendiri di rumah.

salat itu dilakukan secara berulang-ulang sampai gerhana bulan selesai, lenyap, atau terbit fajar.

Kalangan Maliki menyatakan makruh salat gerhana bulan di masjid baik berjamaah maupun secara sendiri-sendiri,” (Lihat Syekh Hasan Sulaiman Nuri dan Sayyid Alwi bin Abbas Al-Maliki, Ibanatul Ahkam Syarah Bulughul Maram, Beirut, Darul Fikr, cetakan pertama, 1996 M/1416 H, juz I, halaman 114).

Keterangan ini cukup jelas memilah pendapat para ulama.

Madzhab Syafii berpendapat bahwa salat gerhana bulan dilakukan secara berjamaah di masjid sebagaimana salat gerhana matahari.

Pendapat ini juga dipakai oleh Ahmad bin Hanbal, Dawud Az-Zhahiri, dan sejumlah ulama.

Sedangkan Imam Malik dan Imam Hanafi berpendapat sebaliknya.

Bagi keduanya, salat gerhana bulan tidak dilakukan secara berjamaah, tetapi dilakukan secara sendiri-sendiri sebanyak dua rakaat seperti dua rakaat salat sunah lainnya.

Ibnu Rusyd mencoba memetakan sebab perbedaan di kalangan ulama perihal tata cara salat sunah gerhana bulan.

Dalam Bidayatul Mujtahid, ia memperlihatkan pendekatan yang dilakukan masing-masing ulama sebagai berikut ini:

سبب اختلافهم اختلافهم في مفهوم قوله عليه الصلاة والسلام: "إن الشمس والقمر آيتان من آيات الله لا يخسفان لموت أحد ولا لحياته فإذا رأيتموهما فادعوا الله وصلوا حتى يكشف ما بكم وتصدقوا" خرجه البخاري ومسلم. فمن فهم ههنا من الأمر بالصلاة فيهما معنى واحدا وهي الصفة التي فعلها في كسوف الشمس رأى الصلاة فيها في جماعة. ومن فهم من ذلك معنى مختلفا لأنه لم يرو عنه عليه الصلاة والسلام أنه صلى في كسوف القمر مع كثرة دورانه قال المفهوم من ذلك أقل ما ينطلق عليه اسم صلاة في الشرع وهي النافلة فذا وكأن قائل هذا القول يرى أن الأصل هو أن يحمل اسم الصلاة في الشرع إذا ورد الأمر بها على أقل ما ينطلق عليه هذا الاسم في الشرع إلا أن يدل الدليل على غير ذلك فلما دل فعله عليه الصلاة والسلام في كسوف الشمس على غير ذلك بقي المفهوم في كسوف القمر على أصله والشافعي يحمل فعله في كسوف الشمس بيانا لمجمل ما أمر به من الصلاة فيهما فوجب الوقوف عند ذلك. وزعم أبو عمر بن عبد البر أنه روي عن ابن عباس وعثمان أنهما صليا في القمر في جماعة ركعتين في كل ركعة ركوعان مثل قول الشافعي

Artinya, “Sebab perbedaan itu terletak pada perbedaan pandangan mereka dalam memahami hadits Rasulullah SAW, ‘Matahari dan bulan adalah dua tanda kebesaran Allah.

Keduanya tidak terjadi gerhana karena kematian atau kelahiran seseorang.

Kalau salah seorang kalian melihat keduanya, sebutlah nama Allah dan salatlah sampai Allah membuka gerhana itu, dan bersedekahlah,’ HR Bukhari.

Ulama yang memahami di sini sebagai perintah salat pada kedua gerhana dengan sebuah pengertian yaitu sifat salat yang telah dikerjakan Rasulullah SAW ada saat gerhana matahari, memandang bahwa salat pada gerhana matahari dilakukan secara berjamaah.”

Sedangkan ulama yang memahami hadits ini dengan sebuah pengertian berbeda, sementara belum ada riwayat yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW melakukan salat gerhana bulan padahal fenomena itu terjadi berkali-kali sema beliau hidup, berpendapat bahwa pengertian yang dapat ditarik dari teks hadits ini adalah sekurang-kurang sebutan salat dalam syara’, yaitu salat sunah sendiri.

Ulama ini seakan memandang bahwa pada asalnya kata ‘salat’ di dalam syarak bila datang perintah padanya harus dipahami dengan konsep paling minimal yang mengandung sebutan itu dalam syariat kecuali ada dalil lain yang menunjukkan hal yang berlainan.

Ketika sikap Nabi SAW menghadapi gerhana matahari berbeda dengan itu, maka konsep terkait gerhana bulan tetap dipahami sebagai aslinya.

Sedangkan Imam Syafi’i memahami sikap Nabi SAW dalam melewati gerhana matahari sebagai penjelasan atas keijmalan perintah salat oleh Rasulullah pada kedua gerhana tersebut sehingga konsep atas amaliah gerhana bulan harus berhenti di situ.

Sementara Abu Amr bin Abdil Bar meriwayatkan dari Ibnu Abbas dan Utsman RA bahwa keduanya melaksanakan salat dua rakaat secara berjamaah saat gerhana bulan dengan dua rukuk pada setiap rakaatnya seperti pendapat Imam As-Syafi’i,” (Lihat Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid, Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyah, 2013 M/1434 H, cetakan kelima, halaman 199).

Perbedaan pendapat ini berimbas pada bacaan di dalam salat itu sendiri.

Tetapi dari sini kita dapat menyimpulkan bahwa para ulama berbeda pendapat perihal cara pelaksanaan salat gerhana bulan.

Kita sebaiknya tidak perlu memaksakan pendapat ulama manapun kepada orang lain.

Tetapi sebaiknya kita saling menghargai hasil ijtihad para ulama dan menghargai pandangan orang lain sesuai madzhab mereka. (Tribunsumsel/Tribunwow)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved