Fakta Pasangan ABG yang Menikah Dini, Gara-gara Sering Beginian Saat Subuh

Bagaimana tidak usia keduanya masih sangat muda, kedua pasangan tersebut, kabarnya baru berusia 16 tahun.

Pernikahan Dini 

TRIBUNSUMSEL.COM - Pernikahan sepasang ABG membuat  heboh media sosial, Minggu (26/11/2017).

Bagaimana tidak usia keduanya masih sangat muda, kedua pasangan tersebut, kabarnya baru berusia 16 tahun.

Atau masih duduk di bangku kelas 1 Sekolah Menengah Atas (SMA).

Dilansir  Tribun Timur, pernikahan di bawah umur itu terjadi di Lampa, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polewali Mandar, Sulawesi Barat (Sulbar).

Keduanya bernama Andiri (mempelai prempuan) dan Arling (mempelai laki-laki).

Keduanya bertekad untuk menikah dengan alasan saling menyukai.

Informasi dan gambar pernikahan di bawah umur ini diperoleh TribunSulbar.com, dari group WhatsApp Orang Sulbar (OS).

"Iya benar, itu tetangganya pak Andi Mappangara dan Ketua KPU Sulbar, tadi siang menikah, maroa-roa," kata warga Lampa yang enggan disebutkan namanya kepada TribunSulbar.com, via whatsapp.

Berikut beberapa fakta dari pernikahan fenomenal tersebut

1. Dinikahkan Karena Selalu Pulang Berduaan Saat Subuh

Dia menyebutkan, kedua pasangan beralamat tepat di dekat Tugu Lampa atau tepat di depan rumah pegawai KAU Kecamatan Mapilli.

"Di Lampa, dekat Tugu rumahnya, pas depan rumhnya pak Khalik KUA Mapili, Dinikahkan karena selalu pulang subuh sama pacarnya. Pernikahan ini untuk mencegah kemudaratan," ujarnya.

Resepsi pernikahan pasangan pengantin remaja di Lampa Polman, Andini (15) dan Arling (16), Minggu (26/11/2017). (handover)
Resepsi pernikahan pasangan pengantin remaja di Lampa Polman, Andini (15) dan Arling (16), Minggu (26/11/2017). (handover) ()
2. Sama-sama Baru Tamat Baru Sekolah Menangah Pertama (SMP)

Sepasang remaja yang menikah di Lampa, Kecamatan Mapilli, Kabupaten Polman, Sulawesi Barat (Sulbar), melangsungkan resepsi pernikahan, Minggu (26/11/2017).

Kedua pasangan itu, Andini (15) dan Arling (16), telah melangsungkan akad nikah pada Minggu (26/11/2017) siang di Lampa, Jl Poros Majene, Kelurahan Mapilli, Kecamatan Mapilli, Polman.

Andini adalah warga Lampa sementara Arling merupakan warga Banua Baru, Kecamatan Wonomulyo.

Andini dan Arling keduanya diketahui masih duduk dibangku sekolah menengah atas (SMA).

Atau baru saja tamat dari Sekolah Menangah Pertama (SMP). 

Penikhan Dini di Sulbar
Penikhan Dini di Sulbar ()
3. Menikah Atas Dasar Suka Sama Suka
Laiknya pengantin pada umumnya, keduanya juga mengadakan pesta pernikahan yang disaksikan banyak tetamu. 

Dalam sebuah foto, rampak Andini dan Arling duduk dipelaminan mengenakan pakaiaan adat bugis.

Mereka didampingi orangtua saat resepsi pernikahan berlangsung.

Sebelumnya juga  tersebar foto keduanya sebelum melangsungkan akad nikah dengan baju khas Mandar.

Kabarnya, mereka dinikahkan dengan alasan saling menyukai.

Informasi yang diperoleh TribunSulbar.com, keduanya juga dinikahkan dikarenakan sering pulang subuh.

Kepergok orangtua dan dikhawatirkan akan membawa kemudharatan sehingga diminta untuk menikah.

Pernikahan dini di Sulbar
Pernikahan dini di Sulbar ()

4. Sulawesi Barat Jadi Urutan Pertama Kasus Pernikahan Dini

Provinsi Sulawesi Barat (Sulbar) merupakan provinsi yang menempati urutan pertama kasus pernikahan dini di Indonesia.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional Provinsi Sulbar, Andi Ritamariani, saat menggelar konferensi pers di Aula Kantor BKKBN, Jl. Abd Malik Pattana Endeng, Kelurahan Rangas, Kecamatan Simboro, Kabupaten Mamuju, Rabu (18/10/2017).

Ia mengungkapkan, hal tersebut menjadi menjadi problem atau masalah krusial di Sulbar.

Andi Ritamariani menguraikan, hasil data Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2007, Sulbar menunjukan rata-rata usia kawin pertama berada pada usia 19,3 tahun dan hasil data SDKI 2012 menunjukan angka 19,1 tahun.

"Data ini menggambarkan adanya penurunan rata-rata usia kawin pertama (UKP) pada perempuan di Sulbar yang seharusnya angka ini harus dinaikkan," katanya.

Ia mengungkapkan berdasarkan sumber data tersebut, rendahnya usia kawin pertama perempuan di Sulbar berakibat pada tingginya angka kelahiran usia dibawah 20 tahun.

Ini di tunjukkan dengan data SDKI 2007 bahwa angka Age Specifik Fertilitas Rate (ASFR) umur 15-19 tahun sebanyak 80 kelahiran dan SDKI 2012 naik menjadi 103 kelahiran per 1000 wanita umur 15-19 tahun, atau 10 kelahiran per 100 wanita atau 1 kelahiran per 10 wanita umur 15-19 tahun.

"Badan Pusat Statistik Sulawesi Barat tahun 2015 juga merilis data bahwa ada 11, 58% wanita di Provinsi Sulawesi Barat menikah dibawah usia 16 tahun.

Pun juga provinsi ini memiliki prevalensi terbesar di Indonesia untuk anak perempuan yang menikah di bawah usia 15 tahun," jelasnya saat konferensi pers.

"Hal inipun juga menjadi tema pertanyaan anggota DPR RI komisi IX saat kunjungan kerja dengan para mitra kerjanya di ruang pola kantor gubernur Sulbar pada tanggal 14 Maret 2016," ucapnya.

Ia mengatakan, pernikahan dini merupakan gambaran rendahnya kualitas kependudukan dan menjadi fenomena tersendiri di masyarakat Sulbar.

Akibatnya, sangat terkait erat dengan kesejahteraan perempuan muda yang mengalaminya.

"Mereka setelah menikah cenderung mengalami putus sekolah, sehingga memperoleh tingkat pendidikan yang rendah, status sosial yang menurun atau sub ordinasi dalam keluarga, hilangnya hak kesehatan reproduksi, tingginya peluang kematian ibu akibat melahirkan di usia muda, tingginya kematian bayi, hingga kekerasan dalam rumah tangga," ungkapnya.

Melihat dari dampak negatif yang ditimbulkan dari pernihakan dini ini juga menjadi tantangan capaian MDG’s 2015 lalu, terutama pada target untuk mencapai pendidikan dasar yang universal (Achieve universal primary education).

Sementara pernikahan dini seringkali membuat anak putus sekolah dan hal ini juga dapat menjadi tolok ukur keberhasilan program pemerintah wajib belajar 12 tahun.

Kemudian pada mengurangi kematian bayi dan meningkatkan kesehatan ibu, menikah di usia dini tentu akan hamil di usia muda yang dapat membahayakan kesehatan ibu dan janin mengingat ketidaksiapan secara fisik dan mental anak perempuan untuk hamil dan melahirkan.

"Oleh karena itu komunikasi, informasi dan edukasi tentang pernikahan dini harus lebih ditingkatkan lagi yang didukung oleh semua stekholder bila perlu dibuat dalam bentuk Perda," tuturnya. (*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved